Pengantar:
Fakta menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita saat ini turut andil dalam menghasilkan para koruptor serta ’perusak’ negara dan masyarakat. Ini semua adalah skenario global neo-liberal dalam upayanya memporak-porandakan umat Islam dan negeri-negeri Muslim serta semakin menjauhkan Islam sebagai sebuah sistem hidup yang paripurna.
Kali ini, Redaksi Al-Wa‘ie (gus uwik) mewawancarai Bapak Munarman (Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI) untuk mengetahui lebih detail bagaimana modus operandi neo-liberal menebar rancunnya dalam sistem pendidikan kita dan upaya-upaya sistematis dalam mempertahankan eksistensinya. Berikut petikan wawancaranya.
Menurut Bapak, fakta pendidikan di Indonesia saat ini bagaimana?
Sektor pendidikan kita saat ini adalah satu sektor yang kondisinya paling memprihatinkan. Angka putus sekolah tingkat sekolah dasar jumlahnya 200-300 ribu pertahun. Belum termasuk SMP dan SMU. Dari aspek bangunan, hampir 50-60% bangunan sekolah telah hancur. Dari segi kurikulum, kita mengabdi pada ideologi Kapitalisme. Secara ringkasnya, ada tiga aspek yang mempengaruhi sistem pendidikan kita: sektor institusi yang kondisinya sangat hancur yang ditunjukkan dengan rusaknya bangunan fisiknya; institusi pendidikan yang merupakan bagian penting dari pendidikan yang berideoloogi Kapitalisme; dan secara institusi pendidikan selanjutnya bukan menjadi tanggung jawab Negara dengan munculnya RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Dari tiga aspek di atas, menurut saya masa depan sistem pendidikan kita hanya berorientasi pada pencetakan tenaga kerja yang murah. Dengan kata lain, sistem pendidikan kita telah ’ditunggangi’ oleh para kapitalis untuk mencetak tenaga kerja murah.
Selain berupa tenaga kerja murah, out put dari segi kebijakan bagaimana?
Sebagaimana yang telah saya sampaikan, software atau kurikulum sistem pendidikan kita itu sejak lama didesain oleh orang-orang yang berpaham Kapitalisme. Kita ingat, misalnya, Daud Yusuf, kemudian Nugroho Notosusanto. Meeka adalah orang-orang yang dibina dan dibesarkan dalam alam ideologi Kapitalisme. Kongkritnya, mereka adalah orang-orang yang selama ini menjadi bagian penting dari sebuah lembaga yang ada di Jakarta yang sering disebut sebagai CSIS (Centre Strategic for International Studies), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari politik luar negeri Amerika Serikat. Daud Yusuf adalah orang binaan dari CSIS. Menteri pendidikan pertama kita waktu Orde Baru adalah Syarief Tayeb. Dia seorang Jendral yang pernah sekolah di Amerika Serikat.
Walhasil, yang mendesain sistem pendidikan kita adalah orang-orang yang berada di bawah pengaruh Amerika Serikat. Jadi, wajar jika sistem pendidikan kita menjadi penopang kepentingan asing dan semakin mempertajam cengkeraman AS.
Kita tahu, sistem pendidikan ekonomi dan politik kita sudah berkhidmat pada kapitalis. Di bidang ekonomi, salah satunya dimotori oleh Mafia Berkley sehingga terbentuk sistem pendidikan ekonomi yang liberal. Bagaimana menurut Bapak?
Yang saya sebut di atas adalah bagian dari Mafia Berkeley. Jadi, yang disebut Mafia Berkeley itu bukan hanya Wijoyonitisastro atau Sumitro Joyohadi Kusumo saja. CSIS juga termasuk Mafia Berkeley. Mereka harus dilihat sebagai institusi, jangan orang perorang.
Peran Neo-Liberal dalam mempengaruhi sistem pendidikan kita bagaimana? Secara khusus, modus operandi mereka seperti apa?
Pertama: mereka masuk melalui lembaga-lembaga penelitian, kemudian mereka merebut posisi-posisi penting dalam jabatan struktural dekan Fakultas Ekonomi (pada waktu itu yang menjadi target adalah Universitas Indonesia). Dari sini mereka akhirnya menjadi penasihat sekaligus konseptor ekonomi Pemerintah. Dalam implementasinya, mereka membuat konsep-konsep pembangunan. Sebagai misal, Ali Wardhana dan Wijoyonitisastro adalah tokoh di balik konsep ekonomi Orde Baru.
Jadi, polanya seperti itu. Awalnya mendirikan LSM atau lembaga penelitian. Pada zaman Orba salah satunya adalah CSIS, kemudian pusat-pusat penelitian ekonomi. Nah, saat ini juga sama. Lalu dikenallah kaum profesional, atau yang disebut kaum teknokrat yang direkrut untuk mengendalikan Pemerintahan/Negara. Sistem perpolitikan sekarang, kalau kita ingat, senantiasa disampaikan supaya menteri-menterinya diambil dari kaum profesional. Ya, kan? Kalau kita lihat, faktanya sekarang, misalnya Budiono, Sri Mulyani, dan Mari E Pangestu. Mereka bukan dari kalangan partai, tetapi dari kalangan profesional. Mengapa mereka bisa menjadi menteri tanpa ditopang oleh partai? Ternyata mereka ditopang oleh kekuasaan yang lebih besar, yakni AS. Sebab, mereka adalah anak didik dari AS yang mempertahankan sistem dan ideologi Kapitalisme.
Di pendidikan juga begitu. Supaya mereka tetap eksis melalui jalur teknokrat tersebut maka perguruan tingginya harus dikelola secara ’mandiri’. Dengan dikelola secara mandiri melalui konsep RUU BHP tersebut, maka lembaga-lembaga penelitian yang berasal dari AS akan sangat gampang sekali masuk ke perguruan tinggi. Begitu polanya.
Jadi, dengan dalih agar mandiri, perguruan tinggi dipaksa bertahan dan survive, termasuk dalam hal keuangan. Untuk bisa bertahan dari sisi finansial, PT akan mencari sumber-sumber keuangan di luar bantuan dari APBN yang kalau ada jumlahnya sangat kecil. Didapat dari mana? Tentu dari sumber-sumber lembaga keuangan internasional seperti USAID, lembaga-lembaga penelitian dari AS, termasuk di dalamnya perguruan tinggi dari AS. Mereka berkedok melakukan berbagai kerjasama. Selanjutnya mereka mengucurkan dana. Lalu seluruh proyek, program-program, kurikulum dan penelitian yang ada akan dikendalikan oleh pemberi dana. Itulah modus selanjutnya. Dengan itu, asing dapat dengan mudah mengendalikan perguruan tinggi. AS pun bisa lebih leluasa masuk tanpa melalui Departemen Pendidikan Nasional lagi.
Jadi, di balik RUU BHP ini bukan semata-mata otonomisasi lembaga perguruan tinggi di Indonesia, tetapi sebagai jalan mulus masuknya sistem dan ideologi kapitalis di Indonesia.
Bagimana dengan gencarnya program beasiswa ke luar negeri?
Beasiswa juga merupakan salah satu modus operandi Neo-Liberal dalam merusak sistem pendidikan Indonesia. Jalur rekrutmen, selain melalui kerjasama penelitian, kerjasama di antara institusi pendidikan tinggi, juga melalui beasiswa. Kerjasama antar institusi pendidikan tinggi biasanya difokuskan untuk membuat program-program kursus jangka pendek. Di UI dulu juga seperti itu. Di UI dikembangkan kursus jangka pendek tentang ekonomi yang pada selanjutnya dikembangkan menjadi kurikulum.
Adapun program beasiswa adalah untuk membiayai mahasiswa dan dosen-dosen dari perguruan tinggi bersangkutan untuk belajar ke Amerika. Ini merupakan pola umum yang sering terjadi dan terus berulang. Namun, tidak banyak yang menyadarinya.
Siapa sebenarnya yang menjadi agen Neo-Liberalisme, khususnya di sektor pendidikan?
Menurut saya semua orang yang menjabat dan yang berwenang dalam dunia pendidikan saat ini terlibat. Kalau secara khusus, sepanjang mereka tidak ada penolakan secara terbuka, menurut saya mereka adalah agen. Harus dikelompokkan begitu. Harus itu. Kalau tidak begitu, mereka akan keenakan.
Lalu bagaimana hubungan sistem pendidikan dengan upaya mempertahankan rezim kapitalis itu sendiri?
Begini. Setiap ideologi secara metodologi pasti harus dikembangkan, dipertahankan dan disebarluaskan. Ideologi apapun pasti akan seperti itu. Nah, untuk mempertahankan, mengembangkan dan menyebarluaskannya itu membutuhkan sarana dan prasarana. Apa sarana dan prasarananya? Di antaranya pendidikan. Lalu dikembangkan pendidikan yang ’otonom’, dengan mengaburkan makna dan maksud sesungguhnya. Sesungguhnya pendidikan saat ini merupakan bagian penting dari masyarakat kapitalis supaya masyarakat terdidik di alam kapitalis. Pikiran mereka pikiran kapitalis. Cara bertindak mereka juga cara kapitalis. Pada khirnya mereka semua adalah agen penyebar Kapitalisme.
Kita melihat saat ini pendidikan yang berbasis Islam sudah mulai muncul, namun dengan banyak keterbatasan. Bagaimana Bapak melihat fenomena tersebut?