HTI

Dari Redaksi (Al Waie)

Ideologi Transnasional

“The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Philip K. Hitti, History of Arab).

Ideologi transnasional kembali dipersoalkan. Kali ini yang dimaksud adalah ideologi yang berasal dari Timur Tengah seperti yang diemban Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Mujahidin dan Al-Qaeda. Ideologi transnasional dipersoalkan antara lain karena: (1) tidak bersumber dari akar budaya Indonesia sehingga berbahaya bagi keutuhan bangsa; (2) menggunakan Islam sebagai ideologi politik, bukan sebagai way of life (jalan hidup); (3) Islam adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan; (4) mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pernyataan pertama perlu dipertanyakan. Akar budaya Indonesia mana yang dimaksud? Sebab, hingga kini belum ada definisi yang jelas tentang budaya asli Indonesia; apakah animisme, Hindu, Budha, Islam atau kapitalistik seperti yang terjadi sekarang. Secara jujur, sulit untuk mengklaim budaya asli Indonesia. Indonesia dengan posisi strategisnya telah bersentuhan dengan semua ideologi dan budaya dunia. Sebutkan satu ’tradisi’ di Indonesia, pasti memiliki akar ke budaya luar. Sistem politik kita juga sama; tidak asli Indonesia. Demokrasi, parlemen, bahkan kata republik dalam NKRI saja bukan asli Indonesia, tetapi berasal dari Barat. Sama halnya dengan istilah musyarawarah, rakyat, atau dewan; berasal dari bahasa Arab yang berhubungan erat dengan Islam.

Masuknya Islam ke Indonesia tidak lepas dari watak ’transnasional’ Islam. Pada tahun 808 H (1404 M) datang sembilan ulama utusan Daulah Khilafah Ustamaniyah ke Tanah Jawa melalui kesultan Samudera Pasai untuk berdakwah. Tahun 1421-1436, datang ulama ’transnasional’ ke Jawa menggantikan utusan sebelumnya yang wafat. Ulama tersebut adalah Sayyid Ali Rahmatullah dari Samarkand, Sayyid Ja‘far Shadiq (Sunan Kudus) dari Palestina, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Palestina, cucu Raja Siliwangi Pajajaran. Watak transnasional ini wajar saja, mengingat Islam memang agama bagi seluruh manusia (rahmat lil ‘alamin).

Organisasi Islam di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari ciri ’transnasional’-nya. Sebagian pendiri organisasi Islam di Indonesia belajar Islam dari Timur Tengah. Pendiri NU KH Hasyim Ash‘ary dan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sama-sama belajar di Timur Tengah. Bisa dipahami, sebab pusatnya Islam sejak kelahirannya hingga zaman keemasan Islam memang ada di Timur Tengah. Jadi, menolak pemikiran Islam hanya karena berasal dari luar, apalagi Timur Tengah, adalah ahistoris.

Pertanyaan berikutnya, apakah budaya Indonesia dijamin benar? Tentu, tidak bisa dikatakan bahwa budaya perang antarsuku di Papua, budaya carok di Madura baik, budaya kemusyrikan menyembah leluhur, atau budaya Indonesia sekarang yang kental dengan corak kapitalistik itu baik. Karena itu, yang harus dipersoalkan bukanlah asalnya, namun apakah ideologi itu benar atau salah, dari manapun asalnya.

Tudingan bahwa gerakan Islam menjadikan agama sebagai ideologi bukan way of life, juga penting untuk dikritik. Bukankah ideologi itu adalah way of life? Justru fungsi terpenting ideologi itu adalah way of life (jalan hidup). Memang, ada wacana yang berkembang, apakah Islam itu sekadar agama ritual atau ideologi. Kalau yang dimaksud dengan agama itu hanya berisi ajaran tentang ketuhanan, ibadah ritual, dan moralitas, jelas Islam tidak seperti itu. Ajaran Islam berisi berbagai aspek kehidupan; dari hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung (akidah dan ibadah ritual/mahdhah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, berpakaian, minuman, makanan) hingga hubungan manusia dengan sesamanya (politik, ekonomi, pendidikan, sosial, negara ).

Di dalam al-Quran, di samping ada perintah shalat, juga ada perintah untuk menaati ulil amri/penguasa yang merupakan aspek politik; di samping kewajiban shaum Ramadhan, ada kewajiban jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah); di samping kewajiban zakat, ada juga keharaman riba yang jelas berhubungan dengan aspek ekonomi. Islam juga mengenal secara jelas dan rinci hukum qishash bagi pembunuh, cambuk/rajam bagi pezina, dan potong tangan bagi pencuri. Demikian seterusnya. Karena itu, kalau yang dimaksud ideologi itu adalah sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan dengan berbasis pada pandangan hidup tertentu, maka Islam adalah ideologi.

Pengakuan Islam bukan sekadar sebagai agama ritual juga muncul dari pemikir dan sejarahwan Barat. Philip K. Hitti menyebut Islam sebagai agama, negara, dan budaya. “The term Islam may be used in three sense: originally a religion, Islam later became a state, and finally a culture.” (Philip K. Hitti, History of Arab). Hal yang sama disebut oleh Joseph Schact, bahwa ajaran Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dia menulis, “The ideal of Islam is the rule of religion over all of life; as a religion as at the same time the Weltanschauung and way of life its believers.” (Joseph Schact; Encylopedia of Social Sciences).

Pemisahan secara mutlak gerakan keagamaan dan politik, apalagi kemudian membenturkan keduanya, adalah cara pandang sekular dan tidak pas dinisbatkan pada Islam. Kalau aktivitas mengoreksi penguasa yang zalim merupakan aktvitas politik, jelas Islam merupakan gerakan politik. Islam bahkan mewajibkan umatnya untuk mengoreksi penguasa yang zalim. Kalau aktivitas Rasulullah saw. mendirikan sistem Islam di Madinah dan menumbangkan sistem Jahiliah yang ada merupakan aktivitas politik, maka Islam juga merupakan gerakan politik. Karena itu, politik adalah bagian dari ajaran agama Islam itu sendiri. Dengan demikian, gerakan Islam transnasional lebih tepat disebut sebagai gerakan politik yang berdasarkan pada agama (Islam).

Dalam konteks ini, Hizbut Tahrir memang merupakan gerakan politik yang berasaskan Islam—sebagai sebuah ideologi transnasional—yang bertujuan untuk menegakkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Sebab, selain karena Islam telah mewajibkannya, syariah Islam juga merupakan solusi atas berbagai persoalan bangsa ini. Karena itu, perjuangan semacam ini sah-sah saja, bahkan harus didukung. Justru, yang harus ditolak adalah ideologi transnasional di luar Islam, yakni Kapitalisme dan Sosialisme/Komunisme, yang telah terbukti menimbulkan berbagai kerusakan di dunia ini. [Farid Wadjdi]

10 comments

  1. galuh sawitri (cubby)

    assalamu’alaikum Wr Wb
    Yang terpenting adalah apa esensi yang ada pada ideologi tersebut, bukan darimana atau siapa yang membawa ideologi tersebut. selama ideologi tersebut benar isinya; sesuai dengan yang ada di dalam alqur’an dan as-sunnah; dapat memperbaiki kondisi di Indonesia yang secara global pada saat ini sedang dalam keadaan yang berantakan maka kita tidak boleh menhalangi eksistensi mereka di Indonesia. toh, mereka juga saudara kita yang seiman
    Wassalamu’alaikum Wr Wb

  2. Pada dasarnya,budaya Indonesia sendiri berasal dari luar,jadi tentu aj klo da yang bilang g cocok dg budaya ne2k moyang,y artinya ambigu.Lagian benarkah tetap dg ideologi sekarang ini bisa membuat keadaan indonesia bangkit dari keadaan yang serba kacau balau sekarang?Menurut saya,yang membuat bangsa Indonesia dahulu bersatu dan bangkit dari kebodohan dan penjajahan oleh bangsa asing bukanlah karena budayanya,bukan?Melainkan karena hal lain.Itulah yang harusnya kita cari,tentu aj hrs benar,klo salah entar malah tambah g karuan.
    O iya,boleh tanya juga,sebenarnya hukum Potong tangan…dan teman2nya tuh masih berlaku sekarang y?Masalahnya jika hal itu diberlakukan sekarang,tentu saja akan banyak orang yang menentang,apalagi sekarang adacara lain dengan penjara bukan?Memang dengan hukuman yang berat akan mencegah perbuatan2 yang jelek.Tapi,itu bukanlah solusi yang bagus,karena bukan berasal dari diri orang itu sendiri,sehingga saat tak ada yang oramh,ia bisa melakukannya bukan?Malah yang ada ntar mlh protes2.Bagaimana?

  3. Islam di turunkan sebagai rahmatan lil’alamin, untuk semua manusia dan semua generasi (lintas etnik dan nasab), Al Quran dan As sunnah sebagai sumber hukum yang telah teruji kebenarannya dan di jamin kebenarannya. Tinggal siapakah yang mau mengambil dan menjadikannya sebagai way of live and rule of live.

  4. Sari-Q@makassar

    Menyedihkan, banyak sodara kita yang termakan hasutan kafir imperialis dan mereka menjadi agennya untuk mengadu domba kaum Muslim dan membenturkan organisasi Islam. Jangan terprovokasi. Tetap berjuang, tegakkan Khilafah

  5. Sekarang ummat haus terus belajar dan menambah wawasan atas Islam dan semua hal yg ingin menjatuhkan Islam, dan terus merentas UKHUWAH untuk membendung itu semua.

  6. Mereka yang anti islam ideologi mulai gerah melihat gerak-gerik para pengemban ideologi islam yg merupakan solusi segal krisis multidimensional di negeri ini,teruskan da`wah kalian ………alloh swt with us

  7. Jika ada seorang muslim menolak Islam sebagai ajaran yang transnasional, sebenarnya dia sama saja dengan membohongi keberagamaannya sendiri.
    karena Islam berasal dari luar Indonesia..
    qmenasehati diriku sendiri dan muslim yang lain, hati-hati ya jika menyatakan sesuatu… bisa membatalkan keislaman kita lho meski itu ringan di lisan…

  8. ISLAM ADALAH AGAMA SEYANG BERAZASKAN AQIDAH/IDEOLOGI KETUHANAN YANG PERATURAN SELALU OK UNTUK MENJAWAB TANTANGAN JAMAN DAN TEMPAT SERTA GENERASI, KARENA PERATURAN ITU DIBUAT OLEH PENNCIPTA LANGIT DAN BUMI SERTA ISINYA DAN MENJADIKAN MANUSIA SEBAGAI OBJEK HUKUM OLEH KARENA ITU SELALU ALWAYS KEREDIBILITASNYA SAMPAI KIAMAT.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*