«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ قَالُوْا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لاَ مَا أَقَامُوْا فِيْكُمْ الصَّلاَةَ أَلاَ مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ»
Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian serta yang kalian doakan dan mereka juga mendoakan kalian. Seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian serta yang kalian laknat dan mereka juga melaknat kalian. Mereka berkata, “Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat demikian?’ Rasul menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Ingatlah, siapa yang diperintah oleh seorang wali, lalu ia melihat wali itu melakukan sesuatu kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya ia membenci kemaksiatan itu dan janganlah ia melepaskan tangan dari ketaatan.” (HR Muslim, Ahmad dan ad-Darimi).
Imam Muslim (Shahîh Muslim bâb Khiyâr al-Aimmah wa Syirâruhum) mengeluarkan hadis ini dari beberapa sanad: dari Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhaliy, dari Isa bin Yunus, dari al-Awza’i, dari Yazid bin Yazid bin Jabir, dari Ruzaiq bin Hayyan; dari Dawud bin Rusyaid, dari al-Walid bin Muslim, dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Ruzaiq bin Hayyan Maula bani Fazarah; dari Ishaq bin Musa al-Anshari, dari Walid bin Muslim, dari Ibn Jabir, dari Ruzaiq Maula Bani Fazarah. Ruzaiq meriwayatkannya dari Muslim bin Qarazhah, dari Auf bin Malik al-Asyja’i. Imam Muslim juga berkata, “Muawiyah bin Shalih meriwayatkan hadis ini dari Rabiah bin Yazid, dari Muslim bin Qarazhah, dari Auf bin Malik al-Asyja’i.
Imam Ahmad (Musnad bâb Hadîts ‘Awf ibn Malik al-Asyja’i) mengeluarkan hadis ini dari Ali bin Ishaq, dari Abdullah, dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Ruzaiq Maula Bani Fazarah, dari Muslim bin Qarazhah, dari Auf bin Malik al-Asyja’i. Adapun ad-Darimi mengeluarkannya dalam bâb fî ath-thâ’ah wa luzûm al-jamâ’ah (tentang ketaatan dan keharusan jamaah) dari Hakam bin al-Mubarak, dari al-Walid bin Muslim, dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Ruzaiq bin Hayyan Maula Bani Fazarah, dari Muslim bin Qarazhah, dari Auf bin Malik al-Asyja’i.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu‘jam al-Kabîr, Abu ‘Awanah dalam Musnad Abu ‘Awânah, al-Ajuri dalam Asy-Syarî’ah, dan lainnya. Semuanya bersumber dari penuturan Auf bin Malik al-Asyja’i.
Makna Hadis
Al-Mawardi berkata, “Ini benar. Sungguh, seorang imam, jika memiliki kebaikan, ia mencintai dan dicintai oleh rakyat. Sebaliknya, jika buruk (jahat), ia membenci dan dibenci oleh rakyat. Pokok hal itu bahwa rasa takut kepada Allah akan mendorong untuk taat kepada-Nya dalam memperlakukan makhluk-Nya. Ketaatan kepada Allah akan mendorong untuk mencintai makhluk-Nya. Oleh karena itu, kecintaan itu merupakan bukti atas kebaikan imam. Sebaliknya, kebencian rakyat kepada imam adalah bukti keburukannya serta minimnya perhatian imam kepada rakyat.”
Asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr menjelaskan, hadis ini merupakan dalil disyariatkannya mencintai imam dan mendoakan mereka. Imam yang mencintai dan dicintai rakyat, mendoakan dan didoakan oleh rakyat merupakan imam yang paling baik. Sebaliknya, imam yang membenci dan dibenci rakyat, mencaci dan dicaci oleh rakyat, termasuk imam yang paling buruk. Hal itu karena jika imam berlaku adil di tengah rakyat, berkata baik kepada rakyat, maka rakyat akan menaati, mematuhi dan memujinya. Ketika seorang imam, keadilan dan kebaikan perkataannya menyebabkan kecintaan, ketaatan dan pujian rakyat kepadanya, ia termasuk imam yang paling baik. Sebaliknya, tatkala kezaliman dan caciannya kepada rakyat menyebabkan rakyat menyalahinya dan berkata buruk tentang dia, maka dia termasuk seburuk-buruk imam.
Hadis ini menegaskan wajibnya menaati imam hingga meskipun imam itu melakukan kemaksiatan. Ketaatan itu selama bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah. Dalam kondisi imam melakukan kemaksiatan itu, Rasul memerintahkan agar kita membenci kemaksiatannya itu. Beliau tetap melarang kita melepaskan tangan dari ketaatan, tentu diiringi dengan aktivitas amar makruf nahi mungkar kepada imam, yang disyariatkan dalam nas yang lain.
Manthûq hadis ini juga menjelaskan tidak bolehnya memerangi imam dan mencabut kekuasaannya selama ia masih menegakkan shalat di tengah kaum Muslim. Adapun mafhûm-nya menyatakan bolehnya memerangi imam jika sudah tidak menegakkan shalat di tengah kaum muslim. Frasa mâ aqâmû fîkum ash-shalâh (selama dia masih menegakkan shalat di tengah kalian) maksudnya bukan selama imam masih menjalankan shalat. Frasa tersebut merupakan majaz (kiasan) menggunakan uslûb: ithlâq al-juz’i wa irâdah al-kulli (menyebutkan sebagian, sedangkan yang dimaksud adalah keseluruhan). Maksud frasa itu adalah, selama masih menegakkan Islam, yakni selama masih menerapkan hukum-hukum Islam. Sebab, dalam Islam, wali yang wewenangnya tidak mencakup masalah finansial disebut wâliy ash-shalâh, sedangkan yang mencakup masalah finansial disebut wâliy ash-shadaqah.
Makna ini sejalan dengan hadis Ubadah bin Shamit yang menjelaskan wajibnya memerangi imam dan mencabut kekuasaannya jika sudah tampak kufr[an] bawâh[an] (kekufuran yang nyata)—dalam riwayat lain kufr[an] sharâh[an] (kekufuran secara terang-terangan); misalnya jika imam menerapkan hukum kufur seraya meyakini kelayakannya dan ketidaklayakan hukum Islam. Itu sama artinya dengan tidak lagi menegakkan shalat di tengah-tengah kaum Muslim.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh. [Yahya Abdurrahman]