وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ، فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ، فَذَرْهُمْ فِي غَمْرَتِهِمْ حَتَّى حِينٍ
Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (QS al-Mukminun [23]: 52-54)
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wa inna hâdzihi ummatukum ummat[an] wâhidat[an]. Menurut al-Asfahani, ummah adalah setiap jamaah yang dipersatukan oleh suatu perkara, baik perkara itu berupa agama, zaman, atau tempat yang sama; yang bersifat paksaan atau pilihan.1 Namun, kata ummah juga sering digunakan untuk menunjukkan perkara yang menjadi aspek pemersatunya (Lihat, misalnya, QS az-Zukhruf [43]: 22).
Kata ummah dalam ayat tersebut bermakna ad-dîn. An-Nasafi, asy-Syaukani, Ibnu ‘Athiyah, al-Baidhawi, al-Qasimi, dan banyak mufassir lainnya menafsirkan kata ummah dalam ayat ini dengan millah atau syarî‘ah.2 Al-Qurthubi dan Ibnu Juzyi juga memaknainya ad-dîn.3
Lalu dhamîr mukhâthab jama‘ (kum) terkait dengan seruan dalam ayat sebelumnya: Yâ ayyuhâ ar-rusul, kulû min ath-thayyibât (Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik). Dengan demikian, ayat ini memberitahukan kepada para rasul—dan seluruh umatnya—bahwa ummah atau millah mereka itu adalah millah wâhidah (agama yang satu).4
Jika dikaitkan dengan beberapa ayat sebelumnya, penafsiran tersebut amat relevan. Dalam ayat sebelumnya, diberitakan mengenai diutusnya para rasul yang berturutan (ayat 44), kisah Nabi Musa as (ayat 45-49), dan Nabi Isa as (ayat 50). Semua rasul itu diperintahkan Allah Swt. dengan perintah yang sama, yakni diwajibkan untuk makan dengan makanan yang thayyib (halal) dan beramal salih (QS al-Mukminun [23]: 51). Kesamaan perintah itu menunjukkan bahwa millah atau dîn mereka adalah satu. Agama para rasul itu memerintahkan manusia untuk beribadah kepada Allah Swt dan tunduk pada syariah-Nya, sekalipun dalam rincian syariahnya bisa berbeda-beda (QS al-Maidah [5]: 48). Menurut ar-Razi, perbedaan rincian syariah itu tidak bisa disebut sebagai ikhtilâf fî ad-dîn (perbedaan dalam agama). Walaupun dalam taklif hukumnya ada yang berbeda, agama para rasul tetap satu. Allah Swt. menegaskannya dalam QS asy-Syura [42]: 13.
Allah Swt. lalu berfirman: Wa Anâ Rabbukum fattaqûn (dan Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu, bertakwalah kalian kepada-Ku). Ditegaskan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh manusia. Konsekuensinya, mereka wajib menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Penegasan itu menunjukkan, akidah agama semua rasul itu sama. Ar-Razi menyatakan, kalimat wa Anâ Rabbukum fattaqûn menunjukkan bahwa agama semua rasul itu adalah satu, yakni dalam perkara yang berkaitan dengan ma‘rifatullâh dan takut bermaksiat kepada-Nya.5
Pada awalnya agama para rasul itu memang satu sehingga mereka merupakan satu umat. Namun, pada masa sesudahnya mereka menjadi umat yang berpecah-belah. Perpecahan itu disebabkan oleh ulah sebagian orang yang sengaja merusak agamanya. Realitas ini dijelaskan dalam ayat sesudahnya: fataqaththa‘û amrahum baynahum zubur[an] (kemudian mereka terpecah-belah dalam urusannya menjadi beberapa golongan).
Kata taqaththa‘û artinya tafarraqû (berpecah belah).6 Kata tersebut mengandung makna mubâlaghah untuk menunjukkan parahnya perbedaan mereka.7 Dhamîr wâwu al-jamâ‘ah (mereka) dalam kata taqaththa’û merujuk kepada umat-umat para rasul.8 Adapun kata amrahum dalam frasa ini bermakna dînahum (agama mereka) atau segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.9 Dengan demikian, frasa ini memberikan pengertian, agama Allah Swt. adalah satu, kemudian mereka membuatnya menjadi banyak agama yang berbeda-beda.10 Realita ini juga diungkap dalam QS al-Anbiya’ [21]: 92-93.
Sementara itu, kata zubur[an], menurut Qatadah, ath-Thabari, an-Nasafi, dan Mahmud Hijazi bermakna kutub (kitab-kitab) yang dibuat dan disusun.11 Artinya, mereka berpecah-belah dalam berbagai agama. Masing-masing kelompok menyusun kitabnya sendiri-sendiri, berpegang teguh padanya, dan ingkar terhadap kitab-kitab selainnya.12
Menurut al-Alusi, al-Baidhawi, al-Wahidi, al-Khazin, dan asy-Syaukani, kata zubur[an] merupakan bentuk jamak dari kata zabûr yang berarti qith‘ah atau firqah (kelompok, golongan).13 Karena itu, zubur bermakna firaq (kelompok-kelompok). Artinya, para pengikut rasul yang sebelumnya memeluk agama yang sama itu kemudian berpecah-belah menjadi banyak firqah, kelompok, atau hizb. Masing-masing kelompok dan golongan itu memiliki karakter yang sama, yakni: Kullu hizb[in] bimâ ladayhim farihûn (Setiap golongan [merasa] bangga dengan apa yang ada pada mereka masing-masing).
Secara bahasa, kata al-hizb berarti jamâ‘ah min an-nâs (kelompok dari manusia).14 Frasa bermakna bimâ ladyhim adalah dîn mereka; juga kitab, hawa nafsu, atau pendapat mereka.15 Kata farihûn berarti masrûrûn, mu‘jibûn, râdhûn (senang, kagum dan ridha).16 Maknanya, masing-masing kelompok dan golongan itu merasa bangga dengan agama mereka yang sesat. Mereka tidak merasa berada dalam kesesatan. Bahkan sebaliknya, mereka merasa berada di atas kebenaran (‘alâ al-haqq).
Jika mereka bersikukuh dengan sikapnya sekalipun sudah mendapatkan petunjuk dan penjelasan yang benar, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk bersikap tegas terhadap mereka: fadzarhum fî ghamratihim hattâ hîn (Karena itu, biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai waktu yang ditentukan). Khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Beliau diperintahkan untuk membiarkan orang-orang yang memecah-belah agama Allah Swt. dalam kebodohan dan kesesatan. Pada asalnya, kata ghamrah berarti as-sitr (tutup). Kata tersebut juga digunakan untuk menunjukkan al-jahl wa adh-dhalâl (kebodohan dan kesesatan).17
Yang dimaksud dengan kata hattâ hîn (sampai waktu yang ditentukan) adalah waktu yang telah ditentukan Allah Swt., yang sama sekali tidak bisa mereka elakkan. Menurut para mufassir, ungkapan tersebut berarti waktu mereka terbunuh, mati, atau turunnya azab.18
Tidak Semua Hizb Terlarang
Potongan ayat ini: Kullu hizb[in] bimâ ladayhim farihûn (QS al Mukminun [23]: 53) dijadikan dasar oleh sebagian orang untuk mengharamkan keberadaan semua hizb. Alasannya, semua hizb memiliki karakter yang sama, yakni berbangga terhadap pemikiran atau pendapat yang mereka miliki. Kebanggan dan kekaguman itu merupakan bibit munculnya sikap ashabiyyah kelompok, yang pada gilirannya dapat merusak persatuan Islam. Aneka pertikaian antarkelompok berawal dari sikap tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka, keberadaan semua hizb itu terlarang, sekalipun hizb itu memperjuangkan Islam.
Penggunaan ayat ini untuk mengharamkan keberadaan hizb jelas tidak tepat. Setidaknya ada tiga alasan yang menunjukkan kesalahan pendapat tersebut. Pertama: Dari segi bentuk kalimat, frasa tersebut berbentuk berita. Kandungan maknanya juga tidak menunjukkan sebuah larangan. Sebab, kata farihûn tidak spesifik menunjukkan sebuah celaan.
Secara bahasa, kata al-farh berarti naqîdh al-huzn (lawan dari sedih).19 Menurut para mufassir, sebagaimana telah terpapar, kata tersebut bermakna masrûrûn (senang), mu‘jibûn (kagum, bangga), atau râdhûn (ridha). Semua pengertian itu juga menunjukkan makna netral. Sikap farah bisa menjadi terpuji atau tercela, bergantung pada perkara yang menjadi penyebabnya. Jika perkaranya memang layak membuat mereka senang, bangga, dan gembira, maka bersikap demikian bukan sesuatu yang tercela, bahkan diperintahkan. Allah Swt., misalnya, berfirman: Qul bi fadhlillâh wa birahmatih fabidzâlika falyafrahû (Katakanlah, “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.”) (QS Yunus [10]: 52).
Sebaliknya, jika perkaranya memang tidak layak untuk dibanggakan dan disambut gembira; atau cara melampiaskannya melampaui batas syariah, maka farah menjadi sikap yang tercela; sebagaimana dalam firman-Nya: Walâ tafrahû bimâ âtâkum wallâh lâ yuhibbû kulla mukhtâl fakhûr (Jangan terlalu bergembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri) (QS al-Hadid [57]: 23).
Oleh karena itu, jika dalam ayat ini semua hizb yang diceritakan tampak tercela, hal itu bukan disebabkan oleh sikap farihûn-nya, namun karena perkara yang menyebabkan mereka farihûn. Perkara yang mereka kagumi dan banggakan adalah agama mereka yang sesat; sesuatu yang sama sekali tidak layak untuk dikagumi dan dibanggakan.
Realita tersebut dengan jelas dapat diketahui dalam konteks ayat ini. Pada ayat sebelumnya diceritakan tentang adanya orang-orang yang memecah-belah agama yang dibawa para rasul menjadi banyak golongan. Lalu dalam ayat selanjutnya Rasulullah saw. diperintahkan untuk membiarkan mereka dalam kesesatan dan kebodohan.
Konteks yang sama juga tampak dalam ayat lainnya. Kata kullu hizb[in] juga dikekatkan dengan orang-orang yang memecah-belah agama menjadi beberapa golongan. Allah Swt. berfirman:
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka (QS ar-Rum [30]: 32).
Artinya, celaan yang ditujukan kepada semua hizb itu disebabkan karena mereka membanggakan kesesatan agama mereka. Menurut az-Zamakhsyari dan al-Qasimi, frasa ini memberikan makna bahwa masing-masing kelompok yang berbeda-beda dan berpecah-belah dalam agama itu merasa senang dengan kebatilannya, tenteram jiwanya, dan yakin bahwa mereka di atas kebenaran.20
Kedua: Seandainya semua hizb dilarang berdasarkan ayat ini, niscaya tidak ada satu pun hizb yang dipuji Allah Swt. Dalam kenyataannya, masih ada hizb yang dipuji. Hizb yang dimaksud adalah hizbullâh. Mereka disinyalir sebagai kelompok yang mendapat kemenangan (ghâlibûn) (QS al-Maidah [5]: 56) dan beruntung (muflihûn) (QS al-Mujadilah [58]: 22).
Ketiga: adanya perintah kepada kaum Muslim untuk membentuk suatu ummah yang menjalankan tugas dakwah kepada Islam dan amar makruf nahi mungkar (QS. Ali Imran [3]: 104). Kata ummah bisa bermakna thâ’ifah, firqah, atau hizb. Orang-orang yang tergabung di dalamnya dinyatakan sebagai orang-orang yang beruntung. Perintah itu menunjukkan: tidak semua hizb tercela.
Jelaslah, yang menjadi masalah bukan hizb-nya, tetapi akidah apa yang diyakini dan diemban oleh hizb itu. Jika akidahnya kufur (sebagaimana ditunjukkan QS al-Mu’minun [23]: 52 dan QS ar-Rum [30]: 32 ini), maka hizb itu tercela dan dilarang. Sebaliknya, jika mereka berakidah Islam, mengemban dan mendakwahkan Islam, memperjuangkannya agar tegak di muka bumi, serta menjalankan amar makruf nahi munkar niscaya mereka akan mendapatkan keberuntungan dan kemenangan sebagaimana dijanjikan dalam QS Ali Imran [3]: 104. Hizb yang seperti ini bukan hanya tidak terlarang, namun justru diwajibkan.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. d
Catatan kaki:
- Ar-Raghib al-Asfahani, Mu‘jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 19 (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
- An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, 2/137 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 2/602 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); Ibnu ‘Athiyah al-Andalusi, Al-Muharrar al-Wajîz, 4/147 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 2/106 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988); al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 7/292 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, 6/87 Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, 2/72 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).
- Al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, 3/292 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, 2/137; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 2/106; Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 3/310 (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997); az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 17/57 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991).
- Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 23/91.
- Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 3/273 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).
- Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 23/92.
- Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3, 310; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 207; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Al-Tashîl, 2/72.
- An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, 2/138; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 3/273; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 5/332 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993); al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, 3/529 (tt: Nahr al-Khayr, 1993) menafsirkan dînahum; sedangkan ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 23/91 memaknainya sesuatu yang berkaitan dengan
- As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 2/410 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
- Pendapat Qatadah itu dikutip as-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr, 5/20 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990). Pendapat itu sama dengan pendapat ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 9/221 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992); an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, 2/137; Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wâdhih, 2/629 (Zarqayiq: Dar al-Tafsir, 1992).
- Sulaiman al-Ajili, Al-Futûhat al-Ilâhiyyah, 5/248 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003).
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 9/242 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, 2/106; al-Wahidi, Al-Wasîth, 3/292; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 7/292; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 3/273; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 2/604.
- Ibnu Madzur, Lisân al-‘Arab, 1/308 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, 6/86 dan al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, 2/106, menafsirkannya dîn mereka; sementara menurut al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, 2/138 selain dîn kata tersebut juga berarti kitab, hawa nafsu, atau pendapat mereka.
- An-Nasafi (Madârik at-Tanzîl, 2/138) menafsirkannya masrûrûn; az-Zuhaili (At-Tafsîr al-Munîr, 17/56) menafsirkannya masrûrûn mu’jibûn; al-Khazin (Lubâb al-Ta’wîl, 3/273) dan as-Samarqandi (Bahr al-‘Ulûm, 2/410) mengartikannya mu‘jibûn râdhûn; al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 6/86), al-Baidhawi (Anwâr al-Tanzîl, 2/106), dan asy-Syaukani (Fath al-Qadîr, 2/604) hanya memaknainya mu‘jibûn. Al-Wahidi (Al-Wasîth, 3/292) hanya menafsirkannya râdhûn.
- Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl l, 2/7.
- Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, 2/106 menafsirkannya terbunuh atau mati. Al-Wahidi, al-Wasîth, 3/292; Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 5/332.
- Ibnu Madzur, Lisân al-‘Arab, 2/541; Ibnu Sayyidih, Al-Muhkam wa al-Muhîth al-A’zham, 2/23.
- Az-Zamaksyari, Al-Kasyaf, 3/186 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 186; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 7, 292. Pendapat yang senada dengan ungkapan yang berbeda juga dikemukakan oleh an- Nasafi, Madârik al-Tanzîl, 2/138; juga ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 23/92; Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 5/124 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996).