Pengantar
Kitab Nizhâm al-’Uqûbât karya Dr. Abdurrahman al-Maliki termasuk kitab non-mutabannat yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir dan tidak diajarkan di dalam halaqah-halaqah intensif. Namun, para syabab Hizb dianjurkan membaca dan memahami kitab ini. Anjuran ini bisa dimengerti karena kitab tersebut merupakan salah satu seri kitab yang menjelaskan bagian terpenting dari sistem peradilan Islam, yakni sistem sistem persanksian.
Sistem Peradilan Islam
Sistem peradilan Islam dibagi menjadi tiga subsistem penting:
- Struktur dan birokrasi peradilan dalam Islam; meliputi macam-macam qâdhi, tugas dan kewenangan, pengangkatan, dan mekanisme birokrasi lainnya).
- Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pembuktian (ahkâm al-bayyinah); mencakup pembahasan mengenai materi yang absah dan yang tidak absah dijadikan sebagai bukti hukum, syarat-syarat serta mekanisme pembuktian untuk kasus-kasus pidana dan perdata, dan lain-lain.
- Sistem persanksian, yakni sistem yang menjelaskan macam-macam sanksi yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar hukum, beserta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Untuk itu, siapa saja yang ingin mendapatkan pemahaman utuh mengenai sistem peradilan Islam, ia harus mendalami: sistem persanksian; sistem pembuktian; serta struktur dan birokrasi peradilan Islam.
Hizbut Tahrir telah menjelaskan tiga hal tersebut di dalam tiga kitab terpisah. Untuk sistem pembuktian, Hizbut Tahrir mengeluarkan kitab non-mutabannat berjudul Ahkâm al-Bayyinah, karya ‘Allamah Ahmad Daur. Untuk sistem persanksian, Hizbut Tahrir juga mengeluarkan kitab non-mutabannat berjudul Nizhâm al-’Uqûbât karya Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki. Adapun sistem birokrasi dan struktur (perangkat) peradilan telah dibahas di dalam kitab Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm karya ‘Allamah Abdul Qadim Zallum, dalam bab al-Qadhâ’.
Kelebihan Buku
Pada dasarnya, sistem peradilan Islam beserta bagian-bagiannya sudah disitir dalam kitab-kitab fikih klasik. Hanya saja, pembahasannya masih kurang sistematis, campur aduk, tercecer dalam sub-sub pembahasan yang berbeda-beda, dan tidak membangun sebuah sistem yang hirarkis. Di dalam kitab fikih klasik, pembahasan mengenai sanksi dan pembuktian, kadang-kadang dijadikan satu dalam kitab Al-Hukm, ‘Aqdliyyah, Syahadah, dan Da’awiy wa al-Bayyinah. Belum ada pemilahan, mana kitab yang khusus membahas sanksi; mana yang membahas pembuktian; dan mana yang membahas struktur peradilan. Nah, pengarang buku ini telah memisahkan pembahasan sanksi dari pembahasan lainnya, kemudian menyusunnya menjadi sebuah pembahasan yang sistemik, utuh, dan fokus.
Buku ini juga meletakkan beberapa panduan penting untuk menuntun para qâdhi (hakim) dalam menetapkan sanksi yang tepat untuk kasus-kasus ta‘zîr; yakni kasus-kasus yang jenis dan kadar sanksinya belum ditetapkan secara spesifik oleh hukum syariah. Ini ditujukan agar esensi dan fungsi utama peradilan bisa ditegakkan, yakni menjamin keamanan dan keadilan di tengah-tengah masyarakat serta menjaga eksistensi Daulah Islamiyah. Contohnya, qâdhi harus menjatuhkan sanksi berat terhadap individu, kelompok, maupun organisasi yang mendirikan partai yang berasaskan nasionalisme, sekularisme, maupun paham-paham lain yang bertentangan dengan Islam; atau yang didirikan untuk memecah-belah kaum Muslim dan menghancurkan eksistensi Khilafah Islamiyah; dan lain sebagainya. Dengan panduan tersebut, seorang qâdhi diharapkan mampu menegakkan peradilan yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Dengan itu, kaum yang lemah berani meminta haknya, kaum yang kuat tercegah untuk melakukan kezaliman atas kaum yang lemah, dan musuh-musuh Negara Khilafah gentar menghadapi sistem hukum dan peradilan yang begitu kuat.
Kelebihan lain yang bisa kita temukan dalam buku ini adalah adanya penjelasan filosofis dan mendasar tentang persanksian di dalam Islam serta kasus-kasus yang wajib dikenai sanksi dan mana yang tidak. Menurut buku ini, secara filosofis sanksi berfungsi sebagai zawâjir dan jawâbir. Zawâjir adalah kedudukan sanksi sebagai pencegah tindak kejahatan. Jawâbir adalah fungsi sanksi sebagai penebus dosa bagi pelakunya kelak pada Hari Kiamat. Adapun kasus yang wajib dikenai sanksi adalah semua tindakan kejahatan, yakni melaksanakan perbuatan yang secara tegas dilarang oleh syariah dan meninggalkan perbuatan yang secara tegas diperintahkan oleh syariah. Perbuatan lain, selain perbuatan semacam ini, tidak akan dijatuhi sanksi.
Sistem Persanksian dalam Islam
Sanksi dibagi menjadi empat: (1) hudûd; (2) jinâyât; (3) ta‘zîr; dan (4) mukhâlafât. Kadang-kadang, istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga dikonotasikan untuk tindak pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya. Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan hudûd. Begitu pula untuk istilah lainnya.
1. Hudûd
Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.
Hudûd dibagi menjadi enam: (1) zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian); (2) al-qadzaf (menuduh zina orang lain); (3) minum khamr; (4) pencurian; (5) murtad; (6) hirâbah atau bughât.
Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat-syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan.
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.
Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan disalib.
Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah.
2. Jinâyât
Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua: (1) penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan); (2) penyerangan terhadap organ tubuh.
Kasus jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis; (1) pembunuhan sengaja; (2) mirip disengaja; (3) tidak sengaja; (4) karena ketidaksengajaan.
Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting.
Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting.
Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat.
Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash.
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.
3. Ta‘zîr
Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh: (1) pelanggaran terhadap kehormatan; (2) penyerangan terhadap nama baik; (3) tindak yang bisa merusak akal; (4) penyerangan terhadap harta milik orang lain; (4) ganggungan terhadap keamanan atau privacy; (5) mengancam keamanan Negara; (6) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama; (7) kasus-kasus ta‘zîr lainnya.
4. Mukhâlafât
Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.
Kesimpulan
Inilah gambaran umum yang bisa kita sarikan dari kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm karya ‘
Akhir kata, terciptanya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya Negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem peradilan suatu negara ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami sistem persanksian di dalam Islam merupakan perkara urgen yang telah menjadi sebuah keniscayaan. [Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy]
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.