HTI

Afkar (Al Waie)

Ancaman Krisis Ekonomi “Jilid 2”: Bukan Basa-Basi!

Pengantar:

Kondisi makro Indonesia dinilai bagus. Alasannya, perputaran uang disektor non-real jumlahnya triliunan rupiah. Belum lagi simpanan uang dan Bank Indonesia (BI) dalam bentuk SBI yang tak kalah banyaknya. Namun, kondisi sebaliknya terjadi di sektor real. Investasi tidak ada peningkatan yang signifikan, bahkan cenderung menurun. Kondisi ini masih diperparah dengan membumbungnya harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng dan beras, yang menjadi faktor utama semakin terpuruknya ekonomi Indonesia. Dengan kata lain, terjadi kondisi kontras antara makro ekonomi dan sektor real. Benarkah ini merupakan tanda akan terjadi krisis ekonomi “jilid 2”?

Kali ini wartawan al-wa‘ie Gus Uwik mewancarai Dr. Hendri Saparini (Ekonom Econit dan Tim Indonesia Bangkit) guna menggali lebih jauh tentang kondisi perkonomian Indonesia. Berikut petikan wawancaranya.

Benarkah akan terjadinya krisis ekonomi “jilid 2” di Indonesia?

Bila jujur terhadap fakta yang ada, semestinya jawabannya adalah iya. Sepuluh tahun pasca krisis, saat ini Indonesia justru kembali menghadapi ancaman: terperosok ke dalam kesalahan yang sama. Sayang, para pejabat justru cenderung tidak mau mengakuinya. Seperti diketahui, pada pertengahan Mei 2007, berbagai media cetak menyajikan berita pernyataan ’kelepasan’ Menteri Keuangan Sri Mulyani sekembalinya dari pertemuan para menteri keuangan dengan ADB di Kyoto-Jepang, bahwa kondisi saat ini mirip menjelang krisis 1997.

Namun, pernyataan tersebut akhirnya terpaksa ’diluruskan’ oleh para pejabat ekonomi lainnya dengan membantah dan mengklaim, bahwa fondasi ekonomi Indonesia saat ini justru amat kuat sehingga kecil kemungkinan terjadi krisis.

Sesungguhnya apa yang disampaikan para pejabat lembaga asing tentang kondisi Indonesia dan negara-negara Asia Timur dalam forum di Jepang tersebut bukanlah isu baru. Jauh sebelumnya, saya dan teman-teman ekonom dari Tim Indonesia Bangkit telah menyampaikan kekhawatiran ini. Saran untuk segera mengubah arah kebijakan ekonomi untuk menghindari ancaman tersebut pun pernah saya tuliskan di salah satu harian nasional pada bulan Januari lalu. Saat itu Thailand mengalami tekanan dari spekulator setelah berusaha mengurangi risiko dari derasnya arus hot money.

Sayang, oleh tim ekonomi SBY, peringatan yang disampaikan para analis dalam negeri masih dianggap angin lalu. Baru setelah hasil analisis yang sama disampaikan oleh pejabat dan konsultan asing, para menteri ekonomi kita bisa menerimanya. Mental ketergantungan terhadap asing tetap ada, bahkan untuk menyimpulkan apakah kondisi ekonomi dalam bahaya atau tidak. Memang aneh, tapi nyata.

Reaksi “asal bantah” terhadap kemungkinan krisis sangat mirip dengan peristiwa sepuluh tahun lalu. Pada bulan November 1996, ECONIT mengingatkan bahwa ekonomi Indonesia akan memasuki tahun ketidakpastian dan berpotensi terjadi koreksi. Saat itu rupiah telah mengalami overvalued serta terjadi overleverage di dunia usaha akibat cross ownership dan cross manajemen (manajemen dan kepemilikan silang antara sektor keuangan dan sektor real) sehingga ekonomi sangat rapuh.

Apa yang sesungguhnya terjadi pada ekonomi Indonesia saat ini?

Sejak beberapa kuartal terakhir sebenarnya telah terjadi peningkatan modal jangka pendek (hot money) yang luar biasa ke kawasan Asia Timur. Perkembangan ini dinilai banyak negara seperti Korea Selatan, Thailand, dan Cina cukup mengkhawatirkan. Mengapa? Alasannya, karena aliran hot money telah mengakibatkan mata uang mereka terlalu kuat sehingga mengganggu kinerja ekspor dan mendorong membanjirnya impor.

Akhirnya, negara-negara tersebut segera mengambil berbagai langkah untuk memperlemah nilai tukarnya, termasuk meredam overheating (pemanasan ekonomi), menaikkan pajak transaksi di pasar modal dan pasar uang, yang semuanya ditujukan untuk mengempeskan financial bubble (gelembung sektor keuangan) dan property bubble (gelembung di sektor properti) yang berlebihan. Mereka takut bila bubble ini pecah maka dampaknya akan merembet ke semua sektor.

Nah, sebagaimana negara-negara Asia lainnya, saat ini Indonesia juga mengalami financial bubble, bahkan dibarengi dengan kondisi struktur ekonomi yang lebih lemah dibandingkan dengan mereka. Hanya saja, respon kebijakannya berbeda. Pemerintah Indonesia menolak mengakui kondisi ini sehingga tidak melakukan langkah antisipasi.

Harus diingat bahwa sepuluh tahun lalu Indonesia pernah terseret gelombang krisis yang jauh lebih dalam dibandingkan dengan negara-negara Asia. Mengapa bisa terjadi? Selain karena Indonesia menelan mentah-mentah resep penyelesaian krisis dari IMF dan Bank Dunia, juga karena struktur ekonomi yang jauh lebih rapuh dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang terkena krisis.

Kira-kira apa pijakan Pemerintah sehingga mengatakan tidak ada ancaman krisis ekonomi?

Salah satu argumennya, karena saat ini semua aliran dana dari luar telah dicatat dengan baik dan transparan dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Alasan lain, karena Pemerintah sangat yakin bahwa stabilitas makroekonomi, terutama stabilitas finansial, yang tercapai saat ini akan mampu menahan guncangan ekonomi. Inflasi yang rendah, suku bunga yang terus turun, indeks harga pasar saham yang meningkat sangat fantastis atau cadangan devisa yang melaju cepat telah dianggap sebagai bukti kuatnya fondasi ekonomi. Sangat menyederhanakan masalah.

Memang benar, stabilitas harga, nilai tukar atau cadangan devisa, sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi. Akan tetapi, stabilitas yang dimaksud haruslah stabilitas makroekonomi yang didukung fundamental yang kuat sehingga bermanfaat untuk mendorong bergeraknya sektor real. Jadi, bukan stabililitas semu yang hanya didukung oleh masuknya hot money. Bila ini yang terjadi maka kesenjangan antara kinerja sektor keuangan dan sektor real justru makin lebar.

Artinya, perekonomian seolah-olah kelihatan baik namun sejatinya tidak?

Benar. Apalagi stabilitas indikator-indikator finansial yang dicapai saat ini adalah stabilitas semu. Sebagai contoh, inflasi rendah secara teori memang dapat menunjukkan stabilnya harga sehingga rendahnya inflasi dapat dimaknai sebagai peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, inflasi rendah yang dicapai saat ini ternyata lebih karena tidak adanya permintaan (demand) akibat daya beli masyarakat yang rendah. Jadi, bisa menyesatkan kalau dikatakan inflasi rendah saat ini merupakan indikator membaiknya kesejahteraan.

Belum lagi cara mengukur inflasi yang lemah sehingga menghasilkan kesenjangan antara angka statistik dan fakta lapangan. Sebagai contoh, dalam beberapa bulan terakhir angka inflasi dilaporkan rendah. Klaim ini tentu sulit diterima karena kondisi di lapangan mencatat, harga beras naik lebih dari 70% dan kemudian diikuti oleh kenaikan harga gula dan minyak goreng dengan angka kenaikan yang hampir sama. Bagaimana mungkin inflasi rendah.

Ternyata, salah satu penyebab tidak nyambungnya angka dengan fakta adalah akibat perhitungan inflasi yang kurang tepat. Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) diperoleh data bahwa secara nasional, komposisi belanja beras pada masyarakat kurang mampu adalah sebesar 28% dan untuk 9 bahan pokok bisa mencapai 40% terhadap total belanja.

Namun, dalam perhitungan inflasi, komposisi beras dalam pengeluaran masyarakat hanya dihitung 6%, demikian juga untuk bahan pokok lainnya. Di samping itu, kelompok yang disurvei pun dibatasi pada keluarga yang lulus SMA dan tinggal di ibu kota propinsi. Padahal, sebagian besar penduduk (70%) berpendidikan di bawah SMA dan tidak tinggal di perkotaan. Pemilihan alat ukur dan pengambilan sampel yang kurang tepat inilah yang akhirnya menjauhkan angka inflasi dengan fakta di lapangan.

Menurut Ibu, kondisi-kondisi apa yang mendasari kesimpulan adanya ancaman krisis?

Cukup banyak indikasi terjadinya financial bubble dan rapuhnya struktur ekonomi yang akan mengakibatkan Indonesia sangat rawan bila terjadi guncangan.

Pertama: Indonesia rentan terhadap krisis karena peningkatan nilai ekspor dan cadangan devisa lebih banyak ditopang oleh kenaikan harga komoditas dan aliran hot money. Sangat berbeda dengan negara Asia Timur lainnya yang mengalami kenaikan nilai ekspor dan cadangan devisa karena kenaikan produktivitas dan volume ekspor.

Kedua: pelaksanaan regulasi pembatasan penyaluran kredit belum betul-betul efektif. Saat ini kembali terjadi peningkatan group lending dan pembiayaan di sektor properti yang berlebihan sehingga rentan terhadap peningkatan kredit bermasalah perbankan.

Ketiga: terjadi pertumbuhan semu di sektor perbankan. Saat ini net interest margin (NIM) perbankan 6 persen, paling tinggi di dunia. Padahal pertumbuhan kredit masih sangat rendah dan banyak kredit sektor manufaktur yang tak dicairkan. Ini menunjukkan bahwa margin bank terutama bersumber dari penerimaan bunga, baik rekap, bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN); bukan akibat membaiknya kinerja sektor real.

Keempat: sektor real, seperti manufaktur, mengalami perlambatan pertumbuhan. Manufaktur yang harusnya menjadi lokomotif penciptaan lapangan kerja justru mengalami perlambatan pertumbuhan.

Kelima: telah terjadi property bubbles. Empat tahun terakhir pertumbuhan pasok properti cukup tinggi, baik residensial maupun bisnis; sementara permintaannya masih rendah. Kondisi ini akan mengancam kredit macet di sektor properti yang cukup besar.

Apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah?

Cepat atau lambat financial bubble pasti akan mengalami koreksi. Alan Greenspan, mantan pemimpin Bank Sentral AS, telah mengingatkan kemungkinan akan terjadinya koreksi ekonomi dunia sebesar sepertiganya.

Jika prediksi ini benar, target pertama pelarian modal adalah negara-negara yang financial bubble-nya paling besar dan struktur ekonominya paling rapuh.

Pemerintah sebaiknya tidak terlalu cepat “asal bantah” tentang adanya ancaman krisis. Lebih baik segera melakukan langkah-langkah antisipasi dengan segera mengubah arah kebijakan ekonomi dari yang semula hanya fokus dan sangat menguntungkan sektor keuangan menjadi lebih memprioritaskan kebijakan yang mendorong sektor real.

Pemerintah juga harus segera berhenti mengadopsi paradigma ekonomi pasar dan liberal yang meminimalkan peran pemerintah. Pemerintah harus berganti haluan dengan berperan aktif melakukan kebijakan dan program untuk meningkatkan kesejahteraan dan mendorong produktivitas masyarakat.

Dalam hal ini, apakah ekonomi syariah bisa menjadi solusi?

Sejauh yang saya pahami, Islam mengajarkan, bahwa peran pemerintah sangatlah besar dalam pengelolaan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Konsep ini sangat berbeda dengan pengelolaan ekonomi Pemerintah saat ini, yang cenderung semakin meminimalkan perannya di segala urusan ekonomi rakyatnya, dan mengukur kesejahteraan hanya dengan pertumbuhan ekonomi semata.

Bagaimana mungkin seorang pemimpin mampu menjamin tidak satu pun rakyatnya yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya dan tidak mendapat pekerjaan layak bila Pemerintah tidak ikut aktif dan tidak menguasi sumber-sumber pendukungnya seperti SDA migas, tambang, hutan, dll.

Selama ini masyarakat baru mengenal ekonomi Islam pada salah satu bagian kecilnya saja, yakni sistem keuangan syariah. Menjadi tanggung jawab bersama, terutama para ekonom Muslim, untuk mempelajari dan segera mengenalkan kepada publik tentang ekonomi Islam secara menyeluruh, baik dalam mengatur SDA, menjamin kebutuhan pokok masyarakat, menyelesaikan kemiskinan, pengembangan industri, dll.[Dr. Hendri Saparini]

Semoga Allah Swt. memudahkan kita semua, terutama saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*