Menarik pernyataaan Wapres Jusuf Kalla tentang tiga hal yang tidak mungkin bisa ditarik kembali: demokratisasi, desentralisasi, dan kebebasan pers. Jusuf Kalla mengemukakan pandangannya tersebut saat ‘bincang makan pagi’ sebelum berangkat ke Chengdu, Sichuan, Cina, Sabtu (9/6).
Pernyataan ini penting untuk dikritisi, terutama soal demokrasi. Salah satu pertanyaan mendasar terhadap sistem demokrasi adalah, apakah sistem ini menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat? Apakah sistem ini terbaik bagi bangsa?
Apa yang terjadi di Indonesia bisa menjadi jawaban. Pemerintahan SBY sekarang, dibandingkan dengan masa Orde Lama maupun Orde Baru, sejauh ini dianggap paling demokratis. Jumlah partai politiknya lebih banyak daripada masa Orde Baru. Presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Tingkat kebebasan persnya pun tinggi. Sebaliknya, kehidupan ekonomi rakyat tetap terpuruk. Jumlah kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi. Penyakit sosial bertambah parah mulai dari tingginya kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, aborsi, hingga bunuh diri.
Di Indonesia, alih-alih membawa kesejahteraan, demokrasi melahirkan banyak kebijakan liberal yang justru menambah beban masyarakat. Contoh gamblang: kebijakan Pemerintah menaikan harga BBM yang memberatkan rakyat dan menguntungkan investor asing. Contoh lain: kebijakan privatisasi BUMN, yang juga mengorbankan rakyat dan menguntungkan asing. Muncul pertanyaan, mengapa penguasa lebih memilih untuk memuaskan kepentingan pengusaha/korporasi, bahkan pengusaha/korporasi asing, daripada rakyat? Hubungan erat demokrasi dengan negara korporasi adalah jawabannya.
Sudah diketahui oleh umum, partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana besar. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan dana segar dari kelompok bisnis. Penguasa dan pengusaha pun kemudian menjadi pilar penting dalam sistem demokrasi. Bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu. Paling tidak, untuk menjamin keberlangsungan bisnisnya; bisa juga demi mendapatkan proyek dari pemerintah. Akibatnya, penguasa didikte oleh pengusaha. Walhasil, sistem demokrasi kemudian melahirkan negara korporasi, yang ciri utamanya adalah: lebih melayani kepentingan pengusaha (bisnis) daripada rakyat.
Dominasi korporasi terhadap negara semakin menggurita setelah korporasi multinasional turut bermain. Korporasi multinasional sangat menentukan siapa yang menjadi pemimpin sebuah negara dan apa kebijakan negara tersebut. Korporasi multinasional lewat berbagai institusi, baik negara kapitalis maupun organ-organ internasional seperti PBB, IMF dan Bank Dunia, mendikte dan sangat mempengaruhi kebijakan sebuah negara. Khodori (www.korantempo.com) menggambarkan hal ini dengan mengutip Tony Clarke, seorang akademisi dan aktivis di Kanada, dalam buku The Case Against the Global Economy (2001). Ia menyebutkan, dari 100 institusi dunia yang paling kaya, termasuk negara, 52 institusi adalah korporasi transnasional (TNC), dan 70 persen perdagangan global dikontrol oleh hanya 500 perusahaan. Sebagai ilustrasi, total penerimaan Mitsubishi jauh lebih besar daripada pendapatan kotor domestik (GDP) Indonesia; pendapatan Ford melebihi GDP Afrika Selatan; dan pendapatan Dutch Shell melebihi GDP Norwegia (www.acmoti.org).
GDP Indonesia kalah dari total sales Exxon—salah satu TNC dunia. Dengan kekuatannya itu, TNC bisa mendikte kebijakan negara tempat ia tinggal, lewat lobi partai dan penguasa. Chiquita, TNC Amerika yang memproduksi dan mengontrol 50 persen perdagangan pisang dunia, pada 1997 menyogok lebih US$ 500 ribu untuk kampanye Partai Republik ataupun Partai Demokrat di AS. Karena kuatnya lobi, koalisi TNC bisa menaikkan sumbangan politisnya ke Partai Republik yang berkuasa, dari US$ 37 juta (1992) menjadi US$ 53 juta (2002). Kini 72 persen pundi partai itu dipasok TNC, terutama TNC agrobisnis (The New York Times, 9/9/2003). Sebagai imbalannya, Presiden Bush pada 2002, antara lain, meneken Farm Bill senilai US$ 180 miliar untuk 10 tahun ke depan.
Contoh lain, dalam kasus ExxonMobil, seperti ditulis Kwik Kian Gie (Kompas, 23/2/2006), pemerintah AS ikut campur tangan demikian jauh. Tujuannya agar perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh Pemerintah
Mereka juga menjerat negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan utang luar negeri. Lalu mereka menekan negara pengutang tersebut agar memuluskan masuknya korporasi multinasional. Syaikh Abdurrahman al-Maliki, dalam bukunya, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Ideal), dengan tegas mengatakan bahwa utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya bagi eksistensi negeri-negeri Islam dan senantiasa membuat umat menderita, karena merupakan jalan untuk menjajah suatu negara. Apa yang dikatakan oleh Syaikh al-Maliki pada tahun 1960-an itu kemudian memang terbukti. Lewat utang luar negeri, Barat kemudian berhasil memaksa negara-negara yang diberikan bantuan agar tunduk pada kepentingan mereka.
Hal ini secara terbuka diakui John Perkins mantan anggota “perusak ekonomi” (Economic Hit Man) dalam bukunya, Confessions of an Economic Hit Man. Dalam bukunya itu, Perkins menulis tentang tujuan penugasannya, antara lain untuk membangkrutkan negara-negara pengutang.
Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya: demokrasi. [FW]