Suatu ketika, Baginda Nabi Muhammad saw. mendapat hadiah harta dari kaum Fadak yang dibawa oleh empat ekor unta. Saat itu, kebetulan Beliau memiliki sejumlah utang kepada seorang musyrik yang sudah jatuh tempo. Bilal—yang selama ini memang melalui dialah Nabi saw. memperoleh pinjaman dari orang musyrik itu—segera Beliau tugasi untuk membayarkan utang tersebut, sementara Beliau menunggu di masjid.
Setelah seluruh utang itu dibayar, Bilal segera kembali menemui Beliau. Baginda Nabi saw. kemudian bertanya, “Apakah masih ada harta yang tersisa?”
“Ya, masih ada sedikit,” jawab Bilal.
Beliau lalu memerintahkan, “Bagikanlah harta itu sampai habis hingga aku bisa merasa tenang. Aku tidak akan pulang ke rumah sebelum harta itu dibagikan semuanya.”
Bilal pun pergi untuk membagi-bagikan harta yang tersisa kepada fakir miskin. Selepas shalat isya, Baginda Nabi saw. bertanya lagi, “Masih adakah harta yang tersisa?”
“Masih, karena belum ada lagi orang yang memerlukannya,” kata Bilal.
Baginda Nabi saw. kembali tidur di masjid.
Keesokan harinya, Beliau bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Lalu dijawab oleh Bilal, “Tidak ada, ya Rasulullah. Allah telah memberkati Anda dengan ketenteraman jiwa. Semua harta itu telah habis dibagikan.”
Rasulullah saw. lalu memuji Allah. Pada malam itu, barulah Beliau pulang ke rumah menemui istri-istri Beliau, setelah beberapa malam tidur di masjid. (Al-Kandahlawi, Fadhâ’il al-A‘mâl, hlm. 576)
****
Begitulah sikap Rasul yang mulia. Beliau senantiasa gelisah dan tidak bisa merasa tenteram jika di rumahnya masih ada harta tersisa, karena Beliau tidak suka jika menghadapi maut, di tangannya masih ada harta, walau hanya satu dirham.
Sama dengan Baginda Nabi saw., para pemimpin di negeri ini tampaknya sering mengalami hal yang sama; sama-sama gelisah. Bedanya, jika Baginda Nabi saw. selalu gelisah jika ada harta tersisa di rumahnya, maka para pemimpin saat ini selalu gelisah jika harta tak kunjung menumpuk di rumah-rumah mereka. Padahal gaji mereka sebagai penguasa, pejabat atau wakil rakyat sudah sangat tinggi. Mereka juga rata-rata sangat makmur, paling tidak, jika dibandingkan dengan umumnya rakyat mereka saat ini.
Jika Baginda Nabi saw. enggan tidur di rumah kalau masih ada harta yang tersisa walau hanya 1 dirham di rumahnya, maka para penguasa, pejabat atau wakil rakyat kita juga mungkin banyak yang enggan tidur di rumah. Bedanya dengan Nabi saw., mereka tidak tidur di rumah bukan karena sedang membagi-bagikan harta mereka, tetapi justru sedang berusaha terus menumpuk-numpuk harta sebanyak-banyaknya. Bagi mereka, gaji setiap bulannya, meski puluhan juta rupiah jumlahnya, seolah tidak pernah mencukupi.
Karena itu, mereka tidak akan segera pulang ke rumah sebelum berhasil mengumpulkan harta yang banyak. Mereka terus menumpuk harta, bahkan tidak peduli dengan cara apa. Korupsi akhirnya biasa mereka jalani. Menerima suap, itu yang selalu mereka harap. Mendapat hadiah apalagi; itu yang senantiasa mereka upayakan dengan sangat bergairah.
Singkatnya, semua itu karena mereka gelisah jika semasa menjabat, mereka tidak berhasil menjadi kaya, apalagi jika sebelum menjabat mereka sudah banyak mengeluarkan biaya yang banyak; misalnya untuk biaya kampanye Pemilu, Pilpres atau Pilkada, untuk sumbangan ke konstituen, untuk lobi-lobi politik demi menduduki jabatan tertentu, dll. Konon, untuk sekadar dicalonkan menjadi wakil rakyat (padahal belum tentu jadi), mereka harus mengeluarkan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Apalagi jika mereka mencalonkan diri menjadi kepala daerah seperti walikota atau gubernur. Karena itulah, pada saat mereka duduk di kursi wakil rakyat atau menjadi penguasa/pejabat, mereka tidak akan merasa tenteram sebelum berhasil menumpuk harta kekayaan, atau sebelum ‘balik modal’ plus dengan ‘keuntungan’ yang berlipat ganda.
Demikianlah, hitung-hitungan bisnis, untung-rugi, akhirnya menjadi prinsip hidup mereka dalam dunia politik. Dalam sistem demokrasi seperti saat ini, politik bagi mereka bukanlah bagaimana mengurusi berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Politik justru merupakan ‘lahan bisnis’ yang harus menghasilkan uang, bagaimanapun caranya, untuk kepentingan pribadi.
Wajar jika di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini, tingkat korupsinya paling tinggi. Semakin banyak saja penguasa, pejabat atau wakil rakyat melakukan korupsi hingga bahkan puluhan miliar rupiah. Tidak aneh jika kekayaan sejumlah menteri dan pejabat di negeri ini naik miliaran bahkan puluhan miliar rupiah hanya beberapa tahun saja sejak menjadi menteri/pejabat.
****
Sebagai rakyat, kita jelas merindukan para pemimpin negara seperti Baginda Rasulullah saw. yang sederhana dan zuhud. Suatu ketika, Umar bin al-Khaththab bertandang ke rumah Baginda Rasulullah saw. Saat itu Rasul sedang tiduran di atas tikar di kamar Beliau. Ketika Umar datang, Beliau bangkit. Umar melihat sekeliling kamar Rasul. Tiba-tiba Umar menangis. Ia sangat sedih menyaksikan kebersahajaan Rasul. Di kamar Beliau yang sempit itu tidak ada apapun selain tiga lembar kulit binatang yang sudah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar. Saat Rasul bangkit dari tidurannya, bekas-bekas tikar tampak menempel di tubuh Beliau. Padahal saat itu Beliau, di samping seorang rasul, juga telah menjadi pemimpin negara. Kalau Beliau mau, Beliau bisa hidup bekecukupan dan bahkan mewah. Namun, begitulah Nabi yang mulia. Bagi Beliau, kebahagiaan di negeri akhiratlah yang lebih Beliau rindukan ketimbang kesenangan duniawi. Itu pula yang kemudian diteladani oleh Khulafaur Rasyidin, para Sahabat, dan generasi salafush-shâlih setelah mereka. Sebagaimana halnya Baginda Rasulullah yang mulia, mereka bukan saja tidak suka menyimpan apalagi menumpuk harta, bahkan mereka cenderung takut terhadap banyaknya harta.
Meski begitu, Rasul yang mulia memang tidak pernah melarang kita kaya, asal dengan cara yang halal. Yang Beliau larang hanyalah mencintai dunia hingga melupakan upaya meraih kebahagiaan akhirat. Itulah sejatinya yang harus dipraktikkan oleh para pemimpin negeri ini, termasuk kita, tentu saja. Sudahkah? Jika belum, itulah sejatinya yang harus selalu menggelisahkan kita! [Arief B. Iskandar]
Wamâ tawfîqi illâ billâh.