Perdebatan tentang kemungkinan kembalinya
Indikasi yang paling mudah dideteksi dari pernyataan Menkeu adalah tingginya aliran dana masuk (capital inflow) dari luar (asing) dan menguatnya nilai tukar mata uang negara-negara Asia, seperti
Untuk
Kinerja sektor finansial Indonesia saat ini memang mengesankan. Ini terlihat dari kinerja rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Kurs rupiah kini berada di level di bawah Rp 9.000 perdolar AS, sedangkan IHSG bertahan di atas angka 2.000. Penguatan indeks harga saham dan rupiah pun terjadi karena aliran masuk uang panas (hot money) alias dana investasi jangka pendek.
Parkirnya uang panas di Indonesia disebabkan oleh adanya “gap suku bunga” yang lumayan menarik antara rupiah dan dolar AS. Tingkat suku bunga efektif di beberapa negara lain seperti AS sekitar 4,75 persen,Thailand 4,25 persen, dan Eropa 2,5 persen. Adapun BI rate saat ini berada pada level 8,75 persen. Jelas, Indonesia memang menjadi menarik bagi masuknya uang panas.
Sesuai dengan namanya, hot money adalah uang-uang jangka pendek yang dibawa investor asing. Mereka memburu instrumen-unstrumen investasi di Indonesia yang memberikan keuntungan tinggi. Dana tersebut mengalir ke pasar obligasi (terutama obligasi Pemerintah), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga pasar saham. Wajar, kalau pasokan dolar-dolar tersebut membuat rupiah dan indeks menguat. Namun, harus diwaspadai bahwa masuknya dana asing, kalau tidak dikendalikan, akan mudah keluar lagi, saat tiba-tiba terjadi gejolak/sentimen pasar.
Sejumlah instrumen keuangan yang kepemilikan asingnya bertambah adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), dan saham. Dari total SBI yang diterbitkan sampai 10 Mei 2007 senilai Rp 257,6 triliun, investor asing sudah menggenggam Rp 45,3 triliun. Jumlah ini membengkak jika dibandingkan dengan posisi Desember 2006 yang Rp 18,07 triliun.
Peningkatan kepemilikan asing juga terjadi pada SUN. Investor asing telah membeli SUN senilai Rp 77,2 triliun dari total Rp 442,1 triliun; meningkat sekitar Rp 16 triliun ketimbang akhir 2006. Lalu dari pasar modal, investor asing hingga kini telah meraup Rp 550,51 triliun. Nilai transaksi oleh asing ini jauh melesat dibandingkan dengan akhir tahun lalu yang masih Rp 522,34 triliun.
Ketimpangan Indikator
Prestasi kinerja sektor finansial yang membaik ini ternyata tidak mampu meningkatkan kinerja sektor real dan kesejahteraan rakyat, terutama kesempatan kerja, pendidikan dan kesehatan. Ini ditandai dengan masih stagnannya sektor real, juga tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin yang masih tinggi.
Melihat kondisi umum ketenagakerjaan, terlihat tidak adanya korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Secara teoretis, jika perekonomian mengalami pertumbuhan maka penyerapan/permintaan tenaga kerja akan meningkat. Perkembangan lima tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak diikuti dengan pengurangan pengangguran. Data pengangguran terbuka terus meningkat: dari 10,3 juta (9,9%) pada Agustus 2004 menjadi 11,1 juta (10,4%) pada Februari 2006, naik menjadi 11,9 juta (11,2%) pada November 2006.
Demikian pula, jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah dari 36,2 juta (2004) menjadi 39,05 juta (2006). Bahkan Laporan Bank Dunia (2006) mengungkapkan adanya hampir 109 juta jiwa rakyat yang hidup dengan penghasilan di bawah 2 dolar AS perhari atau sekitar Rp 18.000 perhari. Ini seharusnya menyadarkan elit bangsa. Banyak program yang sudah dilakukan untuk mengatasi persoalan kemiskinan, tetapi selalu gagal.
Penurunan BI rate dipandang sebagai sinyal positif yang akan mendorong bergeraknya sektor real dalam memperoleh pembiayaan yang semakin murah. Namun, respon perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit dapat memakan waktu tiga bulan, sementara efeknya pada sektor real dapat memakan waktu enam bulan. Suku bunga saat ini berkisar 14%-16%. Kalangan pengusaha menginginkan penurunan bunga 10%-13%.
Sebetulnya ironis, dana pihak ketiga yang diternakkan di SBI jumlahnya sudah mencapai lebih dari Rp 263 triliun. Jumlah itu sudah hampir menyamai besaran uang yang beredar di masyarakat, Rp 272 triliun. BI harus menyediakan Rp 23 triliun untuk bunga. Bahkan ada potensi, SBI bisa mencapai Rp 400 triliun jika kondisi kelebihan likuiditas ini tidak terserap ke sektor real. Artinya, uang hanya berputar-putar di sektor keuangan saja.
Perlu dipahami, karakter dana-dana jangka pendek ini memang akan sangat bergantung pada kesiapan dari negara yang menjadi tempat persinggahan dana-dana tersebut. Karena itu, Pemerintah harus mampu mengkonversi sebagian besar dana-dana jangka pendek itu menjadi investasi berjangka panjang. Dengan begitu, jika dana tersebut disalurkan pada sektor real dan pembangunan infrastruktur, efek multiplier-nya sangat besar.
Hal ini biasa terjadi jika sektor finansial berkembang terlalu cepat secara tidak proporsional dibandingkan dengan sektor real. Apalagi jika perkembangan sektor finansial terjadi dalam situasi tidak jalannya fungsi intermediasi perbankan nasional dalam penyaluran kredit ke sektor real. Kondisi ini menggambarkan bahwa kebijakan moneter memberikan insentif yang lebih menguntungkan untuk menyimpan uang di bank daripada masuk ke sektor produksi di sektor real.
Perbandingan Krisis 1 dan 2
Situasi perekonomian saat ini memang berbeda dengan situasi saat krisis satu dasawarsa silam. Situasi saat ini dan situasi sebelum krisis sangat berbeda dengan tren yang semakin baik. Kini cadangan devisa yang tersimpan di BI mencapai 53 miliar dolar AS. Sebaliknya, dulu cadangan devisa hanya 20-25 miliar dolar AS. Asumsinya, cadangan devisa sebesar 53 miliar dolar AS tersebut cukup untuk menanggulangi krisis jika terjadi penarikan hot money sewaktu-waktu.
Di samping itu, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga menurun jika dibandingkan dengan kondisi saat krisis. Saat ini, rasio utang terhadap PDB hanya tinggal 20 persen. Sebaliknya, saat krisis dulu, rasio utang terharap PDB mencapai lebih dari 50 persen.
Indikator lain adalah kinerja ekspor yang menunjukkan perkembangan signifikan. Nilai ekspor tumbuh 14,8 persen dan kini mencapai 100 miliar dolar. Sebaliknya, saat krisis sebelumnya, nilai ekspor hanya 40 miliar dolar AS. Meski demikian, tidak sepatutnya jika kita terbuai dengan kondisi fundamental ekonomi yang tampak sudah kuat. Kita jangan terbuai dengan asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa negeri ini tak akan terpengaruh oleh hengkangnya hot money.
Hal lain yang membedakan dengan situasi sebelum krisis adalah, bahwa kini perbankan di Indonesia telah memiliki sistem manajemen risiko yang lebih baik daripada di era 1990-an. Dengan adanya sistem manajemen risiko ini, setiap aktivitas yang berpotensi menimbulkan risiko, baik operasional, kredit, dan pasar, dapat lebih dini diantisipasi. Situasi ini sangat berbeda dengan era 1990-an saat krisis finansial didorong oleh adanya instabilitas di sektor perbankan. Hal ini karena belum didukung oleh sistem manajemen risiko yang memadai dan jauh dari hati-hati (prudent).
Meski
Diambang Krisis Ekonomi ‘Jilid 2’?
Dalam kacamata konvensional, fundamental ekonomi yang kuat dipercaya mampu menahan krisis. Selain itu, faktor country risks, yaitu yang terkait dengan penunjang iklim ekonomi dan kepercayaan pelaku ekonomi, yang kini masih carut-marut; seperti stabilitas sosial politik, penegakan dan kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi birokrasi.
Hal ini terjadi karena sistem keuangan yang dikembangkan secara liberal membuat perdagangan mata uang dan aset non-real membuat instrumennya bahkan yang paling utama. Dalam konteks kinerja perekonomian, hal ini menyebabkan lahirnya ekonomi balon (bubble economy) yang bisa berwujud pesatnya sektor finansial disertai dengan kolapsnya sektor real. Perekonomian tumbuh ternyata tak berarti apa-apa karena pengangguran dan kemiskinan terus melaju.
Dalam kenyataan, mobilitas transaksi finansial ratusan kali melebihi sektor real hingga menjadikan ketimpangan dalam volume penguasaan uang. Ini yang mewadahi spekulan (terbesar dari negara maju) bermain valas untuk meraup untung di atas penderitaan masyarakat (terutama di negara berkembang/lemah).
Belajar dari rentetan efek domino krisis moneter “jilid 1” lalu, tampak semua berasal dari pergerakan dana spekulatif global, sementara pemulihan yang dicapai Indonesia paling lambat dibandingkan dengan negara lain. Itu pun bukan karena resep IMF ataupun suksesnya ekspor dipacu, tetapi karena menjauhnya spekulan secara perlahan, karena pulihnya ekonomi regional.
Seandainya Pemerintah masih menggunakan indikator makroekonomi dan kebijakannya sebagai sebuah keberhasilan pembangunan, maka yang terjadi sesungguhnya pembangunan semu yang tidak memberikan perubahan besar terhadap kesejahteraan rakyat. Bukan mustahil prakiraan akan terjadi Krisis Ekonomi Babak II akan menjadi kenyataan. [Hady Sutjipto SE.M.Si; Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi FE UNISBA]
Wallâh u‘alam bi ash-shawâb.