Tak ada yang mengingkari kewajiban umat Islam untuk bersatu. Sebagaimana layaknya sebuah kewajiban, apabila diabaikan, akan mengakibatkan berbagai akibat buruk. Penelusuran terhadap dalil-dalil syariah menunjukkan, perpecahan di antara umat Islam akan menyebabkan beberapa akibat buruk. Pertama: melemahnya kekuatan umat Islam. Allah Swt. berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berbantah-bantahan sehingga menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan. Bersabarlah, sesunguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. (QS al-Anfal [8]: 46).
Dalam ayat tersebut Allah Swt. secara tegas melarang adanya sikap tanâzu’ (berbantah-bantahan, bercerai-berai) di antara umat Islam. Ditegaskan pula akibat yang terjadi jika sikap itu dilakukan oleh umat Islam. Mereka akan menjadi gentar dan hilang kekuatannya. Menurut al-Alusi (Rûh al-Ma’ânî VII/102), kata fatafsyalû bermakna tajabbanû ‘an aduwwikum wa tadh’afû ‘an qitâlihim (takut terhadap musuh kalian dan lemah untuk memerangi mereka). Adapun kata rîhakum, menurut al-Qurthubi dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, berarti quwwatakum wa nashrakum (kekuatan dan kemenangan kalian). Artinya, kekuatan menjadi lenyap dan tak dapat meraih kemenangan.
Realitas yang terjadi sekarang menjadi bukti nyata akibat ini. Ketika umat Islam tidak bersatu, kekuatan mereka menjadi sangat lemah. Kendati jumlahnya amat besar, mereka dengan mudah dipecundangi oleh musuh-musuhnya. Berbeda jika umat Islam bersatu-padu sebagaimana di masa Khilafah dulu. Mereka benar-benar menjadi umat yang kuat, sebagaimana digambarkan dalam hadis penuturan Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Seorang Mukmin bagi Mukmin yang lain itu laksana bangunan yang masing-masing bagiannya akan saling menguatkan satu sama lain. (HR Ahmad, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i).
Kedua: terjadinya fitnah dan kerusakan besar di muka bumi. Allah Swt. berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Orang-orang kafir itu, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (kaum Muslim) tidak melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar (QS al-Anfal [8]: 73).
Dalam ayat tersebut diberitakan bahwa sebagian orang kafir itu menjadi wali bagi orang kafir lainnya. Secara bahasa, kata al-waliyy memiliki beberapa makna. Di antaranya adalah an-nashîr (penolong), al-muhibb (yang mencintai), ash-shadîq (sahabat), al-mu’în (pembantu), al-halîf (sekutu), dan at-tâbi’ (pengikut). Karena tidak ada pembatasan dari makna-makna tersebut, maka semua makna tersebut tercakup dalam kata al-waliyy dalam ayat ini.
Setelah memberitakan realitas kaum kafir itu, kemudian dinyatakan: illâ taf’alûhu. Menurut asy-Syaukani (Fath al-Qadîr, III/211) dan as-Samarqandi (Bahr al-‘Ulûm, III/210) mereka, dhamîr ghâib wahadah (hu), kembali pada perintah Allah Swt. sebelumnya. Artinya, mereka diperintahkan agar menjadikan sesama Mukmin sebagai wali dan penolong serta tidak mengangkat kaum kafir sebagai wali mereka. Jika perintah itu tidak dikerjakan maka: takun fitnah fî al-ardh wa fasâd kabîr (akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan besar).
Akibat burut itu kini jelas menimpa kaum Muslim. Ketika kaum Muslim tidak bersatu, bahkan ada di antara mereka yang memberikan al-walâ (loyalitasnya) kepada kaum kafir, maka aneka fitnah pun merajalela. Kaum kafir dengan mudah menyebarkan akidahnya yang kufur, menyuburkan berbagai perilaku mungkar dan maksiat tumbuh, menyerbu dan menjajah negeri-negeri Islam serta melakukan berbagai kerusakan, baik fisik maupun non-fisik.
Ketiga: mendapatkan azab yang besar. Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat (QS Ali Imran [3]: 105).
Dalam ayat ini, kaum Mukmin dilarang menyerupai orang-orang yang melakukan tindakan tafarruq dan ikhtilâf dalam perkara yang jelas. Yang dimaksud dengan mâ jâ’athum al-bayyinah adalah perkara yang mengharuskan adanya satu pendapat, yaitu kalimat al-haqq (kata kebenaran). Demikian penjelasan az-Zamakhsyari (al-Kasysyâf I/309). Apabila mereka tetap melanggar larangan Allah Swt. itu maka mereka diancam dengan azab yang besar.
Itulah berbagai akibat buruk jika umat Islam berpecah-belah dan tidak mau bersatu. Karena itu, jika umat Islam ingin mengembalikan kekuatannya, mencegah terjadinya fitnah di muka bumi dan kerusakan besar, serta tidak ingin mendapatkan azab-Nya, maka mereka harus membangun persatuan yang kokoh. Untuk mewujudkannya secara sempurna, menegakkan Daulah Khilafah adalah jawabannya. Sudah tiba saatnya umat Islam kembali bersatu, menjadi satu umat, dan hidup dalam satu daulah: Dawlah al-Khilâfah ar-Rasyîdah.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Rokhmat S. Labib]