HTI

Refleksi (Al Waie)

Bagaimana Hizbut Tahrir Menyatukan Umat?

Pengantar

mathumb.jpgBerbicara tentang bagaimana Hizbut Tahrir menyatukan umat Islam, suka atau tidak, kita harus berangkat dari fakta umat Islam itu sendiri.

Al-Quran secara literal menggunakan kata ummah dengan ragam makna. Ummah kadang digunakan dengan konotasi kumpulan makhluk hidup, baik manusia maupun bukan (QS 6: 38); kumpulan manusia (QS 13: 30); dan kelompok manusia pada waktu dan tempat tertentu (QS 2: 134). Adakalanya kata ummah digunakan dengan konotasi yang sama sekali berbeda dengan konotasi di atas; bisa berkonotasi tharîqah (QS 43: 22); waktu (QS 11: 08) atau sifat untuk seseorang (QS 16: 120). Inilah konotasi ummah secara literal.

Selain itu, al-Quran juga menggunakan kata ummah dalam perspektif syariah yang berbeda dengan perspektif sebelumnya. Al-Quran mengaitkan ummah dengan kumpulan manusia yang disatukan oleh tujuan atau cita-cita, bukan oleh darah dan nasab. Sekadar contoh, sebut saja surah al-Baqarah [2]: 213, al-A‘raf [7]: 159; Ali ‘Imran [3]: 110. Dalam konteks nash-nash tersebut, kesatuan tujuan yang dibangun berdasarkan kesatuan pemikiran dan ideologi itulah makna yang secara langsung terkait dengan penggunaan kata ummah. Untuk kumpulan manusia yang diikat oleh darah dan nasab, al-Quran tidak menyebutnya dengan kata ummah, melainkan dengan kata qawm (QS 07: 69).1

Karena itu, bisa disimpulkan bahwa ummah adalah kumpulan manusia yang diikat oleh akidah yang sama, yaitu akidah yang bisa melahirkan sistem. Dengan demikian, umat Islam tidak lain merupakan kumpulan orang Islam di seluruh dunia yang disatukan oleh akidah Islam. Hanya saja, sistem yang mengatur kehidupan mereka saat ini bukanlah sistem yang lahir dari akidah mereka. Mereka pun kini tidak mempunyai satu negara yang dibangun berdasarkan akidah mereka, khususnya setelah Khilafah Islam dihancurkan oleh konspirasi kaum kafir penjajah.

Ketika negara yang menyatukan mereka tidak ada, maka negara-negara kafir penjajah dengan mudah mengadu-domba dan memecah-belah persatuan mereka. Dari sana, lahir negara-negara berdasarkan darah dan nasab, dengan para penguasa bonekanya, yang lebih dikenal dengan nation state. Negara bangsa ini telah berdiri lebih dari setengah abad, tetapi persatuan kaum Muslim tidak pernah terwujud. Ditambah lagi dengan perbedaan mazhab dan kelompok yang tidak jarang menjadi pemicu konflik horisontal di antara sesama mereka. Inilah fakta umat Islam saat ini.


Akidah Islam dan Negara sebagai Perekat Persatuan Umat

Dengan demikian, faktor utama yang menyebabkan rapuh dan pecahnya persatuan umat Islam tidak lain adalah ikatan mereka. Semula akidah Islamlah yang menjadi satu-satunya ikatan bagi kaum Muslim. Namun, seiring dengan merosotnya taraf berpikir kaum Muslim, ikatan tersebut mulai pudar, kemudian digantikan dengan ikatan lain, yaitu ikatan darah dan nasab. Akibatnya, tumbuh dan berkembanglah sentimen kesukuan atau kebangsaan. Bangsa Arab, misalnya, menganggap dirinya berbeda dengan bangsa Turki. Demikian sebaliknya. Bangsa Arab akhirnya berhasil dihasut untuk memisahkan diri dari apa yang mereka sebut sebagai Emperium Turki. Orang Turki kemudian menganggap mereka sebagai pemberontak yang harus ditumpas. Setelah itu, terjadilah perang saudara antara Arab dan Turki. Padahal dua-duanya sama-sama Muslim.

Memang benar, fitrah manusia telah diciptakan oleh Allah dengan suku, bangsa dan bahasa yang berbeda. Tujuannya agar saling mengenal satu sama lain (QS al-Hujurat [49]: 13). Dengan adanya interaksi antar suku, bangsa dan bahasa yang berbeda itu, terjadilah dinamika kehidupan yang luar biasa. Inilah tujuan diciptakannya suku, bangsa dan bahasa yang berbeda itu; bukan untuk saling bermusuhan. Masalahnya, bagaimana agar perbedaan dan keragaman tersebut tidak menjadi pemicu konflik dan permusuhan? Ini tentu harus dikembalikan pada ikatan yang menjadi perekatnya. Jika ikatan tersebut rapuh maka dengan mudah persatuan mereka pun terkoyak.

Satu-satunya ikatan yang paling kuat dan permanen adalah akidah. Bagi umat Islam, satu-satunya ikatan yang bisa menjadi perekat persatuan mereka adalah akidah Islam; bukan ikatan kesukuan, kebangsaan, kepentingan, kemazhaban atau yang lain. Pertanyaannya, akidah Islam yang mana; apakah akidah Asy‘ariyah, Maturidiyah, Thahawiyah, Salafiyah, Muktazilah, Jabariyah atau yang mana?

Sebelum menetapkan akidah yang mana, harus didudukkan bahwa Asy‘ariyah dan lain-lain itu tidak lain adalah mazhab akidah. Jika mazhab akidah yang dijadikan ikatan maka pengikut mazhab lain akan menolak. Karena itu, akidah yang harus dijadikan ikatan adalah akidah al-Quran dan as-Sunnah, bukan akidah mazhab. Akidah tersebut adalah akidah yang diambil dari nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang qath‘i, baik dari aspek sumber maupun maknanya, sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan ijtihad. Dengan akidah seperti ini, semua suku, bangsa, kelompok dan mazhab Islam akan merasa aman dan tidak merasa terusik karena perbedaan paham yang mereka anut. Negara yang dibangun dengan akidah seperti ini juga tidak akan tersandera oleh kepentingan suku, bangsa, kelompok atau mazhab tertentu. Inilah yang telah dibuktikan oleh sejarah keemasan Khilafah Islam sepanjang 13 abad.2


Upaya Hizbut Tahrir Menyatukan Umat

Berangkat dari fakta di atas, dan menyadari posisinya sebagai entitas intelektual (kiyân fikri), maka aktivitas Hizbut Tahrir dibatasi pada dua hal: aktivitas intelektual (a‘mâl fikriyyah) dan politik (a‘mâl siyâsiyyah).

Aktivitas intelektual yang telah dilakukan oleh Hizbut Tahrir dalam konteks ini meliputi kajian atas fakta umat dan umat Islam, baik secara normatif sebagaimana yang dinyatakan dalam nash-nash syariah (seperti al-Quran dan as-Sunnah)3 maupun historis dan empiris. Secara historis, Hizbut Tahrir juga telah melakukan kajian analitis terhadap sejarah pembentukan umat Islam mulai di Makkah hingga berakhirnya era Khilafah Islam di Turki.4 Secara empiris, Hizbut Tahrir juga telah mengkaji fakta umat Islam dengan berbagai problemyang dihadapinya saat ini.5

Dari sini, Hizbut Tahrir telah berhasil merekonstruksi fakta umat Islam yang sudah berkeping-keping itu sehingga menjadi sebuah fakta yang utuh, dan bisa diketahui unsur pembentuknya; ikatan yang menjadi pengikat; faktor yang memperkuat dan melemahkannya; serta bagaimana cara mengembalikannya seperti sediakala.

Secara faktual, umat Islam adalah kumpulan manusia—dengan ragam suku, bangsa dan letak geografis yang berbeda—yang diikat oleh akidah Islam dan sistem yang lahir dari akidahnya.6 Dua unsur, fisik (kumpulan manusia) dan non-fisik (akidah Islam dan sistemnya) inilah yang membentuk umat Islam. Ikatan yang menjadi pengikat keberagaman unsur fisiknya tidak lain adalah akidah Islam dan sistem (syariah) yang dihasilkannya. Inilah yang disebut oleh Hizbut Tahrir sebagai ikatan ideologis (ar-râbithah al-mabda’iyyah).7 Terbukti, inilah satu-satunya ikatan yang paling kuat. Karena akidah dan sistem Islam tersebut merupakan pemikiran, maka benar-salahnya dalam memahami pemikiran tersebut, lemah-kuatnya pemahaman tentang pemikiran, juga benar-salahnya dalam mengimplementasikan pemikiran, itulah yang menentukan kuat-lemahnya umat Islam.8

Berangkat dari fakta di atas, Hizbut Tahrir berkesimpulan, bahwa umat Islam sekarang maupun dulu adalah umat yang sama, yaitu sama-sama umat Islam yang memeluk akidah yang sama. Akidah Islam yang dipeluk oleh umat Islam saat ini juga sama dengan akidah yang dipeluk oleh generasi terdahulu. Hanya saja, akidah Islam yang dipeluk oleh umat Islam saat ini banyak dikotori dengan debu sehingga harus dibersihkan. Selain itu, akidah umat Islam saat ini juga tidak connect dengan sistem yang dihasilkannya. Karenanya, meski mereka memeluk akidah Islam, sistem yang digunakan dalam kehidupan mereka bukan sistem yang built in dengan akidahnya, melainkan sistem lain yang justru bertentangan dengan akidahnya.9

Meski demikian, Hizbut Tahrir tidak pernah menganggap akidah umat Islam sekarang sebagai akidah yang sesat apalagi kufur. Hizbut Tahrir juga tidak pernah mengkafirkan umat Islam yang masih memeluk akidah Islam. Selain sangat berbahaya bagi umat Islam, hal itu juga sangat kontrapoduktif dengan upaya Hizbut Tahrir untuk menyatukan umat. Ini ditegaskan oleh Hizbut Tahrir dalam kitab Nidâ’ Harr ilâ al-Muslimîn min Hizb at-Tahrîr.10

Hanya saja, akidah umat Islam saat ini telah kehilangan tiga hal penting. Pertama: hubungannya dengan pemikiran tentang kehidupan dan sistem perundang-undangan. Kedua: gambaran tentang apa yang akan terjadi setelah kehidupan, yaitu kenikmatan surga dan pedihnya azab neraka. Ketiga: fungsinya sebagai pengikat kelompok umat Islam. Akibatnya, mereka tidak lagi diikat oleh akidah mereka, tetapi oleh darah dan nasab.11

Berangkat dari kesadaran dan tanggung jawab terhadap umat Islam, Hizbut Tahrir telah melakukan kajian yang mendalam tentang akidah Islam yang benar-benar jernih dan cemerlang; jauh dari ikhtilâf dan perdebatan kalam (mazhab). Semuanya diambil dari sumber-sumber yang qath‘îi; mulai dari bagaimana cara membangun keimanan (tharîq al-îmân) hingga pemurnian akidah dari berbagai debu yang mengotorinya, sebagaimana yang terdapat pada lima hal: Qadha’ dan Qadar (al-Qadhâ’ wa al-Qadar); Qadar (al-Qadar); Rezeki (ar-Rizq); Ajal dan Kematian (Intihâ’ al-Ajal wa Sabab al-Mawt); Tawakal (at-Tawakkul); serta Hidayah dan Kesesatan (al-Hidâyah wa ad-Dhalâlah).12

Bukan hanya itu, Hizbut Tahrir juga telah melakukan kajian yang mendalam, jernih dan cemerlang tentang berbagai sistem yang mengatur kehidupan umat, mulai dari sistem pemerintahan (Nizhâm al-Hukm), ekonomi (an-Nizhâm al-Iqtishâdî), sosial (an-Nizhâm al-Ijtimâ‘i), pendidikan (Siyâsah at-Ta‘lîm), sanksi hukum (Nizhâm al-‘Uqûbât) hingga politik luar negeri (as-Siyâsah al-Khârijiyyah). Semuanya itu dirumuskan sebagai sistem yang dihasilkan melalui proses istinbâth syar‘i sehingga antara akidah dan sistem yang dihasilkannya benar-benar connect kembali. Tidak hanya sampai di situ, Hizbut Tahrir juga telah merumuskan metodologi berpikirnya agar hasilnya benar-benar bisa dijamin sebagai pemikiran dan hukum Islam.13

Adapun aktivitas politik (a‘mâl siyâsiyyah) yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir adalah aktivitas yang dilakukan untuk mengimplementasikan berbagai gagasan ideal di atas. Dalam booklet Dukhûl al-Mujtama‘, Hizbut Tahrir menegaskan bahwa sehebat apapun konsepsi intelektual, tetap tidak akan mempunyai pengaruh jika tidak ada orang atau kelompok yang mengembannya. Karena itu, aktivitas politik Hizbut Tahrir untuk merealisasikan gagasan idealnya tentang umat Islam di atas yang pertama-tama dimulai dengan pembentukan tubuh Hizb itu sendiri. Setelah itu, Hizbut Tahrir melakukan interaksi dengan umat (tafâ‘ul ma‘a al-ummah), yang hendak diperbaiki dan disatukannya kembali.

Menyadari bahwa Hizbut Tahrir juga merupakan kelompok, maka dalam interaksinya dengan umat, Hizb tidak pernah mengajak umat pada Hizb, tetapi pada Islam yang diemban dan hendak direalisasikan oleh Hizb. Ini membawa dua konsekuensi. Pertama: siapapun yang mengemban dan merealisasikan gagasan ideal Islam yang disampaikan oleh Hizb tidak serta-merta menjadi bagian dari Hizb sebagai sebuah kelompok. Sebab, gagasan ideal Islam tersebut merupakan gagasan universal, yang bisa diemban oleh siapapun dan kelompok Islam manapun. Kedua: gagasan ideal Islam tersebut juga tidak merepresentasikan kepentingan Hizb, tetapi murni merupakan menifestasi dari perintah dan larangan Islam. Karena itu, salah besar jika ada yang menyatakan bahwa Hizbut Tahrir tidak ubahnya seperti partai-partai politik yang ada sekarang, yang hanya menggunakan dalil agama untuk kepentingan politiknya. Dengan kata lain, dalil atau Islam hanya menjadi justifikasi kepentingan Hizb. Na‘ûdzubillâh!

Pandangan seperti ini bisa jadi lahir karena ketidakmengertian orang tersebut tentang gagasan ideal Islam, baik yang diemban Hizb maupun para ulama yang lain; biasa juga karena niat jahat—terlepas sadar atau tidak—yang bertujuan untuk menghalangi persatuan umat. Menghadapi fenomena yang terakhir ini, Hizbut Tahrir tetap melihat, bahwa mereka bukanlah musuh, tetapi dijadikan oleh pihak lain seolah-olah sebagai musuh. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir tidak akan terkecoh. Sebab, musuh yang sesungguhnya bagi Hizbut Tahrir dan umat Islam adalah kekufuran dan kaum kafir penjajah yang terus-menerus berusaha melemahkan dan memecah-belah kesatuan dan persatuan mereka. Karena itu, Hizbut Tahrir tidak akan melayani provokasi yang hendak mengadu-domba dirinya dengan umat, yang justru akan kontradiksi dengan tujuannya untuk menyatukan umat.

Jika semua konsekuensi berikut eksesnya tersebut bisa dilampaui oleh Hizbut Tahrir, maka tujuan Hizbut Tahrir untuk menyatukan umat tinggal selangkah lagi, yaitu tegaknya Khilafah Islam yang menyatukan mereka. Dalam konteks yang terakhir ini pun Hizb tetap konsisten sebagai entitas pemikiran, yang akan tetap menempuh langkah-langkah intelektual dan politik. Hizb hanya menjelaskan dan mewacanakan gagasan negara ideal dengan pranata sistemnya yang adil. Itulah gagasan Negara Khilafah. Sebagai entitas pemikiran, Hizb tidak pernah dan tidak akan melakukan tindakan fisik, apalagi melakukan kudeta. Yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir adalah aktivitas pemikiran; menyampaikan gagasan idealnya kepada semua kalangan (baik orang awam, kaum terpelajar, intelektual, ulama birokrat maupun yang lain) dan menyakinkan gagasan ideal tersebut agar mereka ambil dan terapkan. Sebab, sebagai entitas pemikiran, Hizbut Tahrir tetap tidak boleh dan tidak akan pernah mempunyai sayap militer. Selain bertentangan dengan tharîqah Rasulullah saw., ini juga akan mengalihkan tujuan dan perhatian Hizb pada tugas utamanya sebagai entitas pemikiran. Selain itu, sejarah juga membuktikan hal yang sama.14

Karena itu, istilah istilâm al-hukm (penerimaan kekuasaan) dipilih dan digunakan oleh Hizb untuk menggambarkan fakta, bahwa ini bukanlah kudeta, sebagaimana yang dituduhkan sebagian pihak kepada Hizb. Sebab, istilâm al-hukm adalah menerima kekuasaan yang diberikan oleh umat atau orang yang mempercapai Hizb; tentu setelah mereka melihat, bahwa hanya Hizbut Tahrirlah yang layak untuk memimpin mereka setelah terbukti dari keikhlasan, kejujuran, integritas pribadi serta kemampuan intelektual dan politiknya. Namun, harus dicatat, istilâm al-hukm tersebut tidak selalu dari umat kepada Hizb, bisa juga diserahkan kepada kelompok atau tokoh lain. Semuanya tentu kembali kepada umat itu sendiri sebagai pemilik kekuasaan (shahib al-sulthan). Justru di sinilah proses edukasi itu harus terus-menerus dilakukan kepada umat, agar kekuasaan itu diberikan kepada orang atau kelompok yang memang layak untuk mendapatkannya. Dengan begitu, gagasan dan cita-cita ideal Islam tersebut benar-benar bisa diwujudkan, dan umat Islam pun kembali bersatu dalam sebuah negara yang penuh berkah dan ampunan, Khilafah Rasyidah ‘alâ minhaj an-Nubuwwah yang kedua.


Pengalaman Praktis Hizbut Tahrir

Secara praktis, Hizbut Tahrir telah memiliki pengalaman menyatukan Syiah dan Sunni di Irak, Pakistan dan Libanon. Saat kaum kafir penjajah memprovokasi agar kedua kelompok ini terus bertikai, melalui berbagai operasi intelijen yang mereka lakukan dengan mengebom tempat-tempat suci kaum Muslim, Hizb berhasil menyadarkan keduanya hingga fitnah itu pun berhasil dipadamkan. Namun, mereka tidak pernah berhenti hingga akhirnya api fitnah itu benar-benar berkobar. Bahkan dalam krisis politik di Libanon, pasca terbunuhnya Rafiq Hariri, yang menyebabkan rakyat Libanon terbelah menjadi dua antara kelompok pro-Hariri dan pro-Suriah, Hizb pun melakukan upaya rekonsiliasi. Dalam konflik bersenjata antara Hamas dan Fatah, Hizb juga tidak henti-hentinya mengingatkan mereka, bahwa musuh yang sesungguhnya bagi mereka masing-masing bukanlah Hamas atau Fatah, tetapi Israel. Permusuhan antara Hamas dan Fatah pun diingatkan oleh Hizb sebagai tindakan kriminal yang luar biasa.

Di Tanah Air sendiri, Hizbut Tahrir telah berhasil melakukan berbagai upaya penting untuk menyatukan kaum Muslim dari berbagai kelompok. Dari berbagai forum dan workshop tokoh hingga berbagai forum yang diselenggarakannya, upaya tersebut mendapatkan sambutan hangat dan positif dari berbagai kalangan. Tidak jarang mereka menyatakan, dengan ketulusan hati mereka, bahwa hanya Hizbut Tahrirlah yang bisa menyatukan mereka. Inilah kesadaran yang selalu dimiliki oleh Hizbut Tahrir dan para aktivisnya.

Namun, berbagai upaya yang mulai memperlihatkan hasilnya itu ternyata tidak menyenangkan pihak tertentu. Kaum kafir penjajah dan para komprador ingin agar umat Islam ini tetap terpecah-belah. Inilah fakta yang terjadi di Pakistan, Irak dan Libanon. Fakta yang sama, tampaknya juga terjadi di negeri ini.

Jadi, tidak masuk akal kalau kemudian Hizbut Tahrir yang begitu gigih memperjuangkan kesatuan dan persatuan umat Islam di seluruh dunia dituduh memecah-belah negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia. Bagi Hizbut Tahrir, jelas itu tidak mungkin, dan bahkan di luar akal sehatnya; tetapi, tentu tidak bagi penjajah dan antek-anteknya. Pasalnya, kepentingan mereka sama: melemahkan dan memecah-belah negeri kaum Muslim untuk dijajah dan dijarah. Namun, seperti sindiran al-Quran: Alâ innahum hum al-mufsidûn walakin lâ yasy‘urûn (Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang menjadi perusak, tetapi mereka tidak merasa). Meminjam kata bijak orang tua, “Becik ketitik, olo ketoro (Pada akhirnya, siapa yang benar akan tetap dicari, dan yang jahat akan ketahuan belangnya).”

Wallâhu a‘lam. [Hafidz Abdurrahman]


Catatan Kaki:

  1. Lihat: Dr. Lu’ayyi Shafi, Al-‘Aqîdah wa as-Siyâsah: Ma‘âlim Nazhariyyah ‘Ammah li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, Virginia, USA, cet. I, 1416 H/1996 M, hal. 94-97.
  2. Adapun kasus-kasus yang terjadi dalam sejarah Khilafah Islam, seperti zaman ‘Abbasiyah, mulai dari zaman al-Ma’mun sampai al-Mu’tashim, dengan diadosinya akidah Muktazilah oleh negara, maka ini hanyalah kasus sejarah, yang terjadi akibat kesalahan dalam mengimplementasikan konsep tabanni al-Khalifah. Seharusnya, Khalifah tidak mengadopsi konsep akidah yang bersifat ijtihadiah atau khilafiah, sebagaimana yang diusung oleh para Ahli Kalam. Dengan begitu, negara tidak akan terjebak dan tersandera oleh kepentingan mazhab tertentu.
  3. Lihat: Nidâ’ Harr ila al-Muslimîn min Hizb at-Tahrîr, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir di Kharthoum, 20 Rabiuts Tsani 1385 H/17 Agustus 1965, hal. 39;
  4. Lihat: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. ke VII, 1423 H/2002 M, hlm. 11-230.
  5. Lihat: Manhaj Hizb at-Tahrîr fi at-Taghyîr, dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1410 H/1989 M, hlm. 3.
  6. Lihat: Nidâ’ Har, op cit., hlm. 39.
  7. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, 1422 H/2001 M, hlm. 22-24.
  8. Inilah yang disebut oleh Hizbut Tahrir dengan faktor pemahaman, dan faktor implementasi pemahaman. Melemahnya umat Islam bisa karena salah satunya, yaitu akibat dari kesalahan atau lemahnya pemahaman tentang akidah sistem Islam, atau kesalahan dalam mengimplementasikan pemahaman, maupun dua-duanya. (Lihat: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, op.cit., hlm. 171.
  9. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan kitab Izâlât al-Atribah ‘an al-Judzûr (Menghilangkan debu-debu dari akar-akarnya).
  10. Lihat: Nida’ Harr, op cit., hlm. 40.
  11. Ibid, hlm. 40.
  12. Semuanya ini dibahas secara sistematis, baik dalam kitab Nizhâm al-Islâm, as-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz I maupun kitab Izâlât al-Atribah ‘an al-Judzûr.
  13. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan buku At-Tafkîr pada era akhir tahun 70-an. Buku ini banyak membahas metodologi berpikir, antara lain; berpikir tentang fakta, masalah gaib, hukum, politik, sastera dan sebagainya. Hizbut Tahrir juga telah mengeluarkan buku As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III, yang secara khusus membahas usul fikih, sebagai kaidah penggalian hukum. Meski demikian, harus dicatat bahwa ini bukan dimaksud sebagai upaya Hizb mendirikan mazhab pemikiran atau fikih Islam, tetapi tak lebih dari upaya untuk memastikan bahwa produk pemikiran dan fikih yang dihasilkannya benar-benar islami. Dengan perangkat itu, Hizb akan mudah melacak dan merevisi kesalahan produk pemikiran dan fikih yang dihasilkan oleh siapapun, termasuk oleh Khalifah yang akan berkuasa kelak.
  14. Dalam hal ini, Hizb mencontohkan kasus Gerakan ‘Abbas as-Saffah sebagai milisi yang berorientasi politik. Meski akhirnya berhasil membangun Khilafah ‘Abbasiyah, tetap gagal menjadi kekuatan politik yang bisa mengembalikan persatuan dan kesatuan umat. (Lihat: Ad-Dawlah al-Islamiyyah, op. cit., hlm. 171). Kasus mutakhir juga dialami oleh Taliban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*