Ada kesalahan sebagian kaum Muslim dalam memahami Islam. Akibatnya, mereka lebih mementingkan perkara yang sunnah daripada yang wajib; urusan cabang daripada yang pokok; hal parsial daripada keseluruhan. Tidak sedikit pula kaum Muslim yang mengecilkan perkara besar dan sebaliknya, membesarkan perkara kecil. Malah kadang-kadang terjadi perselisihan karena perkara yang sunnah, sementara perkara wajib diabaikan. Begitu juga, banyak kaum Muslim yang lebih mementingkan dan memfokuskan perkara yang diperselisihkan daripada yang disepakati.
Karena itu, kaum Muslim harus kembali menyusun agenda mereka dan menentukan skala prioritasnya. Dengan begitu, mereka tidak mengakhirkan perkara yang harus didahulukan atau mendahulukan perkara yang harusnya diakhirkan; tidak mengecilkan perkara besar atau membesarkan perkara kecil.
Masalah tafâdhul (perbedaan keutamaan) di antara berbagai amal adalah masalah syar‘i, bukan masalah selera dan perasaan. Contohnya adalah sabda Rasul saw.:
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً أَعْلاَهَا قَوْلُ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنْ الطَّرِيْقِ
Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah kalimat “Lâ Ilâha illâ Allâh” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.
Penyusunan skala prioritas tidak bisa mengikuti akal manusia. Itu adalah urusan syariah yang harus disusun oleh Asy-Syâri’, Allah Yang Mahabijaksana.
Allah Swt. telah menetapkan bahwa memperhatikan masalah akidah dan menyebarkannya merupakan prioritas paling utama yang harus didahulukan dari masalah lainnya. Allah menjadikannya sebagai aktivitas yang tiada bandingannya. Karena jihad yang diemban oleh Negara Islam merupakan metode untuk menyebarkan Islam kepada non-Muslim maka Allah telah menjadikannya sebagai amal yang harus didahulukan daripada banyak perintah dalam Islam. Allah Swt. berfirman (yang artinya): Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjid al-Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS at-Taubah [9]: 19-20).
Kita juga melihat sebagian kaum Muslim yang kurang luas pengetahuannya. Saat haji mereka menyaksikan pemerintah Saudi begitu besar perhatiannya terhadap Baitullah, melebihi yang lain. Mereka melihat Baitullah dihiasi sedemikian rupa, mulai kiswah, bentangan karpet, hingga parfumnya yang semerbak wangi. Mereka takjub dengan semua itu seraya menilai betapa mulianya pemerintah Saudi yang telah menyediakan segala fasilitas yang ada disekitar Masjidil haram.
Sungguh Allah telah menetapkan bahwa memperhatikan akidah Islam dan menyebarkan Islam dengan cara berjihad di jalan Allah lebih utama daripada semua amal yang dilakukan pemerintah Saudi itu. Bahkan Allah telah menjadikan darah seorang Muslim lebih besar kehormatannya dari pada Baitullah al-Haram. Saat ini kita melihat betapa banyak darah kaum Muslim yang ditumpahkan oleh musuh-musuh Allah, bangsa Yahudi. Namun, tidak ada seorang pun penguasa kaum Muslim (terutama yang berada di jazirah Arab) yang tergerak untuk membelanya; mereka justru diam seribu bahasa.
Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
فَإِنَّ مَقَامَ أَحَدِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَفْضَلٌ مِنْ صَلاَتِهِ فِيْ بَيْتِهِ سَبْعِيْنَ عَامًا
Sungguh, kedudukan orang yang berjuang di jalan Allah lebih utama daripada shalat di rumahnya selama tujuh puluh tahun.
Rasulullah pun pernah bersabda:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِيْ كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأُمِنَ الْفِتَانَ
Menjaga perbatasan satu hari satu malam lebih baik daripada puasa satu bulan beserta shalat malamnya. Jika ia meninggal maka amalnya akan terus mengalir; ia akan diberi rezeki dan diamankan dari siksa. (HR Muslim).
Karena itu, para ulama mazhab Hanbali dan lainnya pernah berkata, “Jihad adalah ibadah badan yang paling utama. Sebab, dengan jihad Allah akan menjaga agama-Nya; dengan jihad umat akan terjaga dari kezaliman musuh; dengan jihad agama Allah akan senantiasa mulia di muka bumi ini; dengan jihad pula panji Lâ iIâha illâ Allâh akan senantiasa berkibar.”
Namun masalahnya, saat ini pihak yang bisa melakukan semua itu telah lenyap. Jihad tidak lagi eksis karena tiadanya Daulah Islam yang tegak berdasarkan akidah Islam, yang akan mengemban risalah Islam ke seluruh umat manusia. Daulah ini telah lenyap dengan lenyapnya Imam yang di baiat secara syar‘i untuk menjalankan al-Quran dan as-Sunnah serta mengemban Islam dan menyebarkannya bersama umat. Karena itu, mengangkat Imam bagi kaum Muslim merupakan prioritas paling utama saat ini.
Para Sahabat yang mulia telah bersepakat akan hal ini. Setelah Rasulullah saw. wafat, mereka dihadapkan pada berbagai aktivitas yang harus segera dilakukan, yaitu:
- Memakamkan jenazah Rasulullah saw.
- Melaksanakan wasiat Beliau, yaitu mengutus pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid untuk menaklukan Romawi.
- Menghimpun kekuatan untuk menindak orang-orang yang menolak zakat.
- Menyiapkan pasukan untuk memerangi kabilah Arab yang murtad.
- Menjaga benteng-benteng perbatasan negeri Muslim dari serangan musuh.
- Mengangkat seorang pengganti (Khalifah) Rasulullah dalam masalah pemerintahan. bukan dalam masalah kenabian.
Meski demikian berjubel kewajiban dan aktivitas tersebut, para Sahabat telah sepakat menentukan mana amal yang harus diprioritaskan dari yang lain. Mereka mendahulukan pengangkatan dan pembaitan seorang khalifah pengganti Rasul saw.
Bisa jadi ada di antara kita yang memandang ganjil apa yang dilakukan para Sahabat itu. Mereka membiarkan jasad Rasul saw. tidak dimakamkan selama dua hari. Mengapa mereka tidak melakukan kewajiban ini kecuali setelah dibaiatnya Abu Bakar ash-Shidiq ra. sebagai khalifah? Jawabannya, karena para Sahabat memahami bahwa mengangkat Imam bagi kaum Muslim adalah mahkota kewajiban (Tâj al-Furûdh). Karena itu, mereka mendahulukan aktivitas ini dari yang lain. Setelah itu barulah Imam yang baru, Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq, memimpin pemakaman jenazah Rasul saw., mengirimkan pasukan Usamah dan mengutus pasukan untuk mendidik orang-orang yang menolak zakat. Perintahnya mengikat bagi umat dan berhasil menyatukan umat pada satu keputusan meski ada di antara para Sahabat yang tak sependapat. Sebab, perintah Imam akan mengilangkan perbedaan pendapat. Abu Bakar pun memerangi orang yang murtad dari Islam. Melalui kepemimpinan Abu Bakar ini, Allah telah menjaga agama-Nya.
Ibnu Taimiyah pernah berkata tentang masalah Imamah ini, “Sungguh Imamah ini termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama dan dunia tidak akan bisa tegak kecuali dengan Imamah.” [Muhammad Yasin Muthahhar]
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.