Persatuan umat di bawah satu sistem, yaitu Khilafah, dan satu pemimpin, yaitu Khalifah sangat mungkin diwujudkan oleh kaum Muslim. Sebab, Allah tidak membebani hamba di luar kapasitasnya. Sejarah juga menunjukkan semua itu telah berhasil diwujudkan oleh kaum Muslim terdahulu. Jadi, pasti semua itu bisa diwujudkan kembali oleh kaum Muslim.
Namun, bukan berarti mewujudkannya adalah perkara mudah. Perjuangan untuk itu bisa memakan waktu yang panjang; juga ada bermacam penghalang yang menghadang. Penghalang itu bisa datang dari luar, yaitu dari musuh-musuh Islam dan kaum Muslim, Bisa juga dari internal umat berupa kondisi atau sikap mereka yang keliru.
Perjuangan yang panjang dan tidak kunjung membuahkan hasil yang diharapkan, akan bisa dirasa melelahkan. Akibatnya, metode yang telah diadopsi bisa mulai diragukan. Kebenaran metode tidaklah diukur dari cepat-tidaknya membuahkan hasil. Harus dipahami bahwa metode perjuangan adalah bagian dari hukum syariah. Metode itu harus digali dari nash syariah, yakni dengan mencontoh metode Rasul saw. Karenanya, kebenaran metode itu semata-mata dinilai dari kebenaran istinbâth-nya dan kesesuaiannya dengan metode Rasul saw. Jika ini terpenuhi, tidak ada alasan untuk meragukannya.
Akibat lainnya adalah munculnya pesimisme dan keputusasaan. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa kita tidak bertanggung jawab atas hasil. Yang dipertanggungjawabkan di sisi Allah adalah perjuangan itu, apakah sudah dilakukan sebaik mungkin dengan mengacu pada metode Rasul saw atau tidak. Umat harus senantiasa ingat, bahwa Allah melarang berputus asa dari rahmat-Nya. Sikap itu hanyalah sikap kaum kafir (QS 12: 87) atau orang yang sesat (QS 15: 55-56). Di sisi lain, Allah memerintahkan agar kita tetap mengharapkan rahmat Allah (QS 7: 56; 17: 57). Allah pun telah berjanji akan memberikan pertolongan kepada hambanya. Hendaknya ayat-ayat al-Quran dan hadis yang menjelaskan masalah ini senantiasa di-tadabbur-i untuk semakin menjauhkan keputusasaan dan sebaliknya semakin mengentalkan harapan serta optimisme dalam perjuangan.
Bisa juga muncul sikap pragmatis, menerima tawaran atau mengambil jalan yang diangankan atau diduga bisa lebih cepat membuahkan hasil. Sikap ini sering justru mengalihkan perjuangan dari garis yang seharusnya dan dari tuntunan ideologi Islam, juga bisa menjerumuskan ke dalam perangkap sistem yang tidak islami dan strategi musuh, bahkan bisa lebih menonjolkan adanya perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah umat. Banyak fakta yang menunjukkan hal itu. Untuk itu, umat, khususnya para aktivis dakwah, harus semakin mengentalkan kesadaran ideologi Islamnya. Pelajaran dari Rasulullah saw. yang menolak tawaran tahta, harta dan wanita yang diajukan Walid bin Mughirah, utusan Quraisy, cukuplah menjadi pegangan.
Halangan berikutnya adalah sikap ingin menang sendiri, menganggap pendapat sendiri paling benar dan yang lain salah, fanatisme mazhab, serta tidak proporsional menyikapi perbedaan. Dalam hal ini, penting dipahami bahwa selama perbedaan itu secara syar’i memang diperbolehkan, yaitu perbedaan dalam masalah furû’, maka tidak boleh dikembangkan sikap menghujat, menyesatkan atau bahkan mengkafirkan dan memusuhi pihak lain yang pendapatnya berbeda. Sikap yang harus dikembangkan mestinya seperti sikap para Sahabat dan ulama terdahulu yang tidak menjadikan perbedaaan itu sebagai perpecahan, perselisihan dan pertikaian dengan mereka yang memiliki pendapat berbeda. Sikap yang dikedepankan hendaknya seperti sikap para imam mazhab, “Pendapatku benar, tetapi mungkin saja keliru. Pendapat yang lain keliru, tetapi mungkin saja benar.”
Adanya perbedaaan itu mestinya justru menyadarkan dan semakin mendorong kita untuk mewujudkan seorang khalifah yang akan bisa menghilangkan perbedaan itu dalam tataran praktis. Kaidah syariah menyatakan: Amr al-Imâm yarfa’u al-khilâf (Perintah imam menghilangkan perselisihan).
Halangan lainnya adalah sikap berpegang pada qawmiyah, nasionalisme, patriotisme dan sikap ’ashabiyah lainnya. Sikap inilah yang telah menyebabkan terpecahnya kaum Muslim dalam lebih dari 50 negara kecil dan lemah. Hendaknya diingat sabda Rasul saw.:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عَصَبِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِاْلآبَاءِ، إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ أَوْ فَاجِرٌ شَقِيٌّ، النَّاسُ بَنُوْ آدَمَ، وَآدَمَ مِنْ تُرَابٍ، وَلاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari diri kalian ‘ashabiyah Jahiliyah dan kebanggaan Jahiliyah karena keturunan. Seseorang hanyalah seorang Mukmin yang bertakwa atau seorang pendosa yang celaka. Manusia itu anak cucu Adam, sedangkan Adam berasal dari tanah. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab kecuali karena ketakwaannya. (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Bahkan orang yang menyerukan ‘ashabiyah dinilai bukan bagian dari umat Muhammad saw.1 dan termasuk debu Jahanam meski ia menunaikan shalat dan puasa.2 Orang yang berperang membela ‘ashabiyah, jika mati. Ia mati Jahiliyah.3
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan Kaki:
- Lihat, HR Abu Dawud: laysa minnâ man da’â ilâ ‘ashabiyah….
- Lihat, HR Ibn Hibban no. 1222 dan 1550 dan Musnad al-Hârits, IV/130: wa man da’â bi da’wâ al-jâhiliyyah…
- Lihat, Shahîh Muslim bi Syarh an-Nawâwî, XII/238-240.