“Ada beberapa ide yang harus terus-menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam, yaitu demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, isu minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri.”(Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, The Rand Corporation)
ropaganda dan hegemoni adalah dua kata kunci dalam upaya Barat mengeksiskan pengaruh dan cengkeraman politiknya atas Dunia Islam. Realitas umat Islam yang secara kuantitas besar—dengan jumlah lebih dari satu miliar jiwa dan menghuni 50 negara serta terus menyebar ke kawasan Eropa dan Amerika—belumlah cukup untuk mengimbangi propaganda dan hegemoni Barat. Menurut Wikipedia, populasi umat Islam di AS mencapai 5 hingga 6 juta dan cenderung meningkat. Bahkan dalam situs cable cessema disebutkan bahwa apabila terdapat tiga dari bayi yang lahir di dunia maka salah satunya adalah Muslim. Melihat fakta ini, secara kalkulasi jumlah, umat Islam tidak dapat dikatakan kecil. Namun, sangat disayangkan, dalam mengekspresikan kekuatan (bargaining power) dan kemauan politik (political will) yang bertumpu pada agamanya, mereka masih tetap kecil. Boleh dikatakan, saat berhadapan dengan hegemoni Barat, umat Islam lebih memilih menjadi silent majority (mayoritas terdiam), dan penguasanya pun lebih rela dan nyaman menjadi “pelayan yang baik” bagi kepentingan sang tuan (Barat).
Propaganda Barat semakin menguat saat institusi Khilafah Islam di Turki berhasil diruntuhkan 27 Rajab, 86 tahun silam. Barat sadar bahwa akidah Islam merupakan pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan untuk mencegah kembalinya persatuan umat dalam Khilafah Islam.
Strategi Pemikiran dan Politik
Nasionalisme memang memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam mendekonstruksi persatuan umat Islam. Lebih jauh, Benedict dalam Imagined Communities menyatakan, bahwa nasionalisme bertujuan membentuk negara-bangsa (nation state) yang bertumpu pada suku atau ras tertentu. Oleh karena itu, beberapa negara multibangsa mengalami disintegrasi, seperti Yugoslavia, Uni Sovyet, Austria-Hongaria, dan tentu saja Khilafah Islam Utsmani. Dalam realitas kekinian, konsep nation state oleh dunia Barat telah dimodifikasi sedemikian rupa.
Secara alamiah, nation state memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, beberapa modifikasi dan tambal-sulam seperti dalam konsep Uni Eropa atau bahkan globalisasi dipandang sebagai solusi untuk memecahkan keterbatasan nation state. Namun sayang, realitas ini tidak banyak dipahami oleh Dunia Islam.
Selain menanamkan nasionalisme, Barat pun memelihara konflik Dunia Islam dengan mengkampanyekan beberapa ide yang kompatibel dengan nasionalisme ini; di antaranya demokrasi, pluralisme dan Hak Asasi Manusia (HAM). Demokrasi yang mendasarkan idenya pada kebebasan (freedom) dan sekularisme telah memberi andil terciptanya upaya tafsir ulang atas hukum-hukum Islam serta menjauhkan upaya persatuan umat yang berdasarkan pada persamaan akidah. Persatuan umat lintas negara dalam bentuk Khilafah dianggap sesuatu yang utopis. Perbedaan geografis, suku, bangsa dan budaya lokal menjadi alasan utama untuk menihilkan persatuan ini. Realitas sejarah yang menunjukkan bahwa umat Islam pernah bersatu seakan dilupakan begitu saja.
Kelompok di kalangan umat Islam yang mendukung ide Barat ini berupaya melakukan westoxiation (peracunan Barat). Mereka menginginkan wajah Islam di seluruh dunia adalah Islam yang akomodatif terhadap ideologi Barat: Islam yang humanis, demokratis dan tentu saja Islam yang sekular. Mereka mendorong terjadinya dialog antaragama dan peradaban serta berupaya menghapuskan anggapan clash of civilization. Pendekatan ini bukan saja telah menjauhkan umat dari syariah, namun juga menyebabkan gagasan untuk menegakkan kembali Khilafah—sebagai negara yang akan mempersatukan umat—dianggap bukan sebagai problem utama. Semua masalah, semisal kemiskinan, kebodohan, kesejahteraan dan hukum, akhirnya hanya dipecahkan dengan solusi cabang dan tentu saja menggunakan cara pandang Kapitalisme.
Kedua: strategi politik. Strategi ini bisa dikatakan lebih terasa dibandingkan dengan strategi yang pertama. Pasca meruntuhkan Khilafah Islam, Barat kemudian mengkooptasi hampir seluruh negeri-negeri Islam. Setelah itu, mereka menyimpan agen-agennya sebagai penguasa. Jika mereka tetap “istiqamah” dan loyal menjadi kaki tangan Barat, mereka akan mendapatkan carrot (penghargaan). Sebaliknya, jika loyalitas mereka memudar atau mencoba bersikap pragmatis, barangkali nasib seperti Saddam Hussein akan menimpa mereka.
Buku karya Miles Copeland yang bertajuk, Game of Nation and The Game Player, cukup memberikan kepada kita pelajaran bagaimana kiprah Barat dengan dukungan operator CIA dan M16 menjatuhkan dan mendudukkan penguasa Timur Tengah (Lebih rinci dapat kembali dilihat di Al-Wa‘ie, edisi 28/2002). Hingga sekarang pun cara-cara ini masih digunakan, bahkan lebih telanjang dan provokatif. Jika dulu Barat cukup menggunakan agen-agen rahasianya, sekarang mereka langsung menggunakan offensive diplomacy dan militer.
Dalam konteks
Beberapa gagasan strategi LSM ini kepada pemerintah tegas sekali berupaya menggiring kebijakan publik ke arah liberalisme-kapitalisme. LSM ini mendapatkan unlimited fund dari Barat. Salah satu LSM internasional yang cukup dikenal, sebut saja, Heritage Foundation sering menggelontorkan sejumlah dana untuk beasiswa atau penelitian. LSM ini didirikan oleh Josep Coors dan aktivis Kanan Baru (new right) Paul Weyrich. Pada era pemerintahan Ronald Reagen, rekomendasi strategis Heritage Foundation banyak dijadikan kebijakan pemerintah, semisal dalam masalah
Bagaimana dengan di
Alhamdulillah, b very happy if I can receive daily info, hadits, ayat, etc