HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Khilafah Bukan Sistem Diktator

salimfr-200.jpgKarena Khalifah adalah Khilafah itu sendiri, yang artinya kekuasaan berada ‘penuh’ di tangan Khalifah, ada sebagian kalangan yang memandang seakan-akan Khalifah atau Khilafah adalah sistem pemerintahan diktator. Benarkah Khilafah sistem pemerintahan diktator? Kalau bukan, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban Khalifah tatkala memerintah? Bagaimana pula mekanisme untuk ‘mengingatkan’ penguasa? Jawaban atas pertanyaan di atas disampaikan oleh Dr. M. Salim ATCHIA berikut ini melalui wawancara eksklusif wartawan kami, Gus Uwik, dengan beliau. Berikut petikannya.

Ada kalangan yang menuduh bahwa Khilafah adalah sistem diktator. Apakah hal ini benar menurut Anda?

Konsep yang menyatakan bahwa Kekhilafahan adalah diktator sebenarnya karena cara pandang yang salah terhadap Khilafah. Cara pandang yang digunakan menggunakan cara pandang sistem Kapitalisme Barat. Selain itu, opini yang ada ‘digiring’ ke polarisasi dua kutub; kalau tidak demokrasi, ya diktator. Tujuannya, mereka ingin kita percaya bahwa jika tidak sistem demokrasi maka yang ada adalah sistem diktator. Mari kita lihat apakah sistem Kekhalifahan itu dan mana yang bukan sistem Kekhalifahan.

Khalifah adalah orang yang memerintah sepanjang berpegang pada Islam. Dia tidak berkata atau berbuat apa yang dia mau, melainkan harus merujuk pada al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Tidak seperti yang ada sekarang. Contohnya, dalam kasus ini, yakni Pervez Musharaf. Dia terlihat sebagai orang yang berbuat baik, padahal dia merampas kekuasaan dari rakyat. Lalu pemerintahan Barat mendukungnya. Jika ini bukan diktator, lalu apa? Khalifah tidak seperti itu. Dia adalah orang yang mempunyai kewenangan memerintah secara total dan jika dia memerintah dengan menyimpang dari ketentuan (al-Quran dan as-Sunnah), maka dia bisa diturunkan. Kita tidak mempunyai istilah seperti di Barat, yakni Pemilu setiap empat tahun atau lima tahun sekali, padahal dia memerintah dengan semaunya. Lihat juga contoh seperti Berlusconi. Jadi bedanya, kalau Khalifah menyimpang, dia akan diturunkan tanpa perlu menunggu lima tahun. Dia tidaklah memerintah dengan semaunya. Sebab, semua kebijakannya hanya bersandar pada tuntunan Allah Swt. Jadi, ide bahwa Khalifah adalah diktator itu tidak benar.

Lalu bagaimana mekanisme pertanggung-jawaban Khalifah dalam memerintah?

Sistem dan struktur negara dalam Islam telah terdefinisi dengan baik. Ada Khalifah, Mu’awin dan para pembantunya. Di atasnya ada pengadilan yang dibagi dalam beberapa cabang. Salah satu cabangnya adalah khusus untuk memantau pemerintahan, yakni yang disebut Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim adalah mekanisme untuk menampung keluhan masyarakat ketika pemerintah atau Khalifah mengambil hak-hak mereka. Masalah ini akan dibawa ke pengadilan. Lalu pengadilan akan melihat kasus ini dan memutuskan masalahnya; apakah ini terjadi karena Khalifah salah menerapkan hukum Islam ataukah orang itu tidak mengetahui hak-hak Khalifah. Jadi, ada mekanismenya.

Kita lihat dalam beberapa kesempatan, dalam kehidupan para Sahabat, penguasa diminta pertanggungjawabannya. Contohnya ada militer yang masuk ke satu wilayah tanpa mengikuti prosedur yang benar. Lalu ada keluhan kepada negara dan negara melihat kasus ini. Pada akhirnya, militer diminta untuk mengembalikan hak-hak warga itu. Dalam kisah yang terkenal, yang terjadi pada zaman para Sahabat, adalah ketika Umar bin al-Khaththab berpidato meminta rakyat untuk mendengar dan mengikutinya. Lalu ada Sahabat yang berdiri dan berkata, “Aku tidak akan mendengar dan mengikutimu sampai engkau menjelaskan dua lembar baju yang kamu pakai itu, padahal saya cuma dapat satu.”

Mendengar interupsi langsung rakyatnya tatkala sedang menyampaikan pidato kenegaraan, Khalifah Umar bukannya marah ataupun berang. Beliau justru menjelaskan mengapa dia bisa memakai dua lembar baju yang dipakai. Dari sini bisa diambil penjelasan, bahwa hanya untuk masalah ‘sepele’, yakni masalah pakaian yang dipakai Khalifah saja, rakyatnya berani meminta pertanggung-jawaban, apalagi untuk masalah yang lebih besar lagi. Jadi, sistem pertanggungjawaban itu selalu ada.

Memang, ada argumen bahwa Kekhalifahan Ustmani yang terakhir tidak banyak menerapkan sistem pertanggung-jawaban ini. Namun, yang kita bicarakan adalah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, bukan Khilafah Utsmani.

Terkait mekanisme kritik dalam sistem Khilafah, bagaimana penjelasannya?

Masyarakat mungkin melihat ada kebijakan Khalifah yang bertentangan. Mereka akan membawa masalah ini ke Pengadilan Mahkamah Mazhalim, dan itulah tugas pengadilan ini, yakni memeriksa keluhan seperti ini. Di sisi lain, ada Majelis Syura, dimana ada keluhan dari pemerintahan itu sendiri. Majelis ini kemudian akan memeriksanya.

Jadi, intinya?

Intinya, tidak ada seorang pun dalam pemerintahan atau negara yang kebal hukum, apakah dia wali ataupun amir, semuanya akan dimintai tanggung jawabnya, termasuk Khalifah. Jadi, bisa saja Khalifah menuntut amir atau wali, atau kebalikannya. Kita memiliki prinsip pemerintahan, yakni keputusan Imam menyelesaikan permasalahan.

Banyak orang percaya bahwa Khalifah akan memperlakukan non-Muslim secara berbeda. Apakah ini benar?

Ini pertanyaan yang sangat bagus. Ini yang sering dipermasalahkan di antara non-Muslim, bahwa jika ada Khilafah maka non-Muslim akan mendapat masalah. Ini tidak benar karena masalah ini disebutkan dalam konstitusi, bahwa hak-hak non-Muslim dilindungi. Rasulullah saw. dalam hadisnya menyatakan, “Orang yang menyakiti kafir zimmi adalah seperti menyakitiku.”

Kita bisa melihat dari sejarah dan dari adopsi masalah ini bagi masa depan. Orang Yahudi, ketika dikejar-kejar di Spanyol, meminta bantuan Khalifah di Istanbul. Kita juga bisa melihatnya dari komentar dalam banyak buku sejarah mengenai bagaimana Daulah Islam menjaga kaum non-Muslim. Contoh: kalau seorang Muslim mempunyai satu juta poundsterling, dia harus membayar zakat 2.5%, sementara non-Muslim hanya membayar jizyah; kecuali bagi orang tua atau anak-anak yang tidak membayar jizyah. Itu pun mereka cuma membayar sejumlah kecil uang. Di sini kita melihat hak-hak non-Muslim dilindungi, tempat ibadah mereka juga dilindungi. Bahkan negara harus menginvestasikan uang untuk perlindungan non-Muslim. Kita lihat saja di Mesir; Islam telah hadir di sana selama berabad-abad. Hingga sekarang di sana masih ada Kristen Koptik? Mereka masih bisa beribadah dan masih kuat. Kita tidak memiliki kebijakan mengusir, seperti yang terjadi pada Perang Salib. Ketika itu, non-Muslim di Syria berpihak kepada Khalifah dengan menentang orang Kristen dari Barat. Jadi, jelas di sini, ketika non-Muslim ditindas di negaranya, maka Khilafah datang untuk menyelamatkan mereka, karena Islam melindungi kehidupan dan menjaga rakyat tanpa membeda-bedakan mereka.

Di Inggris, negara asal saya, saya merupakan etnik minoritas. Dalam Islam, kita tidak melihat orang sebagai etnik minoritas; kita melihat mereka sebagai penduduk. Penduduk itu, apakah mereka zimmi atau non-zimmi, berhak mendapatkan pekerjaan sebagaimana penduduk lainnya. Jadi, tidak seperti, misalnya mereka melakukan pekerjaan kotor yang tidak mau dilakukan orang Barat seperti membersihkan jalan. Jika mereka insinyur, misalnya, dan mereka bisa melakukan pekerjaan, maka mereka akan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan pengetahuannya itu.

Bagaimana dengan orang-orang dari agama lain seperti Hindu atau Budha?

Itu sama sekali tidak berbeda. Kita lihat dari sejarah, bahwa Islam memerintah India. Di sana masih banyak orang Hindu. Ini adalah indikasi bahwa kita tidak pernah memaksa siapapun untuk mengubah keyakinannya. Ada suatu buku yang menyebut masa ketika Islam memerintah mereka sebagai masa yang agung. Jadi, bagi non-Muslim yang bukan Ahli Kitab, berlaku hal yang sama sebagai ahlul dzimmah. Jadi, kita tidak menemukan masalah seperti yang tersebut tadi. Untuk orang Hindu, kita tidak melihat mereka sebagaimana mereka melihat perbedaan mereka sendiri dalam kasta. Kita melihatnya sebagai penduduk. Kita menghormati mereka dari kasta apapun mereka. [Dr. M. Salim ATCHIA, MBA]

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

One comment

  1. Khilafah sendiri memang bukan sistem diktator, tetapi bagaimana dengan pemilihan khalifah itu sendiri. Hal ini perlu penjelasan mengingat kritik penganut thoghut mengatakan bahwa khilafah mengancam demokrasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*