HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Dar al-Islam dan Dar al-Kufr [Telaah Kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah II]

Pengantar

resize-of-syamsthumb.jpgTelaah kitab kali ini akan membahas salah satu bab yang terdapat di dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah II, karya Al-’Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahullâh, yakni bab, “Dâr al-Islâm wa Dâr al-Kufr”. Bab ini sesungguhnya juga dibahas di dalam buku-buku pembinaan Hizbut Tahrir lainnya, misalnya Mafâhîm al-Hizb at-Tahrir, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, Manhâj Hizb at-Tahrîr fî at-Taghyîr dan lain sebagainya.

Pemahaman yang benar terhadap realitas suatu negara, apakah ia termasuk Dâr al-Islâm atau dâr al-kufr, akan menentukan benar dan tidaknya pemahaman kaum Muslim terhadap sejumlah hukum Islam lainnya; misalnya hukum tentang jihad, perjanjian, dakwah, status kewarganegaraan, dan lain sebagainya. Hukum-hukum semacam ini berkaitan erat dengan penetapan status sebuah negara. Jihad fi sabilillah, misalnya, dilancarkan terhadap dâr al-harb (dâr al-kufr) dan tidak dilancarkan terhadap Dâr al-Islâm atau tatkala orang-orang kafir berusaha mengokupasi wilayah Dâr al-Islâm. Jizyah hanya ditarik dari orang-orang kafir yang hidup di bawah Dâr al-Islâm.

Penetapan status Dâr al-Islâm atau dâr al-kufr juga menentukan metode perubahan apa yang hendak dilakukan oleh gerakan Islam, apakah harus dengan cara ishlâh (reformasi) atau taghyîr (revolusi). Metode taghyîr adalah metode perubahan mendasar yang ditujukan untuk mengubah dasar dan sistem kufur menjadi islam. Adapun ishlâh adalah perbaikan yang diarahkan pada ranah cabang dan tidak ditujukan untuk mengubah dasar dan sistemnya. Jika suatu negeri sudah terkategori Dâr al-Islâm maka perbaikan untuk negeri tersebut tidak boleh dilakukan dengan metode taghyîr, tetapi harus dengan ishlâh. Adapun jika suatu negeri terketagori dâr al-kufr maka perubahan untuk negeri tersebut harus dilakukan dengan taghyîr, bukan dengan ishlâh.

Atas dasar itu, pemahaman yang benar terhadap suatu wilayah, apakah termasuk dâr al-kufr atau Dâr al-Islâm, akan membimbing kaum Muslim pada penetapan arah, tujuan, sekaligus metode perubahan masyarakat yang benar dan sebaliknya. Jika kaum Muslim menganggap bahwa negeri-negerinya terkategori Dâr al-Islâm, padahal sejatinya sudah terkategori sebagai dâr al-kufr, niscaya mereka tidak akan tergerak untuk mengubah negara dan masyarakatnya menuju Dâr al-Islâm. Mereka hanya mencukupkan diri pada perubahan terhadap perkara-perkara cabang. Lebih dari itu, jika kaum Muslim tidak mengetahui syarat-syarat Dâr al-Islâm dan dâr al-kufr, niscaya mereka akan berdiam diri ketika orang-orang kafir mengubah negeri mereka menjadi dâr al-kufr. Contohnya ketika Kemal Attaturk mengubah Kekhilafahan Islam menjadi negeri sekular, mayoritas kaum Muslim diam. Mereka malah mengelu-elukan Kemal sebagai pahlawan pembebasan. Padahal ia telah melakukan induk kejahatan yang tidak boleh didiamkan begitu saja oleh kaum Muslim.


Dâr al-Islam
dalam Tinjauan Syariat

Dr. Muhammad Khair Haekal menyatakan, sesungguhnya frasa Dâr al-Islâm adalah istilah syariah yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frasa dâr al-kufr juga merupakan istilah syariah yang digunakan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan Dâr al-Islâm. Begitu pula istilah dâr asy-syirk dan dâr al-harb; semuanya adalah istilah syariah yang maknanya sama1 untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan fakta pertama (Dâr al-Islâm).

Kedua istilah ini telah dituturkan di dalam Sunnah dan atsar para Sahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dari Nabi saw., bahwa Beliau pernah bersabda (yang artinya): Semua hal yang ada di dalam Dâr al-Islâm menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam dâr asy-syirk telah dihalalkan.2 Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Dâr al-Islâm, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk Dâr al-Islâm tidak boleh dirampas; darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan yang syar‘i. Sebaliknya, penduduk dâr al-kufr, harta dan darahnya tidak terpelihara, kecuali ada alasan syar‘i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan darahnya.3

Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwa ada sebuah surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hirah. Di dalam surat itu antara lain tertulis:

Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah), yakni orang tua yang tidak mampu bekerja, orang yang cacat, atau orang yang dulunya kaya lalu jatuh miskin sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah; mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal kaum Muslim selama mereka masih bermukim di Dâr al-Hijrah dan Dâr al-Islâm. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Dâr al-Hijrah maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk mencukupi nafkah mereka.4

Ibnu Hazm mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah saw adalah tempat yang boleh diperangi, disebut dâr al-harb, serta tempat untuk berjihad.”5

Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa Dâr al-Islâm adalah istilah syariah yang ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara Islam.

Para fukaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan para fukaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam (Dâr al-Islâm).

Al-Kasa’i, dalam kitab Badâ’i ash-Shanâ’i, mengatakan:

Tidak ada perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa dâr al-kufr (negeri kufur) bisa berubah menjadi Dâr al-Islâm dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat mengenai Dâr al-Islâm, kapan ia bisa berubah menjadi dâr al-kufr? Abu Hanifah berpendapat, Dâr al-Islâm tidak akan berubah menjadi dâr al-kufr kecuali jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama: telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya. Kedua: meminta perlindungan pada dâr al-kufr. Ketiga: kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya yang mereka dapat pertama kali, yakni jaminan keamanan dari kaum Muslim. Adapun Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, Dâr al-Islâm berubah menjadi dâr al-kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.6

Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkomentar:

Barangkali, buah perbedaan di antara dua pendapat tersebut tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Oleh karena itu, jika pendapat Abu Hanifah itu diterapkan maka negeri-negeri mulai dari wilayah barat hingga daerah Turkistan, dan Pakistan terkategori Dâr al-Islâm. Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum Islam, tetapi mereka hidup dalam perlindungan kaum Muslim…Jika pendapat Abu Yusuf dan Muhammad serta para fukaha yang sejalan dengan keduanya diterapkan maka negeri-negeri Islam sekarang ini tidak terhitung sebagai Dâr al-Islâm, tetapi dâr al-harb. Sebab, di negeri-negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam.7

Di dalam kamus fikihnya, Syaikh Sa’diy Abu Habib menjelaskan tentang Dâr al-Islâm dan dâr al-harb sebagai berikut:

Menurut pengikut madzhab Syafii, dâr al-harb adalah negeri-negeri kaum kafir (bilâd al-kuffâr) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Adapun Dâr al-Islâm menurut pengikut mazhab Syafii adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad, Bashrah; atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah atau Yaman; atau negeri yang ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir, wilayah kota Iraq; atau ditaklukkan secara damai; atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar jizyah.

Di dalam kitab As-Siyâsah as-Syar‘iyyah karya Syaikh Abd al-Wahhab Khalaf dituturkan:

Dâr al-Islâm adalah negeri yang diberlakukan hukum-hukum Islam; dan keamanan negeri itu ada di bawah kaum Muslim; sama saja apakah penduduknya Muslim atau dzimmi. Adapun dâr al-harb adalah negeri yang tidak memberlakukan hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim.8

Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani merinci apa yang dijelaskan Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut:

Penetapan suatu negeri termasuk Dâr al-Islâm atau dâr al-kufr harus memperhatikan dua perkara: Pertama, hukum yang diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua, keamanan di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya. Jika suatu negeri memenuhi dua perkara ini maka ia disebut Dâr al-Islâm dan negeri itu telah berubah dari dâr al-kufr menjadi Dâr al-Islâm. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap maka negeri itu menjadi dâr al-kufr. Sebab, negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam adalah dâr al-kufr. Begitu pula sebaliknya; jika negeri Islam menerapkan hukum-hukum Islam, sementara keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim—yakni kekuasaannya—tetapi dijamin oleh kaum kafir, maka negeri itu termasuk dâr al-kufr. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk dâr al-kufr. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam.9

Menurut Dr. Muhammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang paling râjih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan, bahwa Dâr al-Islâm adalah negeri yang sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam), dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut, baik keamanan dalam maupun luar negerinya, berada di bawah kendali kaum Muslim.10

Walhasil, Dâr al-Islâm adalah negara yang menerapkan hukum-hukum Islam, dan keamanan negara tersebut di bawah jaminan kaum Muslim.11 Sebaliknya, dâr al-kufur adalah negara yang menerapkan syariah kufur dan keamanannya tidak dijamin oleh kaum Muslim.

Definisi di atas didasarkan pada realitas negeri Makkah dan realitas Madinah pasca Hijrah. Sebelum hijrah ke Madinah, Makkah dan seluruh dunia adalah dâr al-kufr. Baru setelah Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya hijrah ke Madinah dan menegakkan Daulah Islamiyah di sana, maka terwujudlah Dâr al-Islâm pertama kali dalam sejarah kaum Muslim. Adapun Makkah dan negeri-negeri di sekitarnya tetap berstatus dâr al-kufr.

Dari sini kita bisa melihat realitas Makkah sebagai dâr al-kufr dan Madinah sebagai Dâr al-Islâm. Berdasarkan kedua realitas yang bertentangan inilah kita bisa memahami syarat dan sifat Dâr al-Islâm dan dâr al-kufr. Di Makkah saat itu hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks negara dan masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni shalat yang dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Makkah; itu pun harus seizin orang-orang kafir sebagai penguasa Makkah. Di sisi lain, kaum Muslim yang ada di Makkah tidak mampu menjamin keamanannya secara mandiri, tetapi mereka hidup di bawah jaminan keamanan kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Makkah tidak tampak hukum-hukum Islam, dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan orang kafir. Karena itu, Makkah sebelum Hijrah di sebut dâr al-kufr. Ini berbeda dengan Madinah pasca Hijrah. Di Madinah hukum-hukum Islam diterapkan dan tampak secara jelas; jaminan keamanan dalam dan luar negerinya pun berada di bawah tangan kaum Muslim.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan al-Nawiy]

Catatan kaki:

1   Dr. Muhammad Khair Haekal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, 1/660. Lihat pula Imam asy-Syafi’i, Al-Umm, IV/270-271.

2   Imam al-Mawardi, Ahkâm al-Sulthâniyyah, hlm. 60.

3   Dr. Muhammad Khair Haekal, Op. Cit., 1/661

4   Abu Yusuf, Al-Kharaj, hlm. 155-156.

5   Imam Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VII/305 [969]

6   Al-Kasa’i, Badâ’i ash-Shanâ’i, VII/130.

7   Syaikh Mohammad Abu Zahrah, Al-Jarîmah wa al-’Uqûbah fî Fiqh al-Islâmi, hlm. 343.

8  Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 69.

9   Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/215-216.

10  Dr. Mohammad Khair Haekal, Op. Cit., 1/669.

11  Manhaj Hizb at-Tahrir, hlm. 5.

One comment

  1. Assalamu Alaikum, akhi Syam. Masih ingat ane ndak? Ane masih di papua, terakhir ketemu di jojoran. Gimana kabar? Kapan2 email lagi. Wassalam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*