HTI

Fokus (Al Waie)

HTI, Khilafah, dan Keindonesiaan

resize-of-farid-w-800.jpgPasca Konferensi Khilafah Internasional (KKI) 12 Agustus 2007, pro dan kontra tentang Khilafah Islam masih terus bergulir. Salah satu propaganda untuk menolak Khilafah adalah tuduhan bahwa Khilafah mengancam Indonesia.

Tidak sekadar propaganda, provokasi yang menghasut Pemerintah untuk melarang Hizbut Tahrir pun dikemukakan oleh beberapa orang yang kontra Khilafah. Jakarta Post pada 21 Agustus 2007 memuat tulisan dengan judul, “Caliphate campaign puts national unity at risk”. Tulisan ini menuding bahwa kampanye Khilafah akan berbahaya bagi persatuan nasional. Tulisan ini juga mengecam Pemerintah yang dianggap tidak peduli terhadap meningkatnya fundamentalisme dan sektarianisme yang mengancam integrasi dan pembangunan nasional.

Terang saja tudingan ini ditolak oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI, dalam berbagai tulisannya di majalah al-Wa‘ie, website, dan beberapa media massa menegaskan bahwa Khilafah adalah untuk Indonesia menjadi lebih baik. Dalam konteks Indonesia, ide Khilafah adalah jalan untuk membawa Indonesia ke arah lebih baik. Syariah akan menggantikan sekularisme yang terbukti memurukkan negeri ini. Ide Khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkeram negeri ini dalam berbagai aspek. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan oleh kekuatan Kapitalisme global bisa dihadapi dengan cara yang sama. Karena itu, dakwah penerapan syariah dan Khilafah merupakan bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dan umat Islam terhadap masa depan Indonesia dan upaya menjaga kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.

MR Kurnia (Ketua Lajnah Siyasiyah HTI Pusat) menegaskan, jika banyak kalangan mempertanyakan komitmen HTI terhadap keutuhan Indonesia, misalnya, sejak sebelum Timtim lepas, HTI justru telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!

Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari Indonesia dan agar Indonesia jangan berada di bawah ketiak pihak asing. HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan keterlibatan asing dalam percobaan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya.

MR Kurnia menceritakan bagaimana seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada organisasi dan partai-partai nasionalis. Bagi HTI, keutuhan wilayah Indonesia itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagipula disintegrasi Indonesia berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Bagi HTI, ini jelas kontraproduktif dengan gagasan Khilafah yang justru ingin mewujudkan persatuan umat yang memang dikehendaki syariah (QS Ali Imran [3]: 103).

Dalam konteks ekonomi, menurut MR Kurnia, HTI pun telah sejak lama memperingatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan buku tentang bahaya utang luar negeri melalui lembaga internasional seperti IMF. Sebab, bagi HTI, utang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan syariah (QS al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.

HTI pun telah lama memperingatkan Pemerintah untuk: tidak menjual murah BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak; tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua; mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik, di samping mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa; menyerahkan begitu saja pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile; tidak mengesahkan sejumlah UU bernuansa liberal seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal dll yang memberikan keleluasan kepada para kapitalis asing untuk menguras sumberdaya alam negeri ini; dll.

Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan dengan syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda: Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi (HR Ibn Majah dan an-Nasa’i). Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) memandang bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).

Menurut MR Kurnia, yang mendasari HTI mengusung ide syariah dan Khilafah adalah keinginan untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan kata lain, bagi HTI, syariah dan Khilafah adalah solusi fundamental bagi bangsa ini jika ingin keluar dari krisis multidimensi, yang terbukti sampai hari ini gagal diatasi. Sayangnya, motif baik ini tidak pernah dibaca secara jujur oleh mereka yang menolak ide syariah dan Khilafah yang diusung HTI. Padahal HTI sendiri sesungguhnya telah lama mengkaji secara mendalam akar persoalan yang menimpa bangsa ini sekaligus merumuskan berbagai konsep/solusi yang bersumber dari syariah, yang bisa diuji kesahihan dan kekuatan argumentasinya. “Jika bukan syariah dan Khilafah, lalu apa solusi yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini?” tanya MR Kurnia.

Bagaimana dengan nilai-nilai kebangsaan? Muhammad Ismail Yusanto justru mempertanyakan nilai kebangsaan apa yang dimaksud. Menurut Jubir HTI ini, jika yang dimaksud adalah komitmen terhadap keutuhan wilayah, HTI secara berulang menegaskan penentangannya terhadap gerakan separatisme dan segala upaya yang akan memecah-belah wilayah Indonesia. Jika yang dimaksud adalah pembelaan terhadap kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, HTI secara berulang juga dengan lantang menentang sejumlah kebijakan yang jelas-jelas bakal merugikan rakyat Indonesia, seperti protes terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing atau penolakan terhadap sejumlah undang-undang seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal, yang sarat dengan kepentingan pemilik modal. Namun, jika nilai-nilai kebangsaan itu artinya adalah kesetiaan pada sekularisme, dengan tegas HTI menolaknya, karena justru sekularisme inilah yang telah terbukti membuat Indonesia terpuruk seperti sekarang ini. “Karena itu, benar sekali fatwa MUI pada 2005 yang mengharamkan sekularisme,” tegasnya.


Nasib Pluralitas dan Non-Muslim

Tudingan bahwa gagasan Khilafah yang diusung Hizbut Tahrir mengancam pluralitas juga dibantah oleh Muhammad Ismail Yusanto. Menurutnya, Kekhilafahan melindungi pluralitas adalah kenyataan sejarah. ‘’Kekhilafahan Islam di Spanyol membuktikan itu. Bahkan, sejarah telah menyebut Spanyol sebagai negeri tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi,’’ kata Ismail Yusanto dalam Konferensi Kekhilafahan Internasional di Jakarta, Ahad 12/8/2007 (Republika, 13/8/2007).

Masih menurut Ismail, anggapan bahwa non-Muslim akan menjadi warga kelas dua juga tidak benar. Muslim dan non-Muslim diperlakukan secara sama sebagai warga negara. Secara spesifik malah apa yang wajib bagi Muslim, seperti membayar zakat, tidaklah diwajibkan atas warga non-Muslim. Adapun dalam kehidupan publik, warga non-Muslim akan mendapat hak yang sama dengan yang Muslim. Keduanya, misalnya, berhak mendapat perlindungan keamanan, pendidikan dan layanan kesehatan gratis. Jika seorang Muslim tidak boleh diciderai jiwa dan kehormatannya serta diambil hartanya tanpa hak, maka begitu juga non-Muslim. Imam Ali ra. pernah mengatakan, “Damuhum ka damina (Darah mereka seperti darah kita juga); mâluhum ka mâlina (harta mereka seperti harta kita juga).” Inilah keagungan risalah Islam untuk rahmat sekalian alam.

Bahkan TW Arnold, dalam bukunya, The Preaching of Islam, juga membantah propaganda busuk yang selama ini dilontarkan terhadap syariah Islam tentang perlakuan diskriminatif terhadap non-Muslim di Negara Khilafah.

Secara umum Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bagaimana perlakuan Islam terhadap non-Muslim dalam kitab Ad-Dawlah al-Islâmiyah, antara lain:

(1) Seluruh hukum Islam diterapkan kepada kaum Muslim.

(2) Non-Muslim boleh tetap memeluk agama mereka dan beribadah berdasarkan keyakinan mereka.

(3) Memperlakukan non-Muslim dalam urusan makan dan pakaian sesuai dengan agama mereka dalam koridor peraturan umum.

(4) Urusan pernikahan dan perceraian antar non-Muslim diperlakukan menurut aturan agama mereka.

(5) Dalam bidang publik seperti muamalah, ‘uqûbat (sanksi hukum), sistem pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya, Khilafah menerapkan syariat Islam atas seluruh warga Negara, baik Muslim maupun non-Muslim.

(6) Setiap warga negara yang memiliki kewarganegaraan Islam adalah rakyat Negara Khilafah sehingga Khilafah wajib memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan Muslim dengan non-Muslim.

Berkaitan dengan tidak adanya paksaan untuk memeluk agama Islam dan kebolehan non-Muslim beribadah, itu bisa dibuktikan dengan masih adanya komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah, yang pernah menjadi pusat Kekhilafahan Islam yang berkuasa selama ratusan tahun. Gereja-gereja tua juga masih banyak terdapat di beberapa kawasan di Timur Tengah. Kalau terjadi pembantaian terhadap mereka, mengapa mereka masih eksis hingga kini. Bandingkan dengan musnahnya Muslim di Spanyol (Andalusia) sekarang ini, setelah pembantaian yang dilakukan Ratu Isabella. Padahal Spanyol dulunya adalah pusat pemerintahan Islam.

Keagungan Islam menjamin kebolehan non-Muslim beribadah tampak ketika Umar bin al-Khaththab ra. menaklukkan Yerussalem. Ketika ia berada di Gereja Holy Sepulchre, waktu shalat umat Islam pun tiba. Dengan sopan sang uskup mempersilakannya shalat di tempat ia berada. Namun, Umar dengan sopan pula menolak. Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre.


Siapa Ancaman Sesungguhnya?

Dalam pandangan MR Kurnia, seharusnya yang dilarang ada di Indonesia adalah Kapitalisme. Pasalnya, Kapitalismelah—berikut ide-ide pokoknya seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme dan demokrasi—yang menjadi pangkal kehancuran dan penderitaan rakyat Indonesia. Menurutnya, jika pemerintah konsisten dengan demokrasi dan nasionalisme, apakah kebijakan-kebijakan yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan cenderung menghamba pada kepentingan pihak asing (Kapitalisme global) di atas bersifat demokratis dan sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme? Demokrasi macam apa yang bertentangan dengan kemaslahatan publik? Nasionalisme macam apa pula yang menggadaikan kepentingan nasional kepada pihak asing? Paradoks sekali para penentang Khilafah ini. Mereka bicara kesejahteraan rakyat, tetapi menyengsarakan rakyat; mereka bicara kedaulatan negara, tetapi menjual negara; mereka bicara nasionalisme dan keutuhan Indonesia, tetapi membiarkan disintegrasi dan campur tangan asing. “Jadi, siapa sebenarnya pengkhianat bangsa dan negara ini?” ujarnya.

Masih menurut MR Kurnia, jika mau jujur, demokrasilah—juga nasionalisme—yang lebih rawan direduksi sekaligus ‘dibajak’ untuk sesuatu yang jauh lebih hina: menghamba pada kepentingan para kapitalis dan pihak asing!

Itulah mengapa selama ini HTI konsisten dengan perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah. Alasan syar‘i-nya adalah karena tidak ada satu pun hukum/sistem yang lebih baik mengatur kehidupan manusia kecuali hanya hukum/sistem syariah (QS an-Maidah [5]: 50). Adapun alasan rasionalnya adalah karena negeri ini, bahkan dunia ini, sedang menuju kebangkrutan bahkan kehancuran akibat kerakusan ideologi Kapitalisme global. Para ekonom Barat sendiri—yang jujur—telah banyak mengulas kebobrokan Kapitalisme global ini. “Pertanyaannya, akankah kita tetap betah hidup di tengah-tengah arus besar Kapitalisme global yang terbukti telah banyak menyengsarakan umat manusia, termasuk bangsa ini? Jika tidak, apa solusinya? Hizbut Tahrir telah memilih: syariah—yang pasti membawa maslahat dan rahmat (QS al-Anbiya’ [21]: 107)—dan Khilafah. Lalu solusi apa yang ditawarkan oleh mereka yang menolak syariah dan Khilafah?” tanya MR Kurnia.

Wallâh u‘alam bi ash-shawâb. [Farid Wadjdi]

BOX

Khilafah & Non-Muslim

“Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka; perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.” (TW Arnold, The Preaching of Islam).

“Ketika Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan atas kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal ini tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian Pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.” (TW Arnold, The Preaching of Islam).

“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luas wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setalah masa mereka.” (Will Durant, The Story of Civilization).

Fasilitas pendidikan gratis pun diberikan sama kepada Muslim dan non-Muslim dengan mutu pendidikan yang sangat tinggi. Tidak aneh jika Raja Inggris mengirim keluarganya untuk belajar di Negara Khilafah, seperti yang tampak dalam surat dari George II, Raja Inggris, Swedia dan Norwegia, Kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia Spanyol, kutipan surat tersebut antara lain, “Kami mengharapkan anak-anak kami bisa menimba keagungan yang ideal ini agar kelak menjadi cikal bakal kebaikan untuk mewarisi peninggalan yang Mulia guna menebar cahaya ilmu di negeri kami, yang masih diliputi kebodohan dari berbagai penjuru.”

Jaminan keamanan pun diberikan kepada non-Muslim. Sejarah mencatat, Khalifah pernah memberikan sertifikat tanah (tahun 925 H/1519 M) kepada para pengungsi Yahudi yang diusir dari Spanyol setelah runtuhnya pemerintahan Islam di sana. Terdapat surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia (30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 M). Raja Prancis juga pernah dilindungi oleh Khalifah Sulaiman al-Qanuni ketika diancam oleh musuh-musuhnya. []

5 comments

  1. assalaamu’alaikum,

    Al Hamdulillaah, Allaahu akbar!
    Ingat! kita harus berani mengungkap fikrah apa adanya. Ingat sikap yang diambil oleh Syaikh AnNabhaaniy rahimahullaah ketika dipanggil oleh penguasa. BEliau tidak sedikit pun menyembunyikan fikrah!
    Ingat! jika hari ini kita lemah untuk mengungkap kebenaran, apa yang bisa kita katakan esok hari??
    HTI, istiqomah!!

  2. BUJURAI… SUDAH KADA DI RAGUAKAN. BAHWA KITA NI HARUS MANYAMPAIAKAN APA ADANYA NANG ADA DI DALAM HUKUM SYARA, WALAUPUN ORANG KAFIR, MUNAFIK, LAWAN ORANG MUSRIK KADA SUKA. APALAGI SISTEM KHILAPAH NI SISTEM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN. SUDAH PARAK PULANG BAHWA KHILAPAH NI HANDAK TAGAK. ALLAHU AKBAR

  3. Kebenaran tentang solusi Islam bagi kehidupan telah tersampaikan dan dahulu sudah terbukti.
    Syariah dan Khilafah hanya soal waktu
    Para penentang akan kehabisan hujah karena orang Islam yang berakal sehat pasti dukung syariah dan khilafah pada akhirnya karena memang tak ada yang lain lagi yang lebih baik dan memang benar-benar bisa selesaikan problematika umat Islam bahkan dunia.

  4. warung miring pinggir ITATS

    HANYA DENGAN SYARIAH ISLAM-LAH YANG MAMPU MENGEJAWANTAHKAN KEBHINEKAAN INDONESIA…
    MAKANYA GAK PAKE LAMA DEGH…CEPETAN KHILAFAH BANGKIT N KITA BUKTIKAN BERSAMA

  5. ERNI NURDIANTI

    assalamualaikum, saya tertarik dengan organisasi ini saya ingin tahu sejarah HT ini masuk ke Indonesia.mohon di jawab ? trus yang saya tanyakan lagi bagaimana HTI memandang tentang demokrasi ? karena saya sempat mendengar kalau sistem ini tidak bagus karena kedaulatannya ada di tangan rakyat padahal menurut HT kedaulatan di tangan tuhan.kemudian saya juga menanyakan apa sebenarnya yang salah dengan pancasila sehingga harus di rubah ? bagaimana HT memandang pancasila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*