Wajah Afrika yang kita lihat dari jauh dan kita baca di media massa bisa jadi adalah wajah kemiskinan, keterbelakangan dan pertikaian. Krisis Darfur di Sudan dan krisis Somalia masih terus terjadi. Apakah masalah kemiskinan dan keterbelakangan di Afrika adalah masalah yang hakiki atau sengaja diciptakan dan dilanggengkan? Apa yang sebenarnya terjadai dalam krisis Darfur dan Somalia, dan mengapa belum juga reda? Untuk mengulas masalah itu, di sela-sela acara Konferensi Khilafah Internasional (KKI) Agustus lalu, Redaksi al-Wa‘ie, Yahya Abdurrahman, berbincang dengan seorang tokoh dari Sudan yang ikut merasakan dan melihat langsung apa yang terjadi di Afrika itu. Beliau adalah Syaikh Ibrahim Utsman Abu Khalil, Juru Bicara Hizbut Tahrir Sudan. Berikut petikannya:
Tentang masalah yang melingkupi Afrika seperti kemiskinan, kebodohan, kemunduran dan sebagainya, bagaimana pandangan Syaikh?
Kemunduran dan kemiskinan di Afrika bukanlah masalah yang hakiki, melainkan sesuatu yang direkayasa. Baratlah yang merekayasa kemiskinan itu. Para penguasa kaum Muslimlah yang menjaganya. Mereka pula yang mengimplementasikan arahan-arahan Barat di negeri-negeri kaum Muslim. Afrika dan Timur Tengah sesungguhnya sarat dengan kekayaan alam. Penyebutan masalah kemiskinan sebenarnya merupakan masalah politik (yakni pengaturan berbagai urusan masyarakat) karena kekayaan mereka tidak dimiliki oleh umat. Seandainya umat benar-benar memiliki kekayaan itu maka tidak akan ada masalah kemiskinan di sana.
Apakah masalah kebodohan dan kemunduran juga sama?
Siapa saja yang mempelajari masalah ini, dia akan mengetahui bahwa kebodohan dan kemunduran itu bukanlah takdir; dia akan mengetahui bahwa Baratlah yang menginginkan kebodohan mereka itu. Para pemimpin hanyalah pelayan Barat. Masalah kebodohan dan kemunduran ini bukan masalah hakiki, tetapi masalah yang direkayasa. Masalah kemunduran dan kebodohan itu malahan dijadikan oleh Barat sebagai konveyor untuk mengalirkan kekayaan milik umat dan kekayaan alam mereka ke Barat. Umat harus mengetahui bahwa semua kekayaan mereka itu telah dirampas. Mereka harus mengetahui bahwa berbagai masalah yang menimpa mereka bukanlah takdir dari Allah Swt. Semua itu terjadi karena mereka diam terhadapnya. Umat yang ingin bangkit tidak mungkin rela dengan realitas mereka yang buruk itu. Sekarang kami melihat bahwa kebangkitan mulai menjalar di dalam tubuh umat.
Tentang Krisis Darfur, seperti apa realitas yang sebenarnya?
Realitas di Darfur hakikatnya adalah pertarungan pengaruh antara Eropa dan Amerika di kawasan itu. Masalah itu awalnya adalah pergolakan biasa antara tuan tanah dan petani penggarap. Hal itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Masalah itu juga merupakan warisan imperialis. Dengan pandangan bahwa seandainya kekayaan Darfur dikelola dengan baik, maka tidak akan muncul masalah itu. Sebab, Darfur memiliki kekayaan, memiliki air, tanah, dan kekayaan lainnya yang mencukupi untuk membiayai seluruh Afrika dan bukan hanya Darfur saja. Akan tetapi, pengelolaan yang buruk oleh penguasa sejak masa penjajahan sampai sekarang menyebabkan terjadinya masalah dan perpecahan antara pemilik tanah dan penggarap. Masalah ini lalu dimanfaatkan oleh Barat. Masalah Sudan Selatan dimanfaatkan oleh Amerika guna memuluskan rencana bagi berdirinya negara di Sudan Selatan. Sebagian putra Darfur merasa diperlakukan tidak adil; mereka merasa bahwa penduduk selatan telah mengambil bagian lebih dari yang seharusnya. Hal itu mendorong mereka untuk angkat senjata. Yang memprovokasi mereka untuk angkat senjata adalah Eropa. Semua dari kita tahu bagaimana Prancis, Inggris dan Jerman membesar-besarkan masalah Darfur di media massa. Lalu ketiganya mendukung pemberontak dengan men-suplay harta, senjata dan sebagainya. Amerika ingin memaksakan pakta antara Darfur (Sudan Utara) dan Sudan Selatan. Eropa tidak menyetujuinya, karena dengan begitu Sudan akan sepenuhnya berada di bawah pengaruh Amerika. Inggris pun merasa risau. Inggris menganggap Sudan merupakan kawasan yang dulunya berada di bawah pengaruh Inggris, karena Sudan dulu adalah jajahan Inggris. Di pihak lain, Prancis mengkhawatirkan pengaruh Amerika akan menyebar di seluruh Afrika. Prancis memiliki pengaruh di wilayah barat Afrika, khususnya di Chad yang berbatasan dengan Darfur. Lalu masalah Darfur pun dikobarkan dengan jalan itu. Eropa ingin agar Amerika tidak tenang dengan apa yang dilakukannya terhadap Sudan Selatan. Eropa menjadikan problem Darfur sebagai masalah supaya jangan sampai Amerika menancapkan pengaruhnya di seluruh Sudan. Inilah yang terjadi di Darfur, yaitu pertarungan Amerika dengan Eropa. Semua yang terjadi, semua yang diberitakan di media massa merupakan hasil dari pertarungan ini. Pemerintah Sudan yang loyal kepada Amerika dan pemberontak yang loyal kepada Eropa, inilah yang menerapkan permusuhan itu. Yang dijadikan kayu bakar bagi pertarungan itu adalah penduduk Darfur.
Jadi, masalah Darfur bukan masalah internal tetapi masalah buatan yang direkayasa oleh pihak asing, yaitu Eropa dan Amerika?
Betul, tetapi bukan berarti bahwa di Darfur tidak terdapat masalah. Benar di Darfur terdapat masalah internal. Akan tetapi, yang membesar-besarkan dan mengobarkan masalah Darfur adalah pihak asing. Jadi, masalah Darfur bukan seratus persen rekayasa dari luar. Yang menjadikan masalah ini berkobar dan semakin rumit adalah campur tangan pihak-pihak asing yang memelihara agar masalah tetap berlangsung. Pihak-pihak asing itulah yang memunculkan krisis. Merekalah yang mengatakan bahwa di sana terjadi bencana kemanusiaan terbesar di dunia. Padahal di Palestina, saudara-saudara kita di sana diperangi, dibunuhi, diusir dan sebagainya; dan yang melakukan adalah Israel. Namun, itu tidak pernah dikatakan sebagai bencana kemanusiaan. Di Chechnya, saudara-saudara kita di sana diperangi dan dibantai, tetapi tidak seorang pun mengatakan bahwa di sana terjadi bencana kemanusiaan. Di Afgan, kaum Muslim diperangi setiap hari, namun tidak seorang pun yang mengatakan disana terjadi bencana kemanusiaan. Begitu juga apa yang terjadi di Irak, karena yang melakukan adalah Barat, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa di sana sedang terjadi bencana kemanusiaan.
Akan tetapi apa yang terjadi di Darfur dikatakan sebagai bencana kemanusiaan. Eropa ingin mendatangkan kekuatan militer Eropa ke Darfur. Akan tetapi, AS tidak menghendakinya, karena itu akan melemahkan pengaruh AS dan sebaliknya menguatkan pengaruh Eropa. Oleh karena itu, AS menolak hal itu. AS mendorong pemerintah Sudan untuk menolak semua solusi dari Dewan Keamanan Internasional. AS-lah yang kembali memicu masalah melalui pemerintah Sudan, tetapi tanpa menampakkan bahwa pemerintah Sudan adalah antek AS, meski sebenarnya pemerintah Sudan menjadi kaki tangan AS.
Lalu apa motif AS merekayasa krisis Darfur?
Motifnya jelas, AS keluar ke dunia untuk mendapatkan kekayaannya. Darfur kaya akan kekayaan alam di perut bumi, seperti minyak, uranium, tembaga, dan lainnya. Darfur memiliki kekayaan yang sangat besar. AS menginginkan kekayaan Darfur itu. Ini adalah bagian dari apa yang sudah kita ketahui. Barat menjelajahi dunia sejak Abad 19 tidak lain untuk menjajah dan merampok kekayaan dunia. Mereka mencari kekayaan itu. Meski metode penjajahan telah berubah, selama ideologinya tetap Kapitalisme, maka motifnya tidak akan berubah, yaitu mereka keluar untuk menjajah guna merampok kekayaan Dunia Ketiga. Inilah yang terjadi dan itulah yang diinginkan oleh Amerika.
Apa tujuan AS merekayasa krisis itu?
Tujuan Amerika dalam hal itu adalah untuk memupus pengaruh Eropa di sana. Akan tetapi, Eropa, khususnya Inggris dan Prancis, tidak berpangku tangan saja. Mereka menentang upaya Amerika agar Sudan tidak jatuh ke tangan Amerika secara keseluruhan. Karenanya, Eropa menciptakan berbagai masalah di sana. Akan tetapi, Eropa tidak menghadapi Amerika secara langsung. Semua yang terjadi itu dilakukan melalui alat-alat mereka.
Jadi, apakah para penguasa kaum Muslim mengabdi pada kepentingan rakyatnya atau kepentingan Barat, khususnya Amerika dan Eropa?
Mereka hanyalah alat Amerika dan Barat (Eropa). Ketika perannya berakhir, mereka akan berakhir seperti akhir para kaki tangan Amerika dan Barat di negeri-negeri Muslim. Ketika peran mereka tidak diperlukan lagi, mereka akan digoyang dan ditumbangkan. Seperti Saddam Husein, ia menerapkan apa yang dinginkan Barat. Ketika sudah tidak diperlukan lagi, ia ditumbangkan.
Namun, saat ini, alhamdulillah, umat telah mengetahui bahwa para penguasa itu hanyalah menjadi alat Barat. Ini adalah karunia dari Allah Swt. Umat tidak lagi menghargai para penguasa. Mereka memandang penguasa sebagai antek-antek Barat. Umat memandang para penguasa itu tidak menjalankan apa yang diridhai oleh Allah Swt., bahkan tidak melakukan sesuatu yang bisa menaikkan peri kehidupan umat. Saat ini tidak lagi ada kesesuaian antara umat dan penguasa.
Tentang masalah Somalia, apa yang terjadi? Di sana terdapat al-Mahâkim asy-Syar‘iyah. Siapa mereka dan apakah mereka ingin menerapkan Islam?
Yang terjadi di Somalia ada hubungannya dengan penjajahan Barat terhadap negeri-negeri Muslim. Somalia juga menjadi ajang pertarungan Barat, yaitu antara Eropa dan Amerika. Di bawah pertarungan ini muncul penguasa legal. Di bawah penguasa legal itu Somalia akhirnya mulai terjerumus ke dalam kebinasaan. Sebagian pemuda Somalia yang ikhlas merasa bahwa masalahnya tidak seharusnya seperti itu. Lalu sebagian pemuda itu berhimpun dengan dasar mereka ingin menguasai Somalia dan memerintahnya dengan Islam. Mereka dalam waktu yang singkat mampu mengambil-alih kekuasaan dari para komandan perang. Di kota Mogadishu saja terdapat puluhan milisi. Setiap milisi menguasai wilayah yang menjadi kekuasaanya, seakan negara tersendiri yang ada di dalam negara Somalia. Mereka sering melakukan kekacauan, merampok dan membunuh. Para pemuda itu terdiri dari pemuda-pemuda yang ikhlas, namun yang kurang dari diri mereka adalah pemikiran, yakni–maaf–mereka tidak memiliki kesadaran akan realitas yang sedang terjadi. Lalu di tengah-tengah mereka mulai menyusup anasir-anasir yang tidak ikhlas. Ketika mereka berhasil mengambil-alih kekuasaan, dalam waktu singkat mereka mampu menciptakan keamanan di negeri Somalia dan memberikan keamanan kepada masyarakat. Akan tetapi, di tengah-tengah mereka terdapat orang-orang yang tidak ikhlas. Mereka inilah yang membalikkan kembali keadaan yang sudah aman itu menjadi seperti sebelumnya. Lalu Amerika kembali menyerang Somalia, tetapi kali ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan memperalat pemerintah Etiopia yang menjadi anteknya. Amerika masih terus dihantui oleh apa yang sudah terjadi atas mereka tahun 1995 (yakni kekalahan memalukan mereka dari milisi Somalia di Moghadishu). Karena itu, Amerika menyuruh anteknya di Etiopia agar mengintervensi dan menguasai Somalia dengan dalih membantu penguasa yang sah. Namun penguasa sah itu sebenarnya tidak memiliki eksistensi. Keberadaan atau kekuasaannya hanya di daerah kecil dan mereka tidak bisa keluar dari daerah itu, seperti daerah kecil di Baghdad. Penguasa sah antek AS itu dengan bantuan pemerintah Etiopia menyerang pemerintahan syariah yang memiliki eksistensi yang sebenarnya (hakiki). Upaya itu justru mengembalikan Somalia menjadi medan pertempuran kembali. Kondisi Somalia menjadi kacau kembali dan tidak akan tenang selama ada pertarungan Barat di sana.
Sampai kapan bencana yang menimpa umat itu akan berakhir?
Sampai Allah Swt. mengizinkan kembalinya Khilafah yang akan menghapus semua bencana itu. Jika Khilafah kembali dan atas izin Allah dalam waktu dekat akan kembali mengatur negara dan masyarakat, Khilafah akan menghapus semua bencana yang ada; mengembalikan umat pada posisinya; manusia akan hidup di bawah naungan Islam, hukum-hukumnya, keadilannya dan akan hidup di bawah rahmat. Khilafah akan memimpin umat manusia secara keseluruhan. Khilafah akan memimpin Barat yang sekarang hidup di dalam penderitaan. Ketika Khilafah memimpin dunia, Khilafah akan memimpin dunia menuju kebaikan. [Syaikh Ibrahim Utsman Abu Khalil, Juru Bicara Hizbut Tahrir Sudan]