Kalau ada istilah yang kini banyak disebut kalangan politisi dunia, maka istilah itu adalah khilafah. Tidak kepalang,
Jika pihak negara besar memberikan respon seperti itu, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan mereka justru menjadikan sebagian kalangan mulai melirik gagasan Khilafah. Hanya saja, secara faktual ada beberapa kondisi yang dipandang amat sulit untuk mewujudkannya. Di sinilah pentingnya menepis keraguan tersebut.
Menepis Keraguan
Di antara kesulitan yang mendorong lahirnya sejumlah keraguan terhadap kemungkian tegaknya Khilafah adalah:
Pertama, bagaimana mempersatukan umat yang sudah tersekat-sekat nasionalisme dan nation-state? Dulu, pada jaman Nabi Muhammad saw. masyarakat terpecah. Bedanya, kalau dewasa ini masyarakat dikerat-kerat oleh batas-batas imajiner negara bangsa (nation state), pada masa itu rakyat disekat-sekat oleh sistem kekabilahan. Tidak terbayang bagaimana menyatukan suku Aus dan Khazraj yang selama ratusan tahun terus dalam kondisi peperangan; sulit dipahami bagaimana mempersatukan suku-suku yang memiliki sikap jika ada seorang warga suku bermusuhan dengan seorang warga suku lain hakikatnya merupakan permusuhan kedua suku tersebut; amat sulit dipahami bagaimana mungkin para kepala kabilah yang memiliki superioritas besar di kabilahnya masing-masing dapat disatukan. Namun, sejarah mencatat bahwa apa yang tidak terbayang sebelumnya dan dianggap sulit itu terbukti dapat dilakukan. Berbagai kabilah di Jazirah Arab pun berpadu menjadi satu.
Apa sebabnya? Karena kekuatan kekabilahan, sebagaimana kekuatan nasionalisme, merupakan kekuatan maknawiah. Kekuatan ikatan ini bukanlah pengikat terkuat. Ikatan yang lebih hebat dan dapat mengatasi kekuatan maknawiah adalah kekuatan ruhiyah, yakni kekuatan yang lahir dari keyakinan terhadap Allah Swt. Islam mewajibkan persatuan umat. Kaum Mukmin bersaudara laksana satu bangunan dan satu tubuh. Islam mengharamkan umat berpecah-belah. Pasalnya, Tuhan mereka sama: Allah SWT; kitab mereka sama: al-Quran; Rasul mereka sama: Muhammad; kiblat mereka juga sama: Baitullah. Semua itu merupakan kekuatan ruhiyah yang bisa menyatukan umat melewati batas-batas nasionalisme. Jika dengan alasan material Uni Eropa dapat bersatu, maka dengan alasan umat Islam adalah umat yang satu (ummah wâhidah) semestinya umat Islam dapat bersatu melebihi mereka. Dengan cara menanamkan kekuatan ruhiyah yang didasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah niscaya keinginan bersatu umat Islam semakin kuat, dan ikatan apapun yang mengorbankan akidah akan terkikis. Perlu juga ditanyakan, nasionalisme seperti apa yang hendak diperjuangkan, apakah nasionalisme yang menjual aset negara kepada asing, melepas pulau kepada negara imperialis, menyerahkan barang tambang dan minyak kepada penjajah, menggadaikan kedaulatan negara dengan perjanjian keamanan yang membiarkan pihak asing uji coba senjata dan latihan perang, membiarkan negara asing turut campur dalam pembuatan berbagai perundang-undangan, membiarkan remaja hancur ditelan pornografi pornoaksi? Kalau yang dimaksud adalah melepaskan dari penjajahan asing, mensejahterakan masyarakat, menghentikan separatisme, dan membangun generasi cerdas bertakwa, justru Khilafah akan mewujudkannya.
Secara real, dunia makin menjadi dusun kecil. Istilah globalisasi telah menjadi kenyataan yang tidak dapat ditawar lagi. Dunia Islam pun dalam kenyataannya ’menyatu’ dalam sistem dunia; mulai dari moneter, standar mata uang, hingga penanganan flu burung dilakukan secara global. Jadi, kenyataannya, dunia tengah menyatu. Karenanya, persoalannya bukan pada bersatunya, melainkan pada apakah Kapitalisme global akan tetap dijadikan dasar kebersatuan dunia itu. Padahal dunia menjadi hancur dan penuh kezaliman dengan diterapkannya Kapitalisme global. Karenanya, harus ada perubahan: hidup dalam globalisasi atas dasar Islam yang membebaskan manusia dari penjajahan dan penyembahan atas sesama manusia. Fitrah manusia dan akidah Islam akan setuju dengan globalisasi di atas dasar Islam.
Dunia Islam telah melakukan eksperimen dengan menerapkan Kapitalisme maupun Sosialisme, namun hasilnya hanya kerusakan. Semakin isu globalisasi menguat, relevansi negara-bangsa dan nasionalisme makin berkurang. Hal ini disadari oleh mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating saat beberapa bulan lalu menyatakan, “Nasionalisme hanya memperkokoh terjadinya perpecahan.” Itu pulalah sebabnya pihak Barat menggembar-gemborkan globalisasi.
Kedua, bagaimana menyatukan keragaman? Keragaman tidak selalu harus disatukan. Beberapa ayat al-Quran dan as-Sunnah, termasuk praktik pada masa Rasulullah saw. dan Sahabat, menunjukkan bahwa keragaman dibiarkan tetap ada. Keragaman budaya, adat, etnis dll dipandang sebagai alami agar manusia kenal mengenal (lihat QS al-Hujurat: 13). Bahkan tidak sedikit pernikahan antar etnis terjadi. Wali Songo yang kebanyakan dari Timur Tengah menikah dengan puteri Jawa. Agama-agama yang beraneka ragam diberi kebebasan hidup, karena tidak ada paksaan bagi non-Muslim untuk berpindah menganut Islam (lihat QS al-Baqarah: 256). Beraneka mazhab pun berkembang. Dulu, ada puluhan mazhab, sekalipun yang banyak dikenal hingga kini hanya empat saja.
Keragaman yang disatukan hanyalah keragaman yang apabila dibiarkan akan memporakporandakan tatanan masyarakat. Hanya boleh ada satu sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi, misalnya, di dalam satu negara. Karenanya, perkara ini harus digali hanya dari Islam dan tidak bertentangan dengan Islam. Hukum yang berlaku pun harus sama, yaitu hanya hukum syariah. Pemimpin tidak boleh lebih dari satu. Dialah yang menyatukan umat. “Amru al-Imâm yarfa‘u al-khilâf (Perintah Imam/Khalifah meniadakan perbedaan,” begitu salah satu bunyi kaidah ushul yang digali dari nash.
Jadi, keragaman bukan kendala dalam penegakkan Khilafah. Syaratnya, ada kehendak untuk bersatu dalam keragaman di bawah panji Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasulullâh.
Ketiga, bagaimana mekanisme pemilihan Khalifah di tengah-tengah perbedaan etnik, mazhab dan kepentingan politik? Dari sisi pemahaman harus sama, bahwa siapapun yang memenuhi syarat boleh menjadi khalifah, tanpa membedakan etnis dan mazhabnya. Adanya Kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah menunjukkan hal ini. Realitas pun menunjukkan, Cina dapat mengurus rakyat yang jumlahnya 1,5 miliar dengan berbagai keragamannya. Sejatinya umat Islam pasti lebih bisa mengurus kaum Muslim dunia sebesar itu juga.
Pada sisi lain, mekanisme pemilihan Khalifah adalah melalui pemilihan, baik langsung ataupun lewat perwakilan Majelis Umat/MU (Ahlul Halli wal ‘Aqdi). Dengan merujuk jejak Khulafaur Rasyidin dapat dilaksanakan mekanisme berikut:
Di daerah dilakukan pemilihan para anggota Majelis Wilayah/MW (’wakil umat di daerah’) langsung oleh rakyat daerah masing-masing. Yang dipilih bukanlah gambar partai atau organisasi melainkan langsung orangnya. MW benar-benar menjadi representasi daerahnya. Lalu para anggota MW memilih sejumlah orang di antara mereka untuk menjadi Majelis Umat/MU. Jadi, MU pun merupakan representasi umat secara keseluruhan. Persoalan etnik dan mazhab tidak akan menjadi masalah karena dapat diselesaikan dengan mekanisme tersebut.
Adapun kepentingan politik ditampung dengan dibiarkan adanya partai-partai politik dan organisasi. Tidak perlu izin, cukup pemberitahuan kepada pemerintah. Syaratnya, dasarnya adalah Islam dan untuk kepentingan Islam. Partai/organisasi ini dapat menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi MW, MU atau khalifah, yang beradu kualitas dalam pemilihan.
Keempat, bagaimana caranya menuju tegaknya Khilafah? Inti dari persoalan ini adalah kesadaran masyarakat. Masyarakat yang sadar akan kewajiban penerapan syariah dan menyatu dalam Khilafah akan berupaya mewujudkannya. Jika masyarakat ini didukung oleh ahlu quwwah (militer, dll), lalu memberikan kekuasaannya kepada pemimpin Islam untuk menjadi khalifah maka tidak ada siapapun yang dapat menghalanginya. Sebab, kekuasaan ada di tangan rakyat. Hanya saja, memang negeri-negeri Muslim harus melepaskan diri dari kungkungan dan penjajahan negara-negara besar. Untuk itu, perlu ada upaya di setiap negeri Muslim untuk menggerakkan umat bersatu dalam Khilafah. Perlu gerakan ’transnasional’.
Kelima, adanya negara besar penghadang. Alasan ini memang bukan isapan jempol. George W. Bush menegaskan akan menyerang siapapun yang menginginkan pendirian kembali Kekhilafahan Islam di Timur Tengah, sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Pernyataan ini pun digaungkan oleh Presiden Nicolas Sarkovy yang memperingatkan siapapun yang berkeinginan untuk menegakkan kembali Kekhilafahan (28/8/2007). Bush sebelumnya menegaskan, “Kita bergerak offensif. Kita tidak akan istirahat. Kita tidak akan mundur. Kita tidak akan bergeming dari perlawanan hingga serangan terhadap peradaban ini telah dimusnahkan. Kita berdampingan dengan para pemimpin dan tokoh reformasi demokrasi di seluruh Timur Tengah. Kita dengan kuat menyokong seruan toleransi dan moderasi di Dunia Islam.” (Source: CQ Transcriptions © 2006, Congressional Quarterly Inc., 5 September 2006).
Realitas ini bukanlah perkara baru. Rasulullah saw. dan para Sahabatnya sejak awal dikepung dan diusir setelah berhasil menegakkan dawlah nubuwah wa rahmah. Mereka siap diserbu oleh kaum kafir Quraisy serta menghadapi tantangan dari dua negara besar kala itu:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul-nya), kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu, takutlah kepada mereka.” Namun, perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imran [3]: 173).
Jadi, secara i‘tiqadi dan historis ancaman tersebut merupakan sunnatullah. Namun, kemenangan Islam dan umatnya pun merupakan janji dari Allah Pencipta alam semesta.
Pada sisi lain, kedok negara-negara besar makin tersingkap. Mereka menyerukan hak asasi manusia, tetapi terus membunuhi manusia, termasuk wanita, anak-anak dan tua renta. Kasus Palestina, Afganistan dan Irak adalah bukti nyata. Dunia pun tahu, Dunia Ketiga yang notabene negeri-negeri Muslim dirampas kekayaannya oleh negara-negara besar. Standar ganda mereka sudah menjadi rahasia umum. Karenanya, ancaman itu sebenarnya lemah.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[MR Kurnia]