HTI

Fokus (Al Waie)

Gerakan Anti-Syariah di Indonesia

Konferensi Khilafah Internasional yang di selenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia pada tanggal 12 Agustus 2007 di Stadion Utama Gelora Bung Karno lalu masih menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang pro akan semakin teguh dan kokoh semangatnya untuk semakin memperjuangkan syariah Islam. Sebaliknya, kalangan yang dari awal sudah ‘alergi’ bahkan ‘sumir’ terhadap syariah dan Khilafah semakin ‘gerah’ atas keberhasilan acara yang me-refresh dan menyatukan opini umat untuk kembali pada syariah dan Khilafah demi meraih berkah hidup di dunia dan di akhirat.

Sikap dan dukungan bagi kelanjutan perjuangan syariah Islam yang terus membesar bak bola salju ini tentu harus terus diapresiasi dan dikelola dengan baik. Dengan itu, upaya-upaya untuk mengembalikan syariah Islam sebagai pijakan dalam menyelesaikan segala problem hidup dapat tertata dengan rapi.

Namun, adanya upaya untuk ‘menggembosi’ perjuangan penegakan syariah Islam juga perlu mendapat perhatian. Secara faktual, orang dan kelompok yang membuat makar ini tidaklah terlalu besar dan tidak mendapat dukungan dari umat. Namun, karena mendapat sokongan dan bantuan dana besar dari AS serta akses publikasi yang begitu besar dari media-media yang ada maka seolah-olah terlihat besar dan merupakan opini umum.

Jika kita membuka lagi beberapa pernyataan dan rekomendasi dari lembaga think-tank yang memberikan nasihat kepada pemerintahan AS, baik Nixon Centre, Zeno Baran, The Haritage Foundation maupun ICG maka akan kita temukan minimal 4 strategi yang mereka susun untuk membendung gerakan syariah di Indonesia. Pertama: propaganda opini dan pemikiran yang seolah-olah dari Islam namun sebenarnya tidak ada akarnya dalam Islam. Contoh: Hak Asasi Manusia (HAM), feminisme, pluralisme, dll. Targetnya bukan hanya untuk membuat rancu pemikiran Islam, namun demi ‘melenyapkan’ Islam itu sendiri.

Sebagai misal pernyataan dari tokoh Islam Liberal yang menyatakan:

Saatnya mengembangkan sebuah teologi tersendiri (yang sah secara substansi dan metodologi), yaitu Teologi Islam Liberal. Ini sebuah filsafat keagamaan yang bersandar pada teks dan tradisi Islam sendiri, yang memberi justifikasi pada sebuah kultur yang liberal. Dalam politik, teologi itu menjadi teologi negara sekular, yaitu sebuah filsafat keagamaan, yang menggali dari teks dan tradisi Islam, yang paralel ataupun menjustifikasi perlunya sebuah negara yang sekular (sekaligus demokratis). Ada empat prinsip dasar bagi landasan dari teologi negara sekular. Salah satunya adalah negara nasional yang merupakan evolusi tertinggi dari komunitas politik. Dengan lahirnya negara nasional, berbagai upaya untuk membangun Kekhalifahan global (semacam otoman empire ataupun federasi negara Islam yang memiliki satu imam) tidak penting dan tidak perlu. (www.islamlib.com).

Dalam statemen ini, sebenarnya para pengusung Islam Liberal ingin menegaskan bahwa mereka membuat ‘ajaran baru’ berupa reinterpretasi terhadap nash-nash (baik al-Quran maupun al-Hadis) sesuai dengan akal mereka, namun dipaksakan tetap bersandarkan pada metode dan substansi Islam agar seolah-olah masih ‘menemukan akarnya’ dalam khazanah pemikiran Islam. Padahal faktanya, ini adalah bentuk ‘pemerkosaan’ metode pengambilan nash. Walhasil, hasilnya pun sangat melenceng dari apa yang dipahami oleh Islam. Munculnya pemikiran negara sekular yang dipaksakan kepada seluruh kaum Muslim dan penafian Kekhilafahan global (sistem pemerintahan Islam global) jelas merupakan bentuk ‘pembunuhan’ terhadap pemikiran Islam itu sendiri.

Selain itu, para pengusung gerakan membendung syariah juga melakukan infiltrasi ke sekolah-sekolah Islam dengan cara menyusupkan pemikiran-pemikiran merusak dalam kurikulumnya. Sebagaimana rekomendasi The Nixon Centre, untuk membendung gerakan syariah perlu dilakukan pengajaran Islam yang mengizinkan pemikiran sekolah non-Islam untuk diperkenalkan kepada kaum Muslim Barat. Ahli ilmu agama dan imam harus dididik di sekolah Islam yang berbeda mengenai pemikiran Islamnya—seperti di Turki, Asia Tengah, Indonesia atau Malaysia—dengan menawarkan suatu penafsiran Islam yang jauh lebih bersikap toleran. Selain itu juga diupayakan menciptakan ‘ulama terdidik’, maksudnya adalah menciptakan ulama yang berasal dari Islam namun secara sejarah telah toleran. Hal ini hanya bisa diajarkan dengan meningkatkan ‘kualitas pembelajaran’ terhadap Islam di kalangan para ulama. Ulama harus tahu HAM, pluralisme, feminisme, dll. Ulama terdidik inilah yang selanjutnya akan menyuarakan pemikiran sesat tersebut. Dari sinilah kemudian kita mengerti mengapa banyak sekali bermunculan orang yang diklaim sebagai ‘intelektual Muslim’ di Indonesia namun dari latar belakang keilmuannya dari universitas-universitas Barat yang sangat kental nuansa sekularnya. Mereka diklaim sebagai pemegang arus utama pemikiran Islam.

Lebih parahnya lagi, upaya menyudutkan syariah Islam juga digawangi oleh pejabat. Kepala BRR NAD-NIAS, Kuntoro Mangkusubroto dengan tegas menyatakan bahwa agama (syariah Islam) menghambat pembangunan. Kontan saja pernyataan ini menimbulkan protes keras. (RoL, 25/9/07). Ini juga merupakan contoh stigma buruk terhadap syariah Islam.

Kedua: Memunculkan tokoh-tokoh antisyariah, baik dari kalangan sekular maupun Islam.  Dalam kasus ini, Amerika Serikat senantiasa mendorong penguasa untuk tidak saja menghancurkan Islam yang dianggap ‘radikal’, tetapi juga mempromosikan alternatif-alternatifnya. Artinya, tokoh-tokoh pro-syariah diberi stigma buruk, sedangkan yang menentang syariah justru dipuja-puji. Kita ingat bagaimana kasus yang menimpa AA Gym dengan poligami beliau. Beliau disudutkan di berbagai media. Tidak tanggung-tanggung, pemimpin negeri ini juga bereaksi ’cukup keras’ dan bahkan Pemerintah langsung berkeinginan mengubah UU tentang perkawinan, khususnya tentang poligami. Beliau dianggap tidak menghargai hak-hak perempuan, bahkan dicap menzalimi istri pertamanya. Padahal pada waktu yang sama terjadi selingkuh (baca: perzinaan) anggota dewan (DPR). Namun, sang pelaku tidak ’tersentuh apa-apa’. Aktivitas mereka dianggap ’biasa-biasa’ saja dan bisa ’dimaklumi’. Anehnya, Pemerintah pun tidak berkomentar sedikitpun tentang kejadian ini. Sungguh aneh, sesuatu yang boleh dipersoalkan, sedangkan yang jelas-jelas haram ’dibiarkan’ saja.

Upaya pencitraburukan tokoh yang pro-syariah terus-menerus dilakukan. Walaupun sudah terbukti secara hukum bahwa Ust. Abu Bakar Baasyir tidak terbukti melakukan dan menjadi otak terorisme di Indonesia, upaya-upaya untuk mengaitkan beliau dengan terorisme masih terus dilakukan. Bahkan pada sebuah seminar di Universitas Paramadina, Jakarta (RoL, 2/10/07), salah satu pembicara mengatakan, “Pemerintah kurang serius membasmi kelompok Islam radikal yang serukan kekerasan atas nama agama. Saya heran kenapa Abu Bakar Baasyir dibiarkan bebas berkeliaran.”

Ini adalah pernyataan yang sangat provokatif. Apalagi dalam waktu yang bersamaan Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer mengajukan protes kepada Pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan remisi kepada para narapidana kasus terorisme. Jelas, ini adalah sebuah upaya stigmatisasi terhadap orang yang pro syariah dan ’mengangkat’ tokoh yang menentang syariah.

Ketiga: Klasifikasi kelompok Islam dan adu domba. Klasifikasi ini bertujuan untuk semakin mempersempit dan mengkotak-kotak Islam dan umatnya sehingga dengan mudah diadu-domba. Contoh: istilah moderat-radikal, tradisional-modern, kultural-struktural, fundamentalis-abangan, dan masih banyak lagi label yang lain. Islam moderat akan dengan mudah berhadapan vis a vis dengan radikal. Mereka akan mudah disulut perselisihannya. Demikian juga antara tradisional dan modern, kultural dan struktural, serta yang lain.

Setiap ‘kelompok Islam’ yang berlabel tertentu akan mudah curiga dan saling mencela; akan mudah iri dan dengki; yang akhirnya muncul persepsi negatif antar kelompok. Akibatnya, tidak aneh jika ada sebagian orang Muslim yang begitu gampang mencap pihak lain sesat hanya karena beda pendapat dalam masalah furû‘ (cabang); ada yang memfitnah para pejuang syariah sebagai ancaman; ada yang mencurigai para pengusung wacana Khilafah sebagai pihak yang pantas diwaspadai; ada yang dengan mudah menuduh pihak yang berbeda mazhab atau organisasi dengannya sebagai pihak yang menyerobot masjidnya; ada pula yang dengan mudah mengeluarkan majalah-majalah yang menuduh kelompok Islam lain sesat dan menyebarkan perpecahan serta merongrong persatuan bangsa.

Secara tegas, Ust. Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI) menyatakan bahwa syariah Islam adalah solusi atas berbagai ancaman disintegrasi bangsa. Sebab, syariah Islam akan menggantikan sekularisme yang sudah membuat celaka negeri ini. Fakta sudah nyata. Ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme. Bentuk separatisme, seperti RMS dan Papua Merdeka, itulah yang mengancam, bukannya Khilafah. Khilafah malah akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran, tegas Ust Ismail Yusanto. Dengan demikian, jika umat Islam termakan hasutan, maka yang senang adalah musuh-musuh Islam. Ini tidak boleh terjadi.

Setiap Muslim dan setiap komponen umat Islam sudah sepantasnya melakukan ta’âruf (saling mengenal), ta’âluf (saling merekatkan), tafâhum (saling memahami), tafâqud (saling respek/peduli) dan ta’âwun (saling menolong). Semua itu akan menjadi kunci pembuka hati persaudaraan, menambah kedekatan, menciptakan kesepahaman dan sikap toleran sekaligus menghilangkan sikap iri dan dengki.

Keempat: Negara, melalui beberapa peraturan dan UU yang dikeluarkan, yang sangat kontraproduktif dengan Islam, seperti UU Teroris, UU KDRT, RUU Pornografi, RUU Politik, dll.

Contoh lain dalam kasus dukungan partai-partai besar untuk kembali pada asas tunggal Pancasila, sebenarnya motivasinya adalah menghadang laju Islam politik. Apalagi alasan utama kembali ke asas tunggal adalah untuk menepis arus separatisme. Menurut Ust. Ismail Yusanto, alasan ini mudah sekali dibantah karena  gerakan separatisme justru terjadi di daerah yang dipimpin oleh gubernur dari partai nasionalis (Golkar dan PDIP) dan parlemennya juga dikuasai oleh mereka.

Kemudian dikatakan bahwa asas tunggal diperlukan untuk mengerem kecenderungan lahirnya perda-perda bernuansa syariah. Lagi-lagi alasan ini juga mudah sekali dipatahkan karena faktanya daerah-daerah yang melahirkan peraturan-peraturan daerah yang dikatakan bernuansa syariah itu (perda zakat, perda pandai membaca al-Quran, perda busana Muslim, perda larangan miras dan perda anti maksiyat) adalah daerah—seperti Kabupaten Bulukumba dan Propinsi Sumatera Barat—yang juga bupati dan gubernurnya berasal dari partai nasionalis dan parlemennya juga dikuasai oleh mereka, imbuh Ust. Ismail.

Menurut analisis Ust. Ismail, adanya gerakan kembali pada asas tunggal ini sebenarnya ada kekhawatiran terhadap kecenderungan menguatnya kekuatan politik Islam. Hal ini ditandai dengan meningkatnya secara signifikan perolehan suara parpol Islam dan menangnya calon kepala daerah yang diusung oleh parpol Islam, bahkan di daerah yang notebene dikuasai oleh partai nasionalis sekalipun. Untuk membendung kecenderungan itu, maka kekuatan politik Islam itu harus digembosi. Cara yang paling mudah adalah dengan mencabut titik yang menjadi daya tarik mereka, yakni identitas keislamannya.

Demikianlah, upaya-upaya sistematis yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dalam upayanya membendung gerakan syariah dan Khilafah di Indonesia. Semoga kita senantiasa waspada dan berhasil membongkar makar-makar mereka.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawab. [Gus Uwik]

5 comments

  1. iman ti bandung

    Semoga kita senantiasa dimudahkan Alla SWT untuk waspada dan berhasil membongkar makar-makar mereka.

  2. Selalu memanjatkan do’a-memohon pertolongan-Nya dan selalu berikhtiar demi tegaknya khilafah

  3. Demikianlah usaha makar keji yang mereka lontarkan, namun kita yakin bahwa makar Allah jelas lebih hebat, sebab Ia adalah sebaik-baik pembuat makar…

  4. Kelemahan umat islam adalah tidak mau menerima perbedaan. Jangankan terhadap umat lain terhadap umat sendiri juga saling mencurigai dan akhirnya saling bermusuhan. seperti suni dan shiah contohnya.

  5. yang terpenting bersatu dalam satu visi dalam menegakkan syariat islam di indonesia.jangan saling menjegal terutama perpecahan.walaupun beda wadah dalam ormas-ormas islam…insyaallah kami rakyat muslim akan mensupport perjuangan anda para pejuang islam….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*