Berita-berita yang mendominasi pers dalam beberapa minggu terakhir ini adalah berkaitan dengan fluktuasi yang terjadi pada pasar uang. Jutaan dolar hilang akibat penurunan nilai saham. Telah terjadi kerugian pada dana lindung nilai (hedge fund) secara besar-besaran, munculnya ancaman dan kegagalan bank, krisis kredit, dan intervensi dari Bank Sentral pada pasar untuk membantu likuiditas dan membangun kembali tingkat kepercayaan terhadap pasar modal. Apakah sistim ekonomi ini sedang dalam keadaan terpuruk? Jika ya, mengapa demikian?
Problem yang terjadi saat ini bermula dari problem yang terjadi pada sektor perumahan di Amerika, khususnya setelah terjadinya penggelembungan harga perumahan yang sebelumnya terjadi di
Namun, bagaimana jika seandainya seluruh kelas investasi—dalam kasus ini hipotik (utang hipotik) yang berisiko tinggi bagi masyarakat paling miskin—memburuk? Konsekuensinya adalah telah terjadi pemerataan menuju terhentinya pasar hipotik secara keseluruhan di dunia kredit dengan “pendapatan tetap”. Pasar itu sekarang tersedot ke dalam nilai perumahan di Amerika yang terus menurun, dengan memperhatikan tingkat kerugian dan kegagalan dalam membayar pinjaman-pinjaman itu, dan akhirnya banyak bank yang sangat kesulitan dalam pasar seperti ini. Pada saat ini pihak peminjam menjadi sangat berhati-hati dan pihak investor menarik dananya dengan cepat, agar mereka bisa mendapat nilai dari dana/investasi yang sekarang ini mereka tinggalkan.
Mengingat seriusnya krisis ini, bank-bank sentral di Eropa,
Kondisi yang telah memperburuk krisis ini adalah efek dari apa yang dinamakan ‘leveraging’ (investasi dengan uang pinjaman). Tidak puas dengan investasi pada aset-aset berisiko tinggi, bank-bank dan hedge fund menggunakan secara penuh peminjaman atau ‘leveraging’ untuk mendapat pendapatan berlipat. Jika sebuah aset bisa menghasilkan keuntungan bersih katakanlah 7% maka dengan hal ini dapat berlipat hingga 21% melalui peminjaman dana tambahan untuk diinvestasikan. Namun, tentu saja kerugiannya akan berlipat juga jika ternyata pasar berjalan pada arah yang berlainan. Obligasi-obligasi yang memperoleh peringkat kualitas tinggi, double atau triple A, dengan nilai nominal 99% dari nilai nominal sebulan yang lalu, sekarang diperdagangkan dengan nilai 90%. Jika pihak investor di-‘leverage’ 3 kali, mereka akan menderita kerugian mendekati 30%. Sedikit saja dari pihak investor dan spekulator yang mampu mendapatkan jalan keluar dari masalah ini.
Yang membuat masalah bertambah ruwet adalah sifat alami dari penyatuan investasi ini yang biasanya diperdagangkan secara rahasia (“over the counter” OTC), yang berarti bahwa pasar tidak benar-benar mengetahui siapa yang berisiko jatuh. Bear Stearns, Bank Paribas dan sekarang bank-bank Jerman dengan profil tinggi pun pada saat ini berada di tepi jurang keterpurukan dan akan memerlukan dukungan yang besar agar bisa survive.
Walaupun dilakukan beberapa kali reformasi pasar dan pembuatan peraturan dalam beberapa tahun sebelumnya untuk mengekang akibat yang terburuk dari hal ini, tampaknya pemerintah-pemerintah bersama bank-bank sentralnya masih memerlukan intervensi secara berkala untuk memperbaiki ketertiban pada pasar uang. Apakah tangan yang tak terlihat (invisible hand) dari pasar itu telah digantikan dengan tangan dari bank-bank sentral? Apalagi dengan munculnya berbagai produk perbankan yang dilakukan terhadap uang yang dimaksudkan untuk mengokohkan sistem perbankan telah mengakibatkan terjadinya inflasi pada semua sektor kehidupan di masyarakat. Akibatnya, sistem perbankan yang seharusnya mampu mengatur dirinya sendiri untuk terciptanya kebebasan aliran modal dan penggunaannya tidak berjalan sehingga memerlukan intervensi besar dari negara, walaupun krisis yang sebenarnya dari masalah keuangan ini belum muncul ke permukaan.
Banyak orang tidak memahami fungsi pasar modal, istilah yang dipakai, dan maksud keberadaannya. Untuk memahaminya disini ada dua kelompok transaksi. Kelompok pertama orang memperdagangkan barang dan jasa yang sebenarnya. Mereka bisa membeli atau membuat barang dan menjualnya, atau memberikan jasa yang berkaitan dengan lingkup kerja dan keahliannya. Hal ini mewakili jenis transaksi bisnis seperti yang telah dikenal berabad-abad. Kelompok kedua adalah perkembangan baru dalam suatu transaksi, yaitu transaksi bisnis yang tidak secara langsung membuat barang dan jasa tetapi hanya menyediakan sebuah jasa yang baru.
Pasar modal pinjaman, pasar valas, pasar derivatif, pasar saham, dan banyak jenis investasi bank berupa pertukaran yang terjadi saat ini berada dalam kelompok kedua yang sifatnya spekulatif dan lebih banyak dibandingkan dengan bisnis real (barang dan jasa selain finansial). Hal ini jelas terlihat pada beban transaksi yang terjadi pada dunia spekulatif itu. Volume pasar valas, bursa sekuritas, derivatif dan transaksi-transaksi yang sejenis memerlukan modal dan valuta asing yang lebih banyak bahkan berlipat-lipat daripada modal dan valuta asing yang ditanamkan pada bisnis yang sebenarnya. Ditambah lagi dengan mudahnya mendapatkan kredit dalam proses akuisisi, yaitu membeli perusahaan lain dengan dana pinjaman. Pasar derivatif ini digambarkan seperti seekor lalat yang terbang seharga 40 ponsterling yang ada di belakang seekor anjing yang berharga 5 ponsterling!
Penggunaan transaksi derivatif dan uang pinjaman bank itu juga berarti bahwa untung-rugi yang besar dapat terjadi hanya dengan perubahan kecil saja dalam harga pasar. Seseorang akan menganggap bahwa hal ini bukan masalah dalam dunia nyata, karena selalu akan ada pemenang dan pecundang dalam transaksi apapun, dan ketika ada pihak-pihak yang mau mengambil risiko, mengapa tidak dibiarkan saja untuk mengambilnya? Akan tetapi, jika risiko yang diambil begitu besar dan kelompok lain tidak memahaminya, maka risiko keruntuhan atas keseluruhan sistem akan terjadi melalui efek domino yang dihasilkan. Keruntuhan semacam itu dapat melibatkan keseluruhan sistem perbankan.
Inilah yang terjadi pada tahun 1998 ketika bank-bank sentral masuk secara agresif untuk membantu manajemen modal jangka panjang (Long Term Capital Management) yang telah lumpuh, berupa dana lindung nilai (hedge fund) atas utang yang dimiliki sebesar $125 juta terhadap modal sendiri yang kurang dari $5 juta. Apalagi pada saat ia runtuh posisi derivatif neracanya berada pada $1.25 triliun! Dengan pertimbangan agar sistem perbankan tetap berjalan, Federal Reserve di Amerika melakukan penyelamatan sebesar $3.6 miliar dolar agar pasar uang tidak hancur. Kehebohan yang terjadi ditutup-tutupi dengan janji akan adanya peraturan yang lebih baik untuk memastikan kejadian ini tidak akan terulang lagi. Namun, yang dirasakan sebagai kehancuran besar oleh banyak orang adalah tidak terhindarkannya besarnnya gelembung pasar yang telah tumbuh ini sehingga tingkat risikonya semakin tinggi dan kurangnya transparansi dari para pelaku pasar dan transaksi yang dilakukan. Begitu juga respon pemerintah pada para pemain di pasar ini—dengan menyalurkan lebih banyak uang ke dalam sistem ini sehingga mendorong terjadinya pinjaman secara besar-besaran pada tingkat teratas sebagaimana yang terjadi sekarang ini— semakin menyusahkan, karena mengakibatkan ketidakadilan dengan menurunnya nilai uang karena inflasi.
Sangat disayangkan, banyak kaum Muslim saat ini yang tidak dapat melihat bahaya dari pasar-pasar semacam ini, bahkan mereka ikut serta di dalamnya tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi dan apakah investasi semacam ini dibolehkan dalam Islam atau tidak. Larangan atas investasi yang berdasarkan bunga telah diketahui oleh kaum Muslim di seluruh dunia. Namun, penjelasan didapatkan hingga sekitar tahun 1950-an atau awal 1960-an ketika Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang cendekiawan Azhari dan pendiri Hizbut Tahrir, memberikan penjelasan yang gamblang atas hukum tentang pasar modal, termasuk saham modern dan pasar yang terkait melalui sebuah proses ijtihad. An-Nabhani mengutip hukum dari struktur perusahaan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. sebagai syarat berdirinya perusahaan, pengaturan dan pemilikannya. Struktur itu bukanlah barang baru bagi mahasiswa Syariah—Mudhârabah, Mufawadhah, ‘Abdan, ‘Inan, dan Wujûh. Semuanya termasuk persyaratan bagi investor untuk ikut serta secara langsung dalam risiko bisnis sesungguhnya yang termasuk di dalamnya ikut berpartisipasi dalam bisnis itu, baik bekerja secara langsung atau berupa partisipasi modal. Hal ini menghindari spekulasi atas kinerja perusahaan dan pembelian sebuah perusahaan atas dasar uang pinjaman (pembelian perusahaan dengan utang).
Pendekatan islami memastikan bahwa para pelaku bisnis memiliki keterkaitan langsung dengan bisnis yang nyata itu, yang memastikan pelaporan secara penuh dengan dasar profit and loss sharing (pembagian keuntungan dan kerugian) sehingga dia akan mendapat reward jika untung dan sebaliknya menanggung risiko ketika terjadi kegagalan. Tanpa pembelian dengan modal pinjaman dan spekulasi derivatif pada pasar modal atau mata uang, maka fokus akan tertuju pada bisnis yang sebenarnya dan bukan merupakan spekulasi atas transaksi-transaksi bisnis. Hal ini memberikan pendekatan yang lebih stabil bagi bisnis dan pasar modal.
Kemudian, bahwa Islam melarang ribawi berarti bahwa orang mencari kembalinya investasi, bukan lewat suku bunga yang diatur oleh bank, tetapi lewat partisipasi langsung pada bisnis itu dengan keikut sertaan pada resiko dan keuntungan yang ada pada bisnis itu.
Problem-problem mendasar yang dihadapi oleh kaum Muslim dan kebanyakan orang di dunia ini adalah bahwa sistim kapitalis tidak hanya berjudi dengan miliaran dan trilunan dolar saja, melainkan juga berjudi dengan kehidupan, investasi dan harapan orang. Kaum Muslim, berupaya membangun sistim ekonomi Islam di Dunia Islam sebagai bagian dari penegakkan kembali Islam dan cara hidup yang menyeluruh yang merupakan implementasi hukum-hukum Allah. Dengan penerapan hukum ini, maka kita tidak lagi akan melihat pasar yang rapuh, seperti ketidakstabilan keuangan dan akibat-akibat yang dihasilkannya, yaitu kesengsaraan yang diderita oleh umat manusia tidak bisa dihindarkan lagi. [Jamal Harwood; Aktivis Hizbut Tahrir Inggris; sumber: www.hizb.org.uk; diterjemahkan oleh Riza Aulia]