إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ. وَمَنْ يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya tunduk (kepada Allah). Siapa saja yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS al-Maidah [5]: 55-56).
Sabab an-Nuzûl
Ketika Nabi saw berhijrah ke Madinah, Beliau didatangi oleh Bani Asad bin Khuzaimah. Mereka berjumlah tujuh ratus orang, laki-laki dan perempuan. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah diasingkan dan diputus dari kabilah dan keluarga kami. Lalu siapakah yang menolong kami?” Kemudian turunlah ayat ini.1
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Innamâ waliyyukum Allâh wa Rasûluh wa al-ladzîna âmanû (Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman). Secara bahasa, kata al-waliyy bermakna an-nâshir wa al-mu’în (penolong dan pembantu).2 Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, kata al-waliyy dalam ayat ini berarti an-nâshir (penolong), al-mutawallî al-amr (yang mengurusi perkara), atau al-muhibb (yang mencintai).3
Dinyatakan oleh ayat ini bahwa waliyy bagi kaum Mukmin adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin. Allah Swt. sebagai wali bagi kaum Mukmin adalah al-ashl (asal, pangkal), sementara yang lainnya bersifat ikutan (al-taba’).4 Karena itu, meskipun dalam ayat ini ada tiga wali yang disebutkan, semuanya diungkapkan dalam bentuk tunggal (waliyyukum) dan tidak diungkapkan dalam bentuk jamak (awliyâukum).5 Ini menunjukkan, sekalipun wali yang disebutkan ada tiga, sesungguhnya semuanya berpangkal pada satu, yakni Allah. Tak aneh jika dalam ayat lainnya kadang hanya disebutkan al-ashl saja, seperti firman Allah Swt.:
اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (keimanan) (QS al-Baqarah [2]: 257).
Hal yang sama juga disampaikan dalam QS Ali Imran [3]: 68. Abdurrahman as-Sa’di menuturkan, berwali kepada Allah dilakukan dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya. Siapapun yang Mukmin dan bertakwa, sesungguhnya dia telah berwali kepada Allah. Siapa yang berwali kepada Allah, berarti dia telah berwali kepada Rasul-Nya. Siapapun yang berwali kepada Allah dan Rasul-Nya, dia juga berwali kepada orang-orang yang berwali kepada-Nya, yakni kaum Mukmin yang melaksanakan keimanannya secara lahir-batin, yang ikhlas terhadap Tuhannya dengan mendirikan shalat beserta segala syarat, fardhu, dan penyempurnanya; memperbaiki akhlak; dan membayar zakat dari harta mereka untuk orang-orang yang berhak atasnya.6
Kendati ada riwayat yang mengisahkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali ra. ayat ini berlaku umum untuk seluruh kaum Mukmin.7 Kata al-ladzîna âmanû dalam ayat ini jelas menunjukkan makna umum. Artinya, setiap Mukmin menjadi wali bagi Mukmin lainnya, sebagaimana firman-Nya:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Orang-orang Mukmin, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. (QS at-Taubah [9]: 71).
Kemudian Allah Swt. berfirman: al-ladzîna yuqîmûna al-shalâh wa yu’tûna al-zakâh wahum râk’iûn (yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya tunduk [kepada Allah]). Menurut ar-Razi dan al-Khazin, kalimat ini berkedudukan sebagai sifat bagi setiap Mukmin. Sifat ini disebutkan untuk membedakan kaum Mukmin dengan kaum munafik yang mengaku beriman tetapi tidak konsisten dalam shalat dan zakat. Gambaran ini diungkap pula dalam QS an-Nisa’ [4]: 142).8
Kalimat di atas bisa pula berposisi sebagai badal (pengganti) atau al-madh (pujian).9
Adapun kalimat wahum râki‘ûn adalah al-hâl (menerangkan keadaan) dari dua perbuatan yang disebutkan sebelumnya, yakni shalat dan zakat. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ar-rukû‘ adalah al-khusyû’ wa al-khudhû’ (tunduk).10 Artinya, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat disertai dengan sikap tunduk dan tidak takabur.11 Lebih dari itu, mereka tunduk pada perintah-perintah Allah tanpa merasa jemu, bosan, dan riya.12
Pendapat berbeda dikemukakan Ibnu ‘Athiyah al-Andalusi. Mufassir itu menyatakan, kalimat tersebut merupakan ma’thûf terhadap kalimat sebelumnya. Itu untuk menggambarkan karakter mereka yang banyak mengerjakan shalat. Disebutkan rukuknya saja karena rukuk adalah rukun terbesar dalam dalam shalat. Hal ini seperti ungkapan dalam firman Allah Swt dalam QS al-Baqarah [2]: 125, Menurutnya, penafsiran ini adalah pendapat jumhur mufassirin.13
Menurut as-Sa’di, kata innamâ dalam ayat ini memberikan makna hasyr (pembatasan).14 Itu berarti, kaum Muslim hanya boleh menjadikan Allah Swt., Rasul, dan kaum Mukmin sebagai wali. Secara bahasa, kata innamâ memang bisa menunjukkan pengertian hasyr. Ini karena adanya beberapa qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata tersebut memberikan makna hasyr. Di antaranya adalah adanya larangan atas kaum Muslim untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai wali. (QS al-Maidah [5]: 51). Larangan dalam ayat ini bersifat jâzim (tegas dan pasti). Sebagai indikasinya, orang yang mengangkat mereka sebagai wali dinyatakan sebagai bagian golongan mereka. Larangan yang sama juga ditegaskan dalam QS al-Mujadilah [58]: 22; Ali Imran [3]: 28-29,118; al-Nisa [4]: 23, 144; al-Mumtahanah [60]: 1; dan al-Maidah [5]: 51-52. Di samping itu, Allah juga mengecam sikap orang-orang munafik yang bersegera menjadikan kaum kafir sebagai wali mereka (lihat QS al-Maidah [5]: 52) dan mengancam mereka dengan azab yang pedih (lihat QS al-Nisa [4]: 138-139).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wa man yatawalla Allâh wa Rasûlah wa al-ladzîna âmanû (Siapa saja yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya). Kata man dalam ayat ini adalah syartiyyah sehingga bersifat umum. Menurut al-Wahidi an-Naisaburi dan al-Khazin, frasa ini berarti: Siapa saja yang melaksanakan ketaatan kepada Allah serta memberikan pertolongan kepada Rasulullah saw. dan sesama kaum Mukmin.15 Hal senada juga diungkapkan al-Qurthubi.16
Allah Swt. berfirman: Fa inna hizb Allâh hum al-ghâlibûn (Sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang). Frasa yang bersifat lahiriah ini menempati kedudukan dhamir, yakni: fainnahum hum al-ghâlibûn (sesungguhnya merekalah orang-orang yang menang).17 Dengan ungkapan, jatidiri hizb Allâh dapat terdeskripsikan. Mereka adalah orang-orang menyerahkan al-walâ’ (loyalitasnya) kepada Allah Swt, Rasulullah saw, dan kaum Mukmin.
Menurut asy-Syaukani, al-hizb adalah al-shinf min al-nâs (kelompok atau golongan di antara manusia).18 Abu Hayyan al-Andalusi, az-Zamakhsyari, dan an-Nasafi menyatakan, pada asalnya kata al-hizb berarti kaum yang berkumpul untuk suatu urusan yang menyebabkan mereka berkumpul.19 Tak jauh berbeda, al-Ajili menjelaskan bahwa al-hizb adalah jamaah yang di dalamnya terdapat ghilzhah wa syiddah. Dengan demikian, hizb merupakan jamâ‘ah khâshshah (jamaah khusus).20 Kaum Mukmin adalah hizb Allâh, sedangkan kaum kafir adalah hizb asy-syaythân.21
Dalam ayat ini ditegaskan, mereka adalah kelompok yang ghâlib (menang). Wajar saja, sebab mereka adalah tentara dan penolong Allah Swt.22
Mendapat Kemenangan
Terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat ini. Di antaranya: Pertama, sikap yang wajib dilakukan kaum Mukmin dalam perkara al-walâ’ (loyalitas). Mereka hanya boleh menyerahkan walâ’-nya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, juga kepada orang-orang yang diridhai-Nya, yakni sesama orang-orang Mukmin. Sebaliknya, mereka haram menjadikan orang-orang kafir sebagai wali bagi mereka. Jika ketentuan itu mereka lakukan maka Allah, Rasulullah saw, dan kaum Mukmin menjadi pelindung dan penolong mereka.
Kedua, orang atau kelompok yang terkategori sebagai hizb Allâh. Sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir, hizb Allâh adalah kelompok khusus yang memiliki sikap tegas dan kukuh dalam mengimani kebenaran dîn-Nya; mencintai Allah dan Rasul-Nya; berusaha keras menjalankan syariah-Nya; teguh dan konsisten memperjuangkan tegaknya Islam; dan berlepas diri dari segala kekufuran; juga tidak menjadikan pelaku kekufuran sebagai penolong dan pelindungnya (lihat juga QS al-Mujadilah [58]: 22). Itulah kelompok yang dikategorikan sebagai hizb Allâh.
Ketiga, janji Allah terhadap hizb Allâh. Ayat ini memberikan janji kepada hizb Allâh untuk memperoleh kemenangan. Wajar saja, sebab mereka mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Penguasa alam semesta, Dzû quwwah al-Matîn (yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh): Allah. Janji kemenangan bagi mereka itu sangat banyak diberitakan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Di antaranya firman Allah berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian. (QS Muhammad [47]: 7).
Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ
Akan selalu ada kelompok di antara umatku yang memperjuangkan (kebenaran) hingga datang keputusan Allah sedangkan mereka dalam keadaan menang. (HR al-Bukhari).
Bagi setiap Muslim, janji ini harus menjadi pengokoh keimanan mereka. Demikian juga kelompok-kelompok Islam yang berjuang menegakkan syariah-Nya. Selama konsisten di jalan-Nya, mereka tak boleh merasa ragu dan takut, karena mereka adalah kelompok yang pasti mendapatkan kemenangan. Suatu ketika jumlah mereka mungkin hanya sedikit. Keadaan mereka pun terlihat lemah. Akan tetapi, mereka pasti akan tampil menjadi pemenang.
Orang-orang kafir memang akan terus memerangi kaum Muslim hingga keluar dari agamanya (lihat QS al-Baqarah [2]: 217). Mereka berusaha memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka (lihat QS al-Shaff [61]: 8). Mereka juga senantiasa membuat berbagai makar dan rencana jahat untuk mencelakakan kaum Muslim. Namun, Allah tidak rela hamba-Nya yang mukhlis dikalahkan oleh musuh-musuh-Nya, agama-Nya yang haq dipadamkan oleh kaum durjana. Allah akan menggagalkan tipudaya mereka, bahkan membalas makar yang mereka buat. Rencana Allah inilah yang pasti berlaku. Sebab, Dia adalah Khayr al-Mâkirîn, sebaik-baik pembalas tipudaya (lihat QS Ali Imran [3]: 54). Dia juga pasti memenangkan agama-Nya beserta pemeluknya atas seluruh agama batil beserta pemeluknya [lihat QS al-Shaff [61]: 8-9). Karena itu, hizb-Nya juga yang memperoleh kemenangan. Tidakkah Anda tertarik untuk turut menjadi bagiannya?
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, MEI]
Catatan kaki:
1 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 445.
2 Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân Tafsîr آyât al-Ahkâm, vol. 1 (
3 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 524.
4 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol 1 (
5 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 635; (Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2 (
6 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993), 538.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 143; al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 12 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 22; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 56; Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâ’ib al-Qur’ân,vol. 2 (Beirut: Darl al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 205.
8 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 12, 23, Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 524. Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 2, 56.
9 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 64.
10 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 64; al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2, 256; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 174.
11 Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 3 (
12 Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 234. Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wâdhih, vol. 1 (Zaqaziq: Dar al-Tafsir, 1992), 529, juga menafsirkannya al-khusyû’ wa al-khudhû’ (tunduk), tanpa nifaq dan riya’.
13 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 208.
14 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 1, 538. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 208.
15 Al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 202.
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3, 144.
17 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1, 636; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol 1, 328.
18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 64
19 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 525; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 1, 636; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol 1, 328.
20 Al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2 (
21 Al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth, vol. 2, 202; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 2, 56.
22 Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr , vol. 12, 28.