Perdebatan tentang kursi kepresidenan di Turki dan peran Islam di masyarakat negara tersebut masih mendominasi isu politik di
Perdebatan mengenai kursi kepresidenan ini tidak boleh menutupi inti perdebatan yang lebih penting, yaitu apakah sistem sekular model Turki masih cocok untuk dipertahankan pada zaman modern ini. Memilih anggota partai AKP sebagai calon presiden tidak akan mengubah fakta bahwa sistem sekular Turki yang dibentuk pada abad 19 masih tetap berkuasa. Tampuk kepresidenan Turki adalah puncak sistem sekular Turki yang militan, sebagai karya Mustafa Kemal pada akhir Perang Dunia I. Sejak penghapusan sistem Kekhilafahan Turki Uthmani (Ottoman Caliphate) dengan sistem sekular, Turki selalu was-was terhadap setiap tanda-tanda terhadap naiknya pamor Islam. Itu sebabnya, partai AKP sampai harus melakukan akrobat yang luar biasa untuk membuktikan kesetiaannya terhadap sekularisme dan loyalitasnya kepada Republik buatan Kemal ini.
Krisis politik di Turki adalah salah satu indikator dari dinamika situasi global saat ini saat umat Islam semakin mendukung usaha implementasi syariah, menyatukan wilayah negeri-negeri Muslim di bawah naungan Khilafah, dan menyuarakan penolakan terhadap resep-resep yang diberikan oleh dunia Barat. Hanya kurang dari 1 dari 10 responden (9%) saja yang memberikan pandangan positif terhadap Amerika Serikat, menurut Pew Survey baru-baru ini. Namun, bukti-bukti mencengangkan dari hasil survey tersebut tidak menggoyahkan kaum elit Turki yang tetap bersikukuh dan setia pada sistem sekular yang dipercaya akan melindungi Turki dari seluruh tantangan jangka panjang.
Pendukung sistem sekular Turki menyatakan bahwa kemajuan dan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,5% selama
Di samping itu, keuntungan ekonomi tidak boleh dilihat di luar konteks sosial dan ekonomi. Memang, negara-negara Barat yang menerapkan sistem sekular-liberal telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Namun, sistem tersebut juga menimbulkan dampak-dampak yang tidak bisa dihindari. Contohnya, rusaknya sistem keluarga, berkurangnya tingkat kelahiran, dan tingginya jumlah suami yang meninggalkan tanggung jawab terhadap keluarganya. Suami-suami semacam ini tentu telah merusak tatanan keluarga sebagai inti kekuatan suatu masyarakat. Contoh lain adalah tingginya jurang antara si kaya dan si miskin serta rusaknya lingkungan alam akibat budaya konsumtif yang rakus. Ini belum menyebut carut-marutnya sistem pendidikan dan terabaikannya penegakan hukum di kawasan kumuh kota-kota besar. Mobilitas sosial (sebagai indeks naiknya kesejahteraan dan status) begitu rendah di Eropa, saat beban pajak secara tidak proporsional terlalu banyak di tanggung oleh kelas menengah ke bawah yang merupakan kelas pekerja. Ini karena kelas elit kaya dan pemilik perusahaan multinasional mengalokasikan pekerjaan dan keuntungan bisnis di luar negeri sehingga mengurangi bagian pajak mereka. Akhirnya, kebanyakan orang-orang biasa yang telah bekerja susah-payahlah yang harus menanggung beban negara. Anehnya, ketika kaum penggiat ide sekular-liberal masih harus bergelut mencari solusi atas kemelut ini, elit Turki malah memuja dan mempertahankan sistem kapitalis-sekular ini, padahal di negeri Barat sendiri sistem ini bermasalah.
AKP yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis liberal yang didukung oleh IMF juga sedang berusaha menjadi anggota klub sekular internasional. Klub ini tidak hanya menyumbangkan kebutuhan logistik dan dukungan politik terhadap NATO yang saat ini sedang menduduki Afganistan, terlibat pemeliharaan situasi keamanan di
Sebenarnya, Turki pernah menjadi ibukota suatu negara adidaya dan pernah mengenyam status sebagai pusat peradaban, tentu saja dengan Islam yang bersemayam di jantungnya. Zaman keemasan Islam lahir di bawah naungan Khilafah Islamiyah, suatu bentuk insititusi politik Islam yang tidak memisahkan agama dari dunia, dan kemajuannya di bidang teknologi pun sangat masyhur. Karena itu, menilik suasana politik saat ini, tampak jelas bahwa Turki tidak bisa berharap dari Eropa maupun Amerika Serikat sebagai sekutu jangka panjang.
Sebenarnya sudah cukup jelas bagi kaum elit Turki, bahwa masa depan strategis Turki terletak di Timur, sebagai bagian dari dibangunnya kembali Khilafah Islam yang berdasarkan kesamaan iman, nilai-nilai, dan dengan menaikkan fungsi strategis sumberdaya alam dan aset Dunia Islam secara keseluruhan. Berjuang sendirian di benua Eropa dan terlalu berharap dari negeri-negeri Barat dengan berusaha menerapkan sistem sekular bukanlah opsi yang tepat. Memenangkan kursi kepresidenan dengan mempertahankan sistem sekular, baik di dalam maupun luar negeri, tidak akan menghasilkan jawaban terhadap tantangan-tantangan masa depan yang kelak akan Turki hadapi. [Sajjad Khan].