HTI

Hiwar (Al Waie)

Usulan Asas Tunggal: Memberangus Islam Politik

mrk-kecil.jpgSejak menjelang Ramadhan dan awal Ramadhan lalu berkembang ide pemberlakukan asas tunggal. Ide itu muncul di tengah pembahasan di DPR tentang Undang-Undang Politik. Inti ide itu adalah bahwa semua parpol harus berasaskan Pancasila dan tidak boleh berasaskan selain Pancasila. Semasa Orde Baru kewajiban berasas tunggal itu sudah diterapkan, namun seiring datangnya reformasi kebijakan itu dinilai tidak sesuai dan memberangus aspirasi dan menyalahi hak asasi manusia. Karena itu, sebagai buah dari reformasi, kebijakan itu pun dihapus. Anehnya, ide penyeragaman asas partai kembali didengungkan di DPR. Apa yang melatarbelakangi munculnya ide tersebut? Mengapa kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan nafas reformasi itu akan dihidupkan lagi? Apakah ada kaitannya dengan semakin meningkatnya arus penegakan syariah di negeri ini? Untuk menganalisis seputar masalah itu, Redaksi mewawancarai MR Kurnia, Ketua Lajnah Siyasiyah sekaligus DPP HTI. Berikut petikannya.

Sejak awal September lalu, kembali muncul ide penyeragaman asas partai, yang juga pernah diberlakukan pada masa Orde Baru.. Menurut analisis Ustadz, apa latar belakang digagasnya kembali ide itu?

Dilihat dari pengusungnya, RUU partai politik yang hendak mengembalikan asas tunggal tersebut adalah partai sekular. Sebagaimana yang diberitakan oleh Republika (14/9/07), tiga fraksi di parlemen yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, dan Partai Demokrat berjanji akan terus berjibaku memperjuangkan aturan bahwa partai politik (parpol) harus berasaskan Pancasila. Pada sisi lain, ketiga partai tersebut adalah partai yang pernah dan sedang berkuasa. Partai Golkar berkuasa semasa Orde Baru, sampai sekarang. PDIP pernah berkuasa pada era Megawati menjadi presiden, sekalipun sekarang menempatkan diri sebagai ‘oposisi’. Partai Demokrat adalah partainya presiden saat ini. Jadi, melihat komposisi pengusung utamanya dapat dikatakan bahwa arah pengembalian asas tunggal ini tidak lebih dari upaya mempertahankan kekuasaan dengan sistem yang selama ini berjalan.

Hal ini menjadi lebih jelas jika kita menengok alasan hakiki mereka. Anggota Fraksi PDIP, Ganjar Pranowo (13/9/07) menyatakan kalau parpol menggunakan asas Islam, maka ketika menjadi kepala daerah sering lahir peraturan daerah yang bernuansa syariah. Bahkan, dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan pada 24 September 2007 di Jakarta yang menghadirkan Idrus Marham (Golkar), Idham Samawi (PDIP), Lukman Hakiem (PPP) terungkap bahwa munculnya gagasan asas tunggal itu karena khawatir terhadap syariah Islam yang diindikasikan dengan bermunculannya Perda yang mereka pandang berisi syariah Islam. Lihat juga, menjelang bergulirnya isu itu Partai Bulan Bintang (PBB) mengadakan acara pertemuan Ulama Nusantara yang menghasilkan dukungan terhadap syariah Islam. Jadi, sekalipun Idrus Marham menyebutnya asas bersama (Asma, meminjam istilah Lukman Hakiem), tetap saja itu adalah asas tunggal yang tujuannya untuk memberangus gerakan syariah Islam.

Di antara alasan yang terungkap dari ide itu adalah untuk mencegah separatisme dan dikaitkan dengan munculnya perda-perda yang bernuansa syariah. Bagaimana alasan tersebut menurut Ustadz?

Ya, itulah alasan utamanya. Namun, dalih ini terlalu mengada-ada. Saya katakan tadi bahwa isu asas tunggal ini untuk mengebiri perjuangan Islam. Siapa yang melakukan separatisme? Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukanlah Islam, bahkan didukung oleh sebagian kongres AS dan Australia. Di Maluku, gerakan separatisme dimotori oleh gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang jelas-jelas bukan Islam. Kini, pemimpinnya Alex Manuputti bebas berkeliaran di AS. Jadi, alasan separatisme ini hanyalah dalih belaka.

Kalau mereka konsisten dengan demokrasi, mestinya jangan gerah dengan Perda-Perda yang dinilai syariah tersebut. Biarkan saja! Tapi, ya itu tadi, asas tunggal merupakan gerakan untuk mencegah Islam politik.

Sudah diketahui selama ini tidak sedikit UU atau kebijakan dari DPR dipengaruhi pihak asing. Nah, apakah munculnya gagasan ala Orde Baru ini juga ada bau peran asing di dalamnya?

Saya lihat, sangat mungkin. Apalagi ini RUU Partai Politik. Tidak ada angin, tidak ada hujan, kok tiba-tiba teriak asas tunggal yang telah dikubur saat reformasi kemarin. Apalagi rapat Pansus RUU Parpol dengan Mendagri Mardiyanto (28/9/07) memutuskan 40 butir daftar isian masalah dibahas di tingkat Pansus. Politik dagang sapi akan bermain di sini.

Pengaruh asing dapat dilihat dari pernyataan Bush. Presiden AS, George W Bush, secara terbuka mengajak para tokoh dan pemimpin negeri-negeri Muslim untuk memerangi upaya penegakan syariah dan Khilafah. “We should open new chapter in the fight againts enemies of freedom, againts who in the beginning of XXI century call Muslims to restore caliphate and the spread sharia (Kita harus membuka bab baru perang melawan musuh kebebasan, melawan orang-orang yang di permulaan abad ke-21 menyerukan kaum Muslim untuk mengembalikan Khilafah dan menyebarluaskan syariah),” ungkapnya seperti yang dikutip dalam www.demaz.org. Asas tunggal adalah wujud sambutan partai berkuasa atau pernah berkuasa terhadap seruan ini.

Apakah fenomena seperti ini khas di Indonesia saja atau bersamaan terjadi di banyak negara?

Ini fenomena global. Upaya memberangus Islam dan mengokohkan keterpecahbelahan umat Islam dalam kotak-kotak negara-bangsa terjadi dimana-mana.

Bagaimana kaitan munculnya usulan itu dengan arus penegakan syariah di negeri ini khususnya dan secara internasional umumnya?

Usulan asas tunggal lahir dari semangat untuk memberangus Islam politik dan penegakkan syariah Islam. Arus besar penegakkan syariah Islam di Indonesia, apalagi Konferensi Khilafah Internasional berhasil diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia dengan spektakuler, memunculkan kegentaran pada diri penguasa internasional maupun lokal. Diambillah ‘jurus mabuk’ dengan usulan asas tunggal. Pada sisi lain, justru hal tadi makin membuncahkan semangat untuk menjadikan syariah dan Khilafah sebagai solusi bagi Indonesia yang lebih baik, dan umat yang lebih baik.

Lalu bagaimana penerimaan rakyat terhadap usulan itu dan bagaimana kepercayaan rakyat kepada lembaga DPR, Parpol dan wakil-wakil rakyat?

Jajak pendapat Republika on Line tanggal 14-21 September 2007 terkait usulan asas tunggal ini menunjukkan 74,4% menolak (51,2% sangat tidak setuju dan 23,5% tidak setuju). Lalu survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada Mei 2007 tentang representasi aspirasi, menunjukkan ada sekitar 65% aspirasi pemilih yang dipersepsikan tidak terwakili oleh sikap dan perilaku tujuh partai politik besar. Dalam proporsi yang kurang lebih sama, pemilih merasa bahwa partai politik sejauh ini lebih banyak melakukan tindakan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu, dan hanya menguntungkan para pemimpin partai, bukan pemilih pada umumnya. Pada survei Juli 2007, ditemukan bahwa di kalangan mereka yang berpendidikan perguruan tinggi, 80,2% mendukung gagasan adanya calon independen. Semua ini menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol, yang sering bersembunyi di balik jargon nasionalisme dan kepentingan bangsa, padahal sejatinya adalah untuk kepentingan parpol dan kelompoknya semata.

Jadi usulan itu demi rakyat atau demi siapa?

Masalah rakyat adalah perampasan kekayaan oleh asing, kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi, kemiskinan yang kian mengerikan, pornografi pornoaksi yang terus menghancurkan, dll. Lalu, diajukanlah usulan asas tunggal. Lihat, tidak sesuai antara masalah rakyat dengan usulan solusi. Pada sisi lain, syariah Islam akan menghentikan penjajahan sosial, politik, ekonomi, hukum, dll yang dilakukan oleh pihak asing kapitalis. Dari sini saja jelas, bahwa usulan asas tunggal hanya demi kepentingan elit politik dan asing.

Seperti apa implikasi usulan itu seandainya tetap diterima dan dimasukkan di dalam UU oleh DPR bagi kehidupan politik negeri ini?

Gairah syariah Islam ada di tengah masyarakat. Partai politik berasas tunggal atau tidak, tak akan mampu menghentikan. Hanya saja, salurannya sulit melalui lembaga-lembaga seperti DPR. Kegairahan dan kesadaran terhadap pelaksanaan syariah Islam akan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.

Di tingkat elite, politik Islam diberangus, sementara, masyarakat makin ingin syariah Islam. Apa yang terjadi? Pertama: gaya otoriterisme Orde Baru akan dilahirkan kembali. Apalagi yang ngotot mengusulkannya adalah partai pengusung Orde Baru. Islam akan kembali menjadi kambing hitam. Kedua: sekalipun demikian, dengan kekuatan umat, hal tersebut justru melahirkan keterpisahan antara rakyat dan elit. Di sini tergantung kekuatan, jika rakyat kuat maka syariah akan makin mendapat tempat. Jika tidak, asing akan masuk demi kepentingan mereka. Pada titik ini, akan terjadi kolaborasi antara elite penguasa dan asing melawan rakyat. Adu domba antar umat Islam oleh mereka akan terjadi seperti pada masa Orde Baru. Tentu saja, situasi demikian akan menjadi beban tersendiri bagi kaum Muslim.

Lalu bagaimana perjuangan penegakan syariah ke depan Ustadz?

Perjuangan penegakkan syariah tetap harus berbasis pada masyarakat (’an thariq al-ummah). Penumbuhan kesadaran rakyat akan Islam tetap harus menjadi dasar. Penegakkan syariah di masyarakat tidak akan dapat dihentikan oleh asas tunggal. Justru umat semakin sadar bahwa demokrasi penuh tipuan. Mereka berteriak-teriak soal keragaman, tapi mereka memberangus keragaman itu.

Jadi, bagaimana rakyat khususnya kaum Muslim harus bersikap terhadap usulan itu?

Tolak! Sebab, itu akan memberangus politik Islam dan gerakan Islam politik. Lebih dari itu, kita harus terus dan terus berjuang demi syariah dan menyatukan umat dalam Khilafah. [Ust. MR Kurnia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*