Saat ini, masyarakat dunia ’diguncang’ dengan krisis minyak dunia. Harga jual minyak dunia hampir menembus US$100 perbarel. Kenaikan ini diyakini akan semakin ’memperburuk’ perekonomian dunia, termasuk
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, Redaktur al-Wa’ie Gus Uwik secara khusus mewancarai Dr. Hendri Saparini, Pakar Ekonomi dari Econit dan Tim Indonesia Bangkit. Berikut petikan wawancaranya.
Berapa sebenarnya potensi migas
Potensi sumberdaya migas
Berapa banyak yang dikelola asing?
Inilah yang jadi masalah. Sumberdaya migas
Contoh paling mudah adalah
Jika negara-negara lain berusaha untuk menguasai sumberdaya alam migas karena yakin bahwa penguasaan sumber energi alam ini akan menjadi kunci kemandirian dan kemajuan bangsa, mengapa keyakinan yang sama tidak ada pada para pejabat
Berapa sebenarnya prosentase migas untuk diekspor dan domestik?
Sekarang ini tataniaga atau kegiatan ekspor-impor migas amat sangat ruwet. Pemerintah melakukan ekspor, tetapi juga mengimpor. Ekspor harus dipertahankan karena bisnis ini menguntungkan sekelompok orang. Ekspor juga mengakibatkan
Di sisi lain, dalam kerangka kerjasama dengan swasta (baik nasional ataupun asing) saat ini meskipun menurut Pemerintah bagian minyak pemerintah 85%, sejatinya tidaklah sebesar itu. Pemerintah masih harus menanggung beban kewajiban membayar cost recovery. Jadi, bagian Pemerintah sejatinya hanya sekitar 75% saja. Walhasil, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Pertamina harus impor, baik minyak mentah maupun BBM. Dengan tren produksi (lifting) migas yang semakin menurun selama beberapa tahun terakhir dan kecilnya peran Pemerintah, maka semakin terbatas pilihan bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ekonomi kita ternyata telah telah sangat dikacaukan oleh ketergantungan terhadap pemenuhan migas.
Apa sebetulnya akar semua kekacauan ini?
Tidak ada alasan lain kecuali karena adanya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Sumber Daya Migas. Pengelolaan sumberdaya migas semakin amburadul setelah diundangkannya UU tersebut. Seperti diketahui, UU Migas pada era Pemerintah Megawati telah diijonkan kepada asing untuk ditukar dengan utang. Mengapa ini terjadi? Seperti saya jelaskan sebelumnya, mulusnya UU tersebut karena kepentingan korporat dunia dan kerakusan negara Barat telah diakomodasi dengan sangat baik lewat para komprador Mafia Berkeley yang sudah menguasai kebijakan ekonomi Indonesia sejak 40 tahun lalu.
Berbagai masalah akhirnya bermunculan bak cendawan di musim hujan. Menurut laporan BPK, telah terjadi penyelewengan dalam perhitungan cost recovery karena perusahaan minyak melakukan kecurangan dalam perhitungan. Untuk satu setengah tahun saja, 2004 dan semester I 2005, hasil audit BPK menunjukkan, terdapat potensi kerugian negara sedikitnya 1,473 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 13,3 triliun. Temuan itu antara lain mencakup biaya-biaya yang tidak berhubungan dengan operasi perminyakan dibebankan ke dalam cost recovery. Kontraktor mengajukan biaya depresiasi atas fasilitas yang dibangun meskipun tidak berjalan dengan baik, dan pembebanan biaya kantor pusat tidak disertai dengan bukti-bukti yang cukup. Hingga saat ini, baik oleh Menteri ESDM maupun BP Migas, masalah ini belum ditindaklanjuti. Anehnya, potensi penerimaan negara yang luar biasa ini tidak dikejar oleh para anggota DPR. Licinnya pelicin minyak telah menyusup ke semua lini.
Kelangkaan gas adalah masalah lain yang muncul akibat diberlakukannya UU Migas. Dalam UU Migas Pasal 22 (1) disebutkan, “Badan Usaha atau Badan Usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.” Akhirnya, pabrik-pabrik pupuk milik Pemerintah terpaksa tutup karena tidak tersedia pasokan gas. Dimana semangat kepentingan nasionalnya? Mengapa kebijakan pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri hanya dengan kebijakan, “Kalau ada sisa ekspor”? Kalau gak ada ya gak masalah wong memang tidak ada kewajiban. Masih sangat panjang daftar kerugian yang diakibatkan oleh liberalisasi pengelolaan migas dan juga tambang.
Seperti diketahui tuntutan masyarakat untuk dilakukan judicial review terhadap UU tersebut telah berhasil meskipun Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan revisi terhadap tiga pasal saja. Walaupun hanya tiga pasal, DPR maupun Pemerintah tidak peduli untuk segera merevisi. Dengan kata lain, tanpa ada desakan dari masyarakat untuk merevisi kebijakan migas, tidak akan pernah terjadi perubahan.
Dengan kenaikan harga minyak bagaimana dengan keuangan Pemerintah? Untung atau rugi?
Ini yang aneh. Pada tahun 2005, saat terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia hingga mencapai US$ 70 perbarel (dari semula US$ 45 perbarel), Pemerintah langsung menyatakan kenaikan harga minyak membebani keuangan negara sehingga subsidi BBM harus segera dipangkas. Hasilnya, Pemerintah menaikkan harga BBM hingga dua kali dan dengan tingkat kenaikan yang luar biasa, yakni di atas 126%. Namun, kali ini Pemerintah dengan cepat mengamini bahwa penerimaan Pemerintah bertambah. Jadi, “Jangan khawatir,” tegas pejabat Pemerintah. Jangankan sekarang, setelah BBM mengalami kenaikan tinggi tahun 2005 dan BBM industri telah disesuaikan harga international, saat BBM belum mengalami kenaikan saja, kenaikan harga minyak dunia sesungguhnya ’telah menambah’ pundi-pundi Pemerintah.
Apa yang dilakukan Pemerintah dengan kenaikan minyak dunia sudah tepat? Berpihak kepada rakyat?
Hingga akhir 2007, Pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM dengan pertimbangan APBN masih aman. Mengapa? Selain ada tambahan penerimaan, realisasi program pembangunan dari APBN 2007 masih sangat lambat. Hingga Semester I 2007 baru 17% program pembangunan yang dilakukan. Artinya, pelaksanaan APBN yang lamban ini telah menyelamatkan APBN 2007 meskipun harus dibayar dengan absennya program-program penciptaan kerja.
Namun, untuk tahun depan kenaikan harga minyak akan dijadikan ’justifikasi’ untuk menaikkan harga BBM. Penyataan bahwa Pemerintah sedang mempersiapkan JPS (Jaring Pengaman Sosial) menunjukkan bahwa Pemerintah tidak mau melakukan kebijakan terobosan dan kebijakan yang sifatnya substansial. JPS, selain terbukti efektivitasnya rendah, juga sangat minimal untuk mengurangi beban kelompok miskin karena hanya akan mengulang kesalahan BLT.
Saya, insya Allah, yakin kebijakan yang akan diambil bukan saja kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dan ekonomi nasional, tetapi juga tanpa perencanaan dan tidak subtantial. Semua hanya bersifat polesan-polesan.
Selain program JPS ala Bappenas, ternyata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro justru kembali menawarkan solusi masalah energi dengan alternatif yang sejalan dengan Konsensus
Demikian juga usulan untuk melakukan efisiesi energi dengan mengurangi subsidi listrik. Katanya, langkah ini akan mengurangi kebiasaan masyarakat yang boros listrik. Tidak jelas, masyarakat mana yang dimaksud. Apapun pilihannya, lagi-lagi menunjukan Pemerintah masih keukeuh mengusung konsep konservatif IMF, bahwa untuk menyelamatkan keuangan negara, tidak ada jalan lain kecuali dengan menghilangkan beban-beban subsidi.
Usulan untuk mempercepat penerapan konversi energi semakin menunjukkan bahwa langkah kebijakan tidak terencana. Mengganti sumber energi, baik untuk industri maupun untuk rumah tangga, tidak bisa dengan cepat. Program konversi energi untuk
Sebetulnya, mungkin-tidak di Indonesia minyak murah?
Sangat mungkin kalau Pemerintah mengubah cara perhitungan harga dasar BBM. Harga BBM ditetapkan berdasarkan biaya produksinya, bukan berdasarkan harga internasional yang ditetapkan dengan perkembangan harga minyak rata-rata di Singapura (Mid Oil Plats Singapore/MOPS). Namun, banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan ini.
Apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah?
Langkah pertama adalah dengan merevisi UU Migas tahun 2001. Undang-undang ini telah menjadi biang kerok kekacauan ekonomi
ya ampun bener deh drama yg di tulis di komentar al Islam ttg problem minyak. Ampun deh! lihat drama tragis itu..
http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-islam/index.php/2007/11/28/problem-kenaikan-harga-minyak-dan-solusinya/#comments
Sistem pengelolaan dan langkah terobosannya jelas Islam jawabannya. .
Sekaranglah waktunya untuk menunjukkan kepada masyarakat indonesia bahwa sejak awal berdirinya Indonesia yang dimotori oleh kelompok nasionalis tidak pernah berpihak kepada rakyat. mereka berpihak kepada korporasi dunia. Berpihak kepada asing (penjajah). Ini bukti bahwa kelompok nasionalis tidak punya malu. Mereka selalu mengatakan bahwa harus memiliki rasa nasionalisme, ternyata mereka sendiri yang tidak memiliki rasa nasionalisme. Tidak pernah terbukti bahwa mereka berpihak kepada rakyat. Oleh karenanya nasionalisme itu gombal. Kalau mereka mengatakan mempertahankan NKRI, mana buktinya, timor timur merdeka tidak ada yang dilakukan untuk mencegahnya, Tidak ada satupun perusahaan asing yang dinasionalisasikan, bahwa perusahaan dalam negereri yang diswastanisasikan (diasingkan). Tidak ada pencegahan dari kelompok nasionalis ketika blok cepu diberikan kepada EXXON MOBILE. dan seambreg bukti dan sangat gampak untuk mendapatkan bukti ini. Lebih-lebih penguasa yang sekarang berkuasa. Dia bilang nasionalis, tapi tidak pernah berpihak kepada Indonesia dan rakyaknya. Jadi semakin mudak bagi para pengemban dakwah Islam untuk menunjukkan bukti kepada rakyat bahwa nasionalisme itu omong kosong, para penguasa yang mengaku manionalis itu telah menjadi penjajah di negeri sendiri. wahai rakyat Indonesia mengertilah dan kembalikan kalian kepada Islam yang dulu dibawa oleh nenek moyang anda, dibawa oleh para wali yang sangat terpercaya keberpihakkannya kepada umat. Jangan lagi anda tertipu dengan omongan para nasionalis yang sejatinya mereka menjadi penjajah bagi anda sendiri. sadarlah wahai para pengemban dakwah, janji Allah semakin dekat karena semakin mudahnya kalian untuk menjelaskan kebobrokan kapitalis dan nasionalis kepada rakyat.
Contohlah Malaysia, Argentina, Venezuela, dan Argentina, read this >> http://syeilendrapramuditya.wordpress.com/2008/08/11/mereka-berani-melakukannya-kenapa-kita-tidak/