إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kalian—jika kalian menetapkan hukum di antara manusia—untuk menetapkan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS an-Nisa’ [4]: 58).
Sabab Nuzul
Menurut Ibnu Juraij, ayat ini turun berkenaan dengan Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah. Ketika fath Makkah Rasululullah saw. memegang kunci Ka‘bah darinya, lalu Beliau memasuki Baitullah. Setelah itu Beliau keluar sambil membaca ayat ini. Beliau pun memanggil Utsman dan memberikan kuncinya. Umar bin al-Khaththab ra. berkata, “Ketika Rasulullah saw. keluar dari Ka‘bah, Beliau membaca ayat ini. Aku belum pernah mendengar Beliau membaca ayat itu sebelumnya.”1
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Inna Allâh ya‘murukum an tu’addû al-amânât ilâ ahlihâ (Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya). Menurut sebagian mufassir, seperti Zaid bin Aslam dan Syahr bin Khausyab, khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada penguasa kaum Muslim.2 Pendapat ini juga didukung ath-Thabari dan an-Nasafi.3
Sebagian mufassir lain berpendapat, pihak yang diseru ayat ini bukan hanya penguasa, namun seluruh mukallaf tanpa terkecuali. Pendapat ini dipilih kebanyakan mufassir seperti al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, Abu Hayyan al-Andalusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, al-Jashshash, Ibnu Athiyah, al-Jazairi, al-Samarqandi, dan al-Ajili.4 Tampaknya, pendapat kedua lebih tepat. Kendati penguasa merupakan pihak yang paling utama untuk diseru, hal itu tidak bisa membatasi seruan ini hanya untuk mereka. Sebab, dhamîr kum (kalian) dalam ayat ini bersifat umum sehingga berlaku untuk seluruh mukallaf. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang membatasinya.
Memang benar, seruan selanjutnya dalam ayat ini, yakni ‘wa idzâ hakamtum bayna an-nâs an tahkumû bi al-‘adl’, ditujukan kepada penguasa. Namun, itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk membatasi seruan sebelumnya. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Jashshash, suatu khithâb bisa saja di awalnya bersifat umum untuk seluruh manusia, lalu dilanjutkan dengan khithâb yang bersifat khusus untuk penguasa.5
Oleh ayat ini, seluruh mukallaf itu diperintahkan an tuaddû al-amânât (menyampaikan amanat). Kata al-amânât (jamak dari kata al-amânah) merupakan bentuk mashdar yang bermakna maf‘ûl.6 Al-Jazairi menuturkan, amanah adalah segala yang dipercayakan kepada seseorang, baik berupa perkataan, perbuatan, atau harta benda.7 Al-Biqa’i memaknainya sebagai semua kewajiban yang harus Anda tunaikan terhadap orang lain.8
Amanah yang diperintahkan ayat ini meliputi semua jenis amanah.9 Sebab, kata al-amânât merupakan kata benda jamak yang berbentuk ma‘rifah (ditandai dengan huruf al-alif wa al-lâm di depannya). Secara bahasa, bentuk kata demikian menunjukkan makna umum.
Fakhruddin ar-Razi menuturkan, jenis amanah yang wajib ditunaikan itu menyangkut seluruh interaksi manusia, baik interaksi manusia dengan Tuhannya, sesama hamba, maupun dengan dirinya sendiri.10 Menunaikan amanah Allah Swt. adalah dengan cara mengerjakan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Amanah dalam bab ini amat luas. Ibnu Mas’ud berkata, “Amanah itu wajib dalam segala sesuatu, dalam wudu, janabah, shalat, zakat, puasa, dan haji.” Amanah lisan adalah dengan tidak menggunakannya untuk berdusta, ghîbah (menggunjing), namîmah (mengadu domba), kufur, bid‘ah, perkataan keji, dan sebagainya. Amanah mata adalah dengan tidak menggunakannya untuk memandang yang haram. Amanah pendengaran adalah dengan tidak menggunakannya untuk mendengarkan suara yang dilarang, keji, dusta, dan sebagainya. Demikian pula dengan seluruh anggota badan yang lainnya. 11
Adapun amanah kepada sesama manusia meliputi semua hak orang lain yang wajib ditunaikan, termasuk di dalamnya mengembalikan barang titipan, tidak mengurangi timbangan dan takaran, dan tidak menyebarkan aib orang lain; tercakup pula keadilan umara terhadap rakyatnya; juga keadilan ulama terhadap orang awam, yakni dengan tidak membuat mereka terjerat ta‘âshub yang batil, namun menjelaskan kepada mereka keyakinan dan amal yang bermanfaat bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat. 12
Amanah terhadap diri sendiri adalah dengan tidak memilihkan segala sesuatu kecuali yang paling bermanfaat dan layak bagi dirinya, baik di dunia maupun akhirat. Tidak melakukan suatu tindakan atas dasar syahwat dan murka yang dapat membahayakan dirinya di akhirat.13
Frasa ilâ ahlihâ mengandung makna bahwa amanah itu harus disampaikan kepada pemiliknya atau wakilnya sebagai pihak yang menggantikannya dan tidak boleh diberikan kepada selainnya. Apabila diberikan kepada bukan pemiliknya, maka tidak dianggap telah menunaikan amanah.14Kata ahlihâ tersebut juga memberikan makna umum, baik pemilik amanah itu orang baik maupun orang fâjir.15
Selain ayat ini, perintah menunaikan amanah ini juga terdapat dalam beberapa ayat lain, seperti QS al-Mukminun [23]: 8 dan al-Anfal [8]: 27. Rasulullah saw. juga bersabda:
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Sampaikanlah amanah kepada orang yang memberimu kepercayaan dan janganlah kamu berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu. (HR Ahmad dari Abu al-Qurasys, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Jika suatu amanah tidak ditunaikan di dunia maka akan diambil oleh pemiliknya di akhirat kelak. Rasulullah saw. bersabda:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنْ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
Sungguh, kalian benar-benar akan menyampaikan hak-hak kepada pemiliknya pada Hari Kiamat hingga dibalaskan kepada kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk (HR Muslim dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wa idzâ hakamtum bayna an-nâs an tahkumû bi al-‘adl ([Allah menyuruh kalian]—jika menetapkan hukum di antara manusia—untuk menetapkan hukum dengan adil). Menurut Muhammad bin Kaab dan Zaid bin Aslam, ayat ini ditujukan kepada umara atau penguasa.16 Dalam menetapkan keputusan hukum, mereka diperintahkan untuk bertindak adil.
Keputusan yang adil itu bukan hanya ditetapkan bagi Muslim, namun juga non-Muslim. Sebab, kata an-nâs dalam frasa ini menunjukkan makna umum, meliputi seluruh manusia. Karena itu, ayat ini juga menjadi dalil tentang wajibnya penerapan hukum syariah kepada kafir ahludz al-dzimmah—selama tidak ada dalil yang men-takhshîsh bahwa hukum syariah itu hanya ditujukan untuk kaum Muslim.
Oleh al-Baghawi, kata al-‘adl ditafsirkan dengan al-qisth.17 Menurut al-Khazin, makna awal kata al-‘adl adalah al-musâwah fî kulli syay’ (setara dalam segala sesuatu). Karena itu, setiap perkara yang keluar dari kezaliman dan permusuhan disebut adil.18 Realitas itu bisa terjadi jika hukum yang digunakan untuk memutuskannya adalah hukum yang adil.
Karena itu, tepat sekali penjelasan asy-Syaukani mengenai maksud adil dalam ayat ini. Ia berkata, “Adil adalah memutuskan perkara berdasarkan ketentuan dalam Kitabullah dan Sunnah-Nya, tidak dengan pendapat pikiran semata, karena itu sama sekali tidak terkategori sebagai kebenaran; kecuali jika tidak ditemukan dalilnya dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka bisa dengan hasil ijtihad pikiran dari seorang hakim yang mengetahui hukum Allah Swt.; dan mengetahui yang paling dekat dengan kebenaran ketika tidak ada nash. Adapun hakim yang tidak memahami hukum Allah dan Rasul-Nya, juga tidak memahami yang paling dekat dengan keduanya, maka dia tidak memahami keadilan. Sebab, dia tidak memahami hujjah yang datang kepadanya, apalagi memutuskan antara hamba Allah dengan hujjah itu.19
Selain ayat ini, perintah berlaku adil juga disampaikan dalam beberapa ayat lain seperti: QS an-Nahl [16]: 90, al-An‘am [6]: 152 dan al-Maidah [5]: 8.
Kemudian Allah Swt. berfirman: Inna Allâh ni’immâ ya’izhukum bihi (Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian). Frasa ini berasal dari kata ni’ma dan kata mâ.20 Kata ni’ma mengandung makna al-madh (pujian) yang berarti sebaik-baiknya, sementara kata mâ merujuk pada perkara yang diperintahkan Allah Swt., yakni bahwa menunaikan amanah dan berlaku adil dalam memutuskan perkara di antara manusia adalah sebaik-baik perkara yang dinasihatkan Allah Swt. kepada manusia. Dengan demikian, penggalan ayat ini menjelaskan bahwa kedua perintah itu adalah nasihat dan pelajaran terbaik dari-Nya.
Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: Inna Allâh kâna samî’[an] bashîr[an] (Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat). Penutup ayat ini memberikan lecutan semangat kepada manusia untuk menjalankan perintah-Nya. Manusia tidak boleh merasa aman ketika tidak menunaikan amanah. Allah Swt. pasti mengetahuinya. Seorang penguasa juga tidak boleh merasa tenteram ketika tidak menetapkan keputusan yang tidak adil. Meskipun pihak yang dizalimi tidak mampu menuntutnya, Allah Swt. mendengar dan mengetahui ketidakadilan itu.
Hukum yang Adil
Agar bisa memutuskan secara adil, dibutuhkan hukum yang adil sebagai panduannya. Jika hukumnya tidak adil, mustahil diperoleh keputusan yang adil. Alih-alih menegakkan keadilan, hukum yang tidak adil justru akan menciptakan ketidakadilan. Sebuah keputusan dapat dikategorikan adil manakala didasarkan hukum Allah Swt. Tidak diragukan lagi bahwa hukum yang adil adalah hukum yang berasal dari Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana, yakni dari Allah Swt. (lihat: QS at-Tin [95]: 8). Hukum Allah tidak berpihak kepada individu, kelompok, atau bangsa tertentu. Keadilannya pun bersifat langgeng, hakiki, dan tidak nisbi. Tidak ada yang bisa mengoreksi dan boleh mengganti (QS al-An’am [6]: 115). Singkatnya, Allah Swt. memerintahkan manusia untuk memutuskan perkara dengan adil (QS an-Nisa [4]: 58, al-Maidah [5]: 8, 42); Allah pun memerintahkan agar hukum yang digunakan sebagai dasar memutuskan perkara hanyalah hukum-Nya (QS an-Nisa [4]: 59, an-Nisa’ [4]: 60, an-Nur [24]: 58). Perintah itu juga disertai larangan berhukum pada selainnya. Siapa saja yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah dan disertai dengan keyakinan bahwa hukum manusia lebih baik darinya dinyatakan sebagai orang kafir (QS al-Maidah [5]: 45); jika tidak disertai dengan keyakinan tersebut, tergolong sebagai orang zalim dan fasik (QS al-Maidah [5]: 47, 48).
Walhasil, dapat disimpulkan bahwa hukum yang adil hanyalah hukum Allah. Selain hukum-Nya adalah batil, tidak adil, dan hanya akan menjerumuskan manusia pada jurang kesengsaraan dan penderitaan tiada
Keadilan hukum-hukum Allah Swt. tersebut akan benar-benar bisa dirasakan adil jika diberlakukan secara menyeluruh. Islam sebagai sebuah satu-kesatuan sistem tidak bisa dilepaskan unsur-unsurnya satu sama lain. Bagian organ tubuh, seperti mata atau tangan, akan kehilangan hakikat dan fungsinya apabila dilepaskan dari tubuhnya. Begitu pula dengan Islam. Hanya dengan Daulah Khilafah yang memberlakukan syariah secara utuh dan menyeluruh, keadilan syariah benar-benar bisa dirasakan, bukan hanya oleh kaum Muslim, tetapi juga orang kafir dan semua makhluk yang ada di dunia. Di saat itu, keadilan tak lagi nisbi; bukan hanya mimpi, apalagi jadi misteri. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, MEI]
Catatan kaki:
1 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 148; as-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 312.
2 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî, vol. 4, 147-148; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 607.
3 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 4, 148; an-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol 1 (
4 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 166; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 512; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 289; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 607; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 220; al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 293; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 70; al-Jazairi, Aysâr al-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 497; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 362; al-Ajili, al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 74
5 Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2, 293
6 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 3, 166; Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 2, 433
7 Al-Jazairi, Aysâr al-Tafâsîr, vol. 1, 497
8 Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 271
9 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 3, 166; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 629; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 607. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Lihat: al-Wahidi al-Naisaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 70; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 177.
10 Ar-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr , vol. 12 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 111. Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl,vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 391-392; Wahbah az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 5 (
11 Ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr , vol. 12, 111. Penjelasan yang sama juga dituturkan oleh Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân wa Raghâib al-Furqân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 433.
12 Ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr , vol. 12, 11-112. Dengan sedikit perbedaan, penjelasan serupa juga dipaparkan Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 2, 433.
13 Ar-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr, vol. 12, 112; Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 2, 433.
14 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 1, 214
15 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî , vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 62. Kendati tidak disertai alasannya, penjelasan serupa juga diberikan oleh al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 3, 177.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 629
17 Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 353
18 Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl,vol. 2, 391-392.
19 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 607
20 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 3, 289; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 1, 513; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 70.