HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Dibalik ‘Kisruh Politik’ Pakistan

Berbagai perubahan mulai terjadi dengan cepat di Pakistan seiring dengan berkuasanya Bush dan kaum neo-konservatif di Amerika. Apalagi setelah terjadinya Serangan 11 September. Musharraf bergabung dengan Amerika dalam “Perang Melawan Teror” (Perang Terhadap Islam) di Kashmir, yang mempergunakan Pakistan sebagai basis mereka dan titik tolak gerakan mereka.

Bersekutu dengan Amerika, Musharraf berhasil memperlemah basis dan pangkalan para pejuang Mujahidin itu di Pakistan. Inilah yang membedakannya dengan pemerintahan Pakistan terdahulu yang senantiasa gagal untuk menutup kamp-kamp Mujahidin. Musharraf lalu menahan kaum Mujahidin dan menyebut mereka sebagai teroris.

Orang Hindu sangat gembira dengan hal ini. Mereka dengan senang hati menerima frasa baru atas apa yang disebut sebagai “Terorisme Islam”— istilah yang dibuat oleh Pemerintahan Bush dalam perangnya melawan Islam. Orang Hindu menyebut perjuangan kaum Mujahidin di Kashmir sebagai sebuah bentuk terorisme. Dalam aspek ini, pemerintah India yang dipimpin Partai Kongres yang memiliki loyalitas pada Inggris tidak berbeda dengan BJP, pemerintahan sayap-kanan sebelumnya, yang cenderung berpihak pada Amerika.

Para pejabat Amerika tidak berhenti untuk menuntut dari Musharraf. Seorang pejabat CIA mengancam lewat Koran The New York Times (23/7/07) agar Musharraf menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai oleh banyak kelompok suku itu. Direktur CIA Michael O’Neil mengatakan dua hari setelahnya, bahwa Osama Bin Laden berada di Pakistan, di perbatasan dengan Afganistan, dan mendesak Musharraf untuk melakukan lebih banyak lagi mobilisasi atas pasukannya di wilayah perbatasan itu.

Pemerintah Amerika tidak puas dengan pelayanan yang diberikan Angkatan Bersenjata Pakistan. Mereka menuntut lebih banyak lagi. Pemerintah Amerika mendesak Musharraf untuk melanjutkan pendekatan yang sama atas gerakan-gerakan Islam dan memerangi organisasi-organisasi semacam itu seperti Taliban, Harakatul Mujahidin, (sebelumnya bernama Harakatul Ansar), Jaish e- Muhammad sekaligus mengamankan perbatasan sepanjang 1500 km dengan Afganistan. Hal ini akan mencegah pejuang Mujahidin mempergunakan wilayah Pakistan untuk melancarkan serangan atas pasukan Amerika dan NATO yang menduduki Afganistan.

Barangkali kunjungan ke Islamabad pada bulan Juli 2007 yang dilakukan oleh Wakil Menlu AS Negroponte—yang merupakan seorang spesialis dalam hal menyulut dan memprovokasi perang saudara dan pertumpahan darah—ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan ini dengan memastikan bahwa Musharraf, yang terus mengkhianati kaum Muslim, tetap dapat terus berkuasa dan mengabdikan dirinya untuk melayani kepentingan Amerika.

Musharraf dikondisikan dan dibuat terbiasa dengan kebijakannya yang kejam dan tanpa belas kasih yang dimanfaatkan oleh Amerika. Dia terbukti tetap seorang agen yang setia kepada tuannya, yang melaksanakan segala perintahnya walaupun bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negaranya sendiri.

Dia melakukan hal yang sangat melukai perasaan kaum Muslim dengan mendukung agresi Amerika atas Afganistan dan menawarkan negaranya sebagai garda depan bagi perang yang dilakukan Amerika untuk merancang perbuatan kejinya di wilayah itu.

Musharraf telah memobilisasi tentaranya di wilayah persukuan itu di perbatasan Afghanistan di Waziristan dan Balukhistan dan terus menambah tentaranya hingga 80 atau 90 ribu pasukan di sepanjang perbatasan Afghan. Hari ini (26/10/2007) dia melancarkan serangan kilat terhadap kaum Muslim di lembah Swat wilayah Timur Laut Peshawar hanya karena kaum Muslim di wilayah itu ingin menerapkan hukum Islam.

Dia telah menangani gerakan-gerakan yang memprotes kesetiannya atas Amerika dengan cara yang dirancang sedemikian rupa. Dia dengan sengaja memerintahkan pembunuhan atas pemimpin senior Balukhistan, Akbar Khan Bugti yang berusia 79 tahun, pada bulan Agustus 2006. Hal ini lalu memperburuk krisis yang ada. Bugti dikenal sebagai “Singa Tua” dan pernah menduduki jabatan gubernur dan menteri di pemerintahan di akhir tahun 1970-an.

Setelah pembunuhan Bugti itu, tentara Pakistan menekan Musharraf untuk mencapai perjanjian dengan suku-suku itu untuk mengurangi meningkatnya kekerasan dan menghindari perang saudara di bulan September 2006. Amerika menentangnya karena Amerika berkepentingan untuk tetap menjaga agar kekerasan tetap ada. Amerika melalui NATO melancarkan serangan-serangan berdarah di wilayah perbatasan Bajour di bulan November 2006 untuk merusak perjanjian dengan suku-suku itu.

Lalu, sebagai cara untuk menyiapkan Pakistan melakukan serangan lanjutan atas al-Qaeda dan tempat persembunyian mereka, Juru Bicara Gedung Putih Tony Snow menyatakan bahwa al-Qaeda merupakan ancaman nyata bagi Pakistan dan mereka mempelajari kemungkinan-kemungkinan untuk melancarkan serangan terhadap target-target khusus dari dalam wilayah Pakistan.

Hal ini mendorong PM Pakistan Shaukat Aziz untuk menyatakan bahwa Pakistan mampu untuk melakukan operasi semacam itu sendiri. Dengan demikian, dengan memberikan kesan bahwa Pakistan berani menolak untuk mengizinkan Amerika melancarkan serangan di dalam wilayahnya, Pakistan telah berketetapan untuk terlibat dan melakukan serangan-serangan semacam itu!

Konsekuensinya, serangan yang membabi buta dilancarkan atas Masjid Lal (Masjid Merah) di pertengahan bulan Juli 2007, sebagai akibat telah berakhirnya perjanjian dengan suku-suku itu. Situasi mirip perang ini bukanlah antara Amerika dan kaum Muslim seperti yang seharusnya terjadi, tetapi antara suku-suku Muslim dan Angkatan Bersenjata Pakistan atas perintah Musharraf sang pengkhianat.

Demikianlah kebencian Mushararaf terhadap suku-suku itu jelas terlihat. Lebih jauh lagi adalah serangan yang dilakukan terhadap Mesjid Merah saat dia membantai ulama secara brutal dan menolak semua usaha mediasi yang hampir membuahkan hasil. Betapa dia sangat membenci dan memusuhi suku-suku itu!

Untuk urusan Kashmir, Amerika berkeinginan untuk mempertahankan status-quo di perbatasan itu. Hal ini untuk menjaga ‘perasaan’ India karena Amerika ingin India bisa mengawasi kebangkitan Cina di Timur Jauh dan Asia Selatan. Musharraf telah melakukan beberapa hal untuk menormalkan hubungan dengan India setelah kedua negara itu setuju untuk melakukan gencatan senjata di Kashmir bulan November 2003 dan melanjutkan kesepakatan perdamaian dengan perjanjian perdamaian di bulan Januari 2004.

Sejak perjanjian tahun 2004 itu, hak untuk menentukan nasib sendiri bagi penduduk Kashmir diabaikan dan semua perjanjian dilakukan di luar lingkup ini. Pemerintah Musharraf tidak lagi menuntut suatu penyelesaian yang berdasarkan resolusi internasional.

Musharraf telah memutus hubungannya dengan Islam dan kaum Muslim. Dia telah berdiri di sisi Amerika dalam melakukan serangan terhadap Afganistan, memobilisasi tentaranya hingga terjadinya pertumpahan darah di wilayah yang dikuasai suku-suku itu, melakukan pembantaian di Waziristan dan Balukhistan, menyerang Masjid Merah dengan senjata pemusnah, menyerahkan Kashmir, menghinakan kaum cendekiawan dan pelajar sekolah-sekolah Islam, dan mencoba untuk menghentikan dakwah Islam. Daftar kejahatannya akan panjang!

Musharraf telah ditolak oleh kaum Muslim dan tidak mendapatkan dukungan bagi pencalonan dirinya untuk masa kedua jabatan kepresidenannya. Maka dari itu, Amerika tidak memiliki pilihan selain mencari dukungan dari kaum sekular yang setia pada Inggris dalam usahanya untuk terus menjaga kaki tangannya itu untuk tetap berkuasa. Itu diperoleh dengan membuat kesepakatan dengan Benazir Bhutto dan partainya. Setelah perjanjian ini, Bhutto tiba-tiba menjadi orang yang bersih dan dikesankan sebagai pemimpin yang memiliki integritas. Padahal sebelumnya dia pernah dituduh melakukan korupsi dan penyimpangan oleh Musharraf sendiri dan dibuang dari negaranya.

Seperti yang diperlukan dalam perjanjian itu, Musharraf mengeluarkan peraturan tanggal 5/10/2007 yang memberikan pengampunan bagi Benazir beberapa saat sebelum dilakukan Pemilihan Presiden yang dimajukan tanggal 6 Oktober 2007, dari yang seharusnya dilakukan setelah Pemilihan Anggota Parlemen pada bulan Januari 2008. Dia takut pendukungnya tidak dapat terpilih pada Pemilu Parlemen yang akan dilakukan pada bulan Januari 2008. Inilah sebabnya mengapa dia memajukan Pemilihan Presiden sebelum dilakukan Pemilu Parlemen.

Perpecahan dalam pemerintahan Pakistan menjadi jelas terlihat pada isu pemberian amnesti kepada Bhutto, ketika sejumlah anggota dari partai yang berkuasa menolak amnesti itu dan menyebutnya sebagai “tidak adil”. Walaupun ada penentangan semacam ini, Musharraf dan Benazir Bhutto menandatangani perjanjian pembagian kekuasaan pada tanggal 4 Oktober 2007, suatu hal yang didesakkan oleh pemerintah Amerika dan Inggris, dan diikuti oleh keluarnya peraturan amnesti tanggal 5 Oktober 2007, 24 jam sebelum dilakukannya Pemilu Presiden yang diizinkan Pengadilan. Inilah alasan—berbeda dengan anggota-anggota oposisi lain—anggota Partai PPP pimpinan Benazir tidak memboikot Pemilu hingga memastikan adanya kuorum dan masa jabatan bagi Musharraf yang kedua kali.

Di bawah keputusan itu, para politisi yang dituduh korupsi selama periode tahun 1998 hingga 1999 diberi pengampunan. Draft ini dirancang sedemikian rupa hingga mengecualikan amnesti bagi PM Nawaz Sharif, yang disingkirkan dalam kudeta tidak berdarah oleh Musharraf tahun 1999, karena kasus-kasus kriminal yang dikenakan padanya terjadi tahun 2000.

Dengan demikian, formula khusus dilakukan untuk mengecualikan pengampunan terhadap Nawaz Sharif walaupun sebelumnya dia juga adalah antek Amerika. Ini karena Nawaz Sharif membangkitkan kemarahan Amerika. Pasalnya, ia gagal mengontrol mobilisasi angkatan bersenjata Pakistan di wilayah Kargil di Kashmir tahun 1999, ketika mereka mabuk kemenangan melawan pasukan India. Kemenangan itu telah merusak kemungkinan berkuasanya Vajpayee, yang pro-Amerika. Amerika kesal dengan hal ini dan karena itu menempatkan Musharraf untuk berkuasa tahun 1999 dan menyingkirkan Nawaz Sharif. Musharraf melaksanakan perintah-perintah AS dan menarik mundur pasukannya dari dataran tinggi Kargil tanpa menduduki wilayah itu. Amerika tidak memaafkan Nawaz Sharif karena ‘kesalahannya’ itu meskipun dia telah melayani AS bertahun-tahun.

Setelah keluarnya keputusan amnesti tanggal 5 Oktober 2007, setelah memastikan terpilihnya kembali Musharraf tanggal 6 Oktober, Mahkamah Agung meneliti validitas Pemilihan Presiden tanggal 17 Oktober 2007. Meskipun keduanya telah bertemu beberapa kali, MA masih belum menyatakan penilaiannya atas masalah ini. Sementara itu, Bhutto kembali ke Pakistan pada tanggal 18 Oktober 2007 dengan harapan dapat menjadi perdana menteri untuk ketiga kalinya. Sebelumnya dia memangku jabatan sebagai perdana menteri dua kali dari tahun 1988 hingga 1990 dan tahun 1993 hingga 1996.

Amerika berusaha sebaik-baiknya untuk bekerjasama dengan Bhutto, untuk memastikan Musharraf tetap berkuasa. Walaupun Bhutto mulai mengubah cara yang dilakukannya sebagaimana yang dilakukan oleh oposisi, ketika Musharraf menjadi PM untuk yang kedua kalinya.

Beberapa bulan sebelumnya Amerika mengadakan pembicaraan di London dengan Inggris dan Bhutto hingga terciptalah kerangka besar untuk pembagian kekuasaan dengan Musharraf sebagai presiden dan Bhutto sebagai Perdana Menteri. Amerika sadar benar bahwa Bhutto tidak mau menerima jabatan perdana menteri dengan kekuasaan yang dibatasi seperti situasi sekarang. Mereka tahu bahwa Bhutto akan mencari cara pembagian kekuasaan dengan presiden. Namun, mereka juga sadar bahwa lebih baik jika Musharraf tetap berkuasa walaupun dia kehilangan beberapa kewenangan. Bagi AS hal ini jauh lebih baik daripada kehilangan Musharraf sama sekali dan berarti akan kehilangan pengaruh di Pakistan.

Dari paparan di atas, jelaslah mengapa Amerika menerima Bhutto walaupun dia setia kepada Inggris, negara tempat dia menetap selama masa pengasingannya.

Langkah yang ditempuh Pakistan di tengah-tengah kejadian itu adalah bahwa Pakistan sejak terbentuknya negara itu hampir enam puluh tahun yang lalu telah memiliki pemerintah yang setia: orang yang setia kepada Inggris atau Amerika. Sekarang, untuk pertama kalinya terjadi dalam sejarah, negara itu mempunyai dua kepala pemerintahan: Musharraf yang setia kepada Amerika dan Bhuto yang setia kepada Inggris. Itu pun jika mereka terus melanjutkan komitmennya pada kesepakatan itu. Tampaknya hal ini akan membuat Pakistan mudah dilanda konfrontasi dan konflik dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Walaupun demikian, masa bulan madu mereka tidak akan berlangsung lama. Ini karena kekuatan-kekuatan besar yang berebut pengaruh tidak akan menerima rintangan apapun ada di tengah jalan, khususnya ketika itu adalah partai-partai yang pro Amerika, yang mempunyai kecenderungan hegemonistik dan arogan. Karena itu, masuk akal bahwa Amerika dan Musharraf akan membuat rintangan hukum dan fisik yang akan dikenakan pada Bhutto dan bahkan akan membuangnya di pengasingan jika itu bisa dilakukan!

Pada saat yang sama, Bhutto, seorang dengan kelicikan khas orang Inggris dan dengan kepiawaian politiknya, mungkin mampu melakukan manuver menghadapi Musharraf untuk merendahkan kredibilitasnya dan keberadaanya di Istana Presiden, dan mencopotnya jika mampu, baik dengan manipulasi politik atau melalui perangkat hukum dengan cara menyuruh orang-orangnya untuk mengajukan Musharraf ke pengadilan.

Aspek yang negatifnya: sejak terjadinya kerusuhan dan instabilitas politik karena adanya konflik itu, kehidupan rakyat menjadi semakin sulit dan sengsara.

Adapun aspek positifnya adalah bahwa Allah akan menghilangkan kekuatan mereka dengan membuatnya saling bertikai satu sama lain. Allah Mahakuasa dan Mahabijaksana.

Insya Allah, hal ini akan membawa kebaikan dan kemenangan bagi rakyat. Allah berkuasa penuh atas apa yang Dia kehendaki, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. [15 Syawal 1428/26 Oktober 2007; Riza Aulia, sumber: www.khilafah.com]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*