Kita tentu masih ingat alotnya tarik-ulur pembahasan RUU APP beberapa waktu yang lalu, karena pengusung kebebasan berekspresi merasa sangat terancam jika aturan itu diberlakukan.
Sama halnya seperti demokrasi dan nasionalisme, ide HAM seolah menawarkan kebaikan dan kebenaran sehingga tidak sedikit orang yang memperjuangkannya, bahkan kalangan Muslim. Sebagai ide yang lahir dari sistem sekular yang mengusung paham kebebasan, tentu saja tidak ada sedikitpun kesesuaiannya dengan Islam, bahkan bertolak belakang. HAM sesungguhnya adalah senjata mematikan kaum kafir imperialis untuk semakin menancapkan hegemoninya di negeri-negeri Muslim. Dengan memperjuangkan HAM, umat sesungguhnya digiring menuju jurang kebebasan yang sangat dalam. Atas nama HAM semua orang berhak untuk bertindak tanpa mengindahkan tatanan kehidupan apalagi syariah Islam.
Saat kita mencurahkan seluruh energi untuk memberantas pornografi dan pornoaksi yang sudah sangat mengancam moral bangsa, atas nama HAM mereka memperjuangkan kebebasan berekspresi yang tanpa batas. Kemaksiatan sebagai dampak dari ide bejat ini akhirnya menjamur dimana-mana; kaum homoseks, para waria, penari-penari erotis semakin bermunculan. Saat kita berusaha menyelamatkan akidah umat, atas nama HAM pula banyak orang memperjuangkan pluralisme. Syariah yang sudah jelas kebenarannya kalah oleh dalih HAM. Semakin lama kaum Muslim semakin meragukan Islam karena dianggap tidak jauh berbeda dengan agama-agama yang lain. Hukum-hukum Islam sudah tidak dihormati lagi apalagi diperjuangkan untuk bisa diterapkan. Ketika kita memperjuangkan kesejahteraan rakyat, atas nama HAM privatisasi yang berujung dikuasainya aset-aset publik oleh individu (termasuk asing) semakin merajalela. Atas nama kebebasan berbicara sebagai bagian dari HAM, rambu-rambu syariah sudah tidak dipedulikan lagi. Penghinaan dan pelecehan terhadap Islam masih sering terjadi.
Kalau sudah begitu semakin kokohlah kekuasaan kafir imperialis di negeri-negeri Muslim, karena umat semakin jauh dari Islam dan semakin dekat dengan mereka, bahkan merasa menjadi bagian dari mereka. Dengan memperjuangkan HAM berarti kita menjadi antek-antek mereka untuk membunuh karakter kaum Muslim secara perlahan-lahan. Jika kebebasan atas nama HAM sudah diusung sedemikian tingginya, tidak akan ada sekat lagi antara manusia dan binatang, antara kemuliaan dan kehinaan dan antara beradab dan biadab. Apakah tatanan hidup seperti ini yang akan menyelamatkan manusia?
Wahai kaum Muslim, kenalilah HAM lebih dekat sehingga kita tahu siapa dan bagaimana dia sebenarnya, kawan sejati ataukah musuh berhati keji! Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Lestari Admojo, SP; Peneliti di Balai Penelitian Getas Salatiga]