Allah Swt. menurunkan al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16: 89). Al-Hafidz Ibn Katsir, dengan mengutip penjelasan Ibn Mas’ud ra., dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut bermakna: “Sungguh, Allah telah menjelaskan dengan al-Quran ini semua ilmu dan segala hal.”
Bahkan al-Quran menegaskan bahwa penerapan hukum Allah dalam seluruh kehidupan adalah bagian dari keimanan kita (QS an-Nisa’ [4]: 65). Sungguh tepat ungkapan Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari dalam kitab, Adab al-’Alim wa al-Muta’allim: “Sebagaian dari mereka (para ulama) menyatakan tauhid itu mewajibkan iman. Karena itu, tidak ada Iman bagi orang yang tidak ada tauhid pada dirinya. Iman itu mewajibkan syariah. Karena itu pula, orang yang tidak ada syariah padanya tidak ada iman baginya dan tentunya tidak ada tauhid baginya.”
Dengan demikian, sangat naif kalau keinginan kaum Muslim untuk membebaskan diri dari penjajahan dan hegemoni Barat yang kapitalistik—dengan kembali ke pangkuan Islam—dianggap sebagai reaksi kecemburuan yang berpadu dengan rasa putus asa, teralienasi dari hiruk-pikuk modernitas dan merupakan mimpi yang mustahil. Justru sebaliknya, membebek pada Barat untuk menjawab berbagai problem kontemporer kaum Muslimlah yang sebenarnya merupakan mimpi yang mustahil. “Islam kosmopolitan”, “inklusif”, “tidak boleh ada monopoli kebenaran” dan sejenisnya hanyalah jargon-jargon kosong yang miskin solusi; sama sekali tidak kompatibel untuk menjawab berbagai masalah yang tengah dihadapi kaum Muslim. Jargon-jargon ini lebih mencerminkan sikap obsesif yang membebek pada Barat secara membabi-buta, sembari berfantasi bahwa itu merupakan solusi terhadap berbagai problem kontemporer kaum Muslim. Inilah sikap yang digambarkan oleh Ibn Khaldun sebagai sikap orang yang terjangkit pandemic inveriority complex.
Lagi pula, kalau benar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Allah adalah perjuangan yang mustahil, mengapa Konferensi Khilafah Internasional yang lalu, yang juga diadakan di berbagai belahan dunia, mendapat respon yang begitu luar biasa dari umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia? Mengapa pula, kalau semuanya itu hanya mimpi, George W Bush begitu cemas sehingga menegaskan, “We should open new chapter in the fight against enemies of freedom, against those who in the beginning of XXI century call Muslims to restore caliphate and to spread sharia”?
Kesahihan Hadis Tentang Khilafah
Pertanyaannya: benarkah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut dha‘îf? Benarkah Habib bin Salim Al-Anshari tidak tsiqah? Dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb al-Hafidz berkata, “Abu Hatim menyatakan: tsiqah (terpercaya). Al-Bukhari menyatakan: fîhi nadzar (ia masih harus diteliti). Abu Ahmad bin Adi menilai: Laysa fî mutuni ahaditsihi hadîts[un] munkar bal qad idhtharaba fî asânîdi mâ ruwiya ‘anhu (pada matan-matan hadisnya tidak terdapat hadis mungkar, tetapi ada beberapa sanadnya yang mudhtharib, dan diriwayatkan darinya).”
Kemudian al-Hafidz berkata, “Saya tegaskan bahwa al-Ajiri, berdasarkan penuturan Abu Dawud, menyatakan tsiqah, dan Ibn Hibban memasukannya dalam kitab Ats-Tsiqqat. Dalam kitab Taqrîb at-Tahdzîb, ia menyatakan: lâ ba’tsa bihi (tidak ada masalah dengannya).”
Ungkapan lebih lengkap Imam al-Bukhari di atas terdapat dalam kitab At-Târîkh al-Kabîr. Pada poin ke-2606 tercatat: Habib bin Salim Maula an-Nu’man bin Basyir al-Anshari dari Nu’man, telah meriwayatkan darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad al-Muntasyir, Khalid bin Urfuthah dan Ibrahim bin Muhajir dan ia adalah sekretaris an-Nu’man; fîhi nadzar.
Pada poin ke 3347, ketika al-Bukhari menyatakan bahwa Yazid bin an-Nu’man bin Basyir adalah sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan fîhi nadzar).
Perlu dicatat, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijal dalam Shahîh Muslim. Menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukadimah kitab Shahîh-nya. Jadi, bisa dimengerti mengapa al-Hafidz dalam Taqrîb at-Tahdzîb menyatakan: lâ ba’sa bihi (tidak ada masalah dengannya). Ungkapan ini, menurut ulama ilmu ushul hadis, sebagaimana yang diungkapkan oleh as-Sakhawi dalam Fath al-Mughîts, secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi yang tsiqah. Ibnu Mu’in, sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafidz ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.
Untuk memahami pernyataan Imam al-Bukhari, fîhi nadzar, al-Hafidz ibn Katsir dalam kitab Al-Bâ’its al-Hatsîts fî Ikhtishâri ‘Ulûm al-Hadîts menjelaskan, jika al-Bukhari berkata tentang rajul (hadis), “Sakatû anhu atau fîhi nadzar,” artinya fa innahu yakûnu fî adna al-manâzili wa arda’ihâ ‘indahu, lakinnahu lathîf al-’ibârah fî at-tajrîh (menurut beliau itu ada pada tingkat terendah, tetapi beliau menggunakan ungkapan tajrîh dengan cara yang halus).
Itulah yang dimaksudkan oleh Imam al-Bukhari dengan ungkapan: fîhi nadzar. Agar lebih diskriptif, mari kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (IV/54) tentang hadis seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata, hadis an-Nu’man di dalam isnad-nya terjadi idhtirab. Beliau juga berkata, “Saya mendengar Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tetapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah.”
Dalam kitab ‘Awn al-Ma‘bûd disebutkan bahwa at-Tirmidzi berkata, “Saya bertanya kepada Muhammad bin Ismail (maksudnya al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah. Beliau berkata, ‘Saya menahan diri terhadap hadis ini.’”
Penjelasan at-Tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari di atas. Karena itu, sangat logis jika kemudian Imam Muslim, salah satu murid Imam al-Bukhari, mencantumkan dalam kitab sahih beliau, hadits yang diriwayatkan dari Habib bin Salim.
Lalu bagaimana dengan pernyataan Imam Ibnu Adi: laysa fî mutuni ahâdîtsihi hadîts[un] munkar bal qad idhtharaba fî asânîdi mâ ruwiya ‘anhu? Dalam kitab Al-Kâmil fî Dhu’afâ’ ar-Rijâl, Ibn Adi berkata, “Untuk Habib bin Salim, hadis-hadis yang didiktekan untuknya, sanadnya memang berbeda-beda, meski pada matan hadisnya bukan hadits mungkar, tetapi terjadi idhtirâb pada sanad-sanadnya sebagaimana yang diriwayatkan darinya oleh Habib bin Abi Tsabit.”
Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim.
Dengan demikian, tidak ada alasan yang kuat untuk men-dha‘îf-kan Habib bin Salim al-Anshari. Adapun indikasi idhtirâb yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan at-Tirmidzi di atas. Al-Hafidz al-Manawi dalam kitab Faydh al-Qadîr, dengan mengutip pernyataan al-Hafidz, menyatakan, “Sungguh, Habib bin Salim itu ma‘rûf (populer) dalam riwayat dan ia adalah tâbi‘în yang ma‘rûf.”
Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Mahajjah al-Qarbi ilâ Mahabbah al-’Arab menegaskan, bahwa hadis ini sahih. Ibrahim bin Dawud al-Wasithi di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud at-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijâl lainnya (termasuk) yang dibutuhkan dalam (kitab) sahih.
Karena itu, Ibn Hajar al-Haitsami, dalam Majma‘ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id (V/188) menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini rijâl-nya tsiqah.
Selain itu, tidak benar bahwa bisyârah nabawiyyah akan datangnya Khilafah tersebut hanya didasarkan pada hadis riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar. Masih banyak hadis lain yang maknanya sama dengan hadis tersebut. Misalnya hadis tentang akan datangnya Khilafah di Baitul Maqdis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), at-Thabrani (Musnad Syamiyyin,VI/149), al-Baihaqi (IX/169) dan al-Hakim (XIX/186).
Jadi, keliru sekali, kalau Agus Maftuh menganggap perjuangan untuk menerapkan hukum melalui Khilafah hanya didasarkan pada hadis dha‘îf. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan datangnya Khilafah adalah sahih. Masih banyak hadis lain yang bil ma’na menegaskan hal yang sama.
Tentang ungkapan bahwa hadis Khilafah hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan tidak didukung oleh kitab-kitab hadis lain yang masyhur, ungkapan ini justru lebih menegaskan keawaman Agus Maftuh di bidang Musthalah al-Hadits. Kalangan ulama hadis muta’akhirîn memang telah sepakat untuk menetapkan
Jadi, ini merupakan ikhtiar para ulama hadis untuk menentukan grade kualitas kitab-kitab hadis secara umum. Tentu klasifikasi tersebut tidak mutlak dan tidak otomatis menafikan kitab-kitab yang tidak termasuk Kutub al-Khamsah atau Kutub as-Sittah, seperti As-Sunan al-Kubra karya al-Hafidz al-Kabir Imam al-Baihaqi, Shahîh Ibn Huzaimah, Shahîh Ibnu Hibbân, dan lain-lain.
Generasi Sahabat Memandang Penting Khilafah
Sebagaimana diketahui, sesaat setelah Baginda Rasulullah wafat, para Shabat melakukan musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah untuk menentukkan siapa yang menggantikan posisi Nabi saw. Sebagai kepala negara (khalifah)? Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi musyawarah para Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah tersebut?
Dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264-265), Imam al-Qurthubi menjelaskan, “Seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Sungguh orang akan berkata, ‘Sesungguhnya Imamah itu bukanlah sesuatu yang diwajibkan, baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain. Lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak diwajibkan.’”
Khatimah
Terakhir, perlu ditegaskan bahwa tidak ada politisasi agama di dalam Islam, karena memang Allah menurunkan Islam sebagai rahmat[an] lil ‘âlamîn dengan menurunkan aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Malah semua upaya menyempitkan Islam dengan hanya sebatas ibadah ritual dan just for morality adalah upaya mendistorsi ajaran Islam dan menempatkan diri kita layaknya orang Barat memperlakukan agama Kristen. Kalau kita merujuk pada pendapat para ulama yang mu‘tabar, maka tidak satu pun yang mempersoalkan wajibnya berhukum pada hukum Allah. Khilafah adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kaum Muslim. Tanpa Khilafah, kata al-Ghazali, justru ajaran Islam akan hilang. Wallâhu a‘lam. [Musthafa A. Murtadlo]
apapun masalahnya khilafah SOLUSINYA !!!
Paragraf 3 penting banget tuh
Sadar kalo dirinya terpuruk kok dikatain putus asa.
Bisa menunjukkan fakta kebobrokan kapitalis kok dikatakan cemburu? Fakta kan? siapa cemburu/ngiri sama kapitalis? bukan ngiri, tapi ngeri.
Bayangin, kita nih bukan mo rebut kekuasaan, tapi mo buat kekuasaan sendiri, mo buat ideologi dan sistem sendiri. Bukankah itu orang yang sangat keren dan klewat percaya diri? kok dikatain putus asa. Ato kita dikatain mimpi? ya biarin, orang mimpi aja diributin! Takut ya? masak sama ide mustahil bin mimpi takut? Binon ya? minder ya?
Heh generasi penggila Barat, Kalian pantas untuk jadi bingung. Kalian harusnya lebih ngawur lagi sekarang! Karena istanamu sebentar lagi akan hancur! sebentar lagi kalian bergelar: Generasi Terburuk dalam Sejarah Kaum Muslimin!
yg jelas jaman dulu khilafah masih ada sehingga gak pernah di ributin.. kesimpulannya khilafah itu wajib