Pada dasarnya para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah penafsiran al-Quran dalam kitab-kitab Ulumul Quran dan dalam kitab-kitab lain. Bahkan mereka juga menyusun dan menjelaskan berbagai cabang ilmu yang sangat diperlukan untuk menafsirkan al-Quran al-Karim. Semua ini mereka lakukan untuk mencegah terjadinya penafsiran menyimpang yang justru akan melenyapkan eksistensi al-Quran sebagai petunjuk, rahmat dan pembeda antara yang hak dan bathil. Mereka juga mencurahkan segenap tenaga untuk menjelaskan kandungan isi al-Quran al-Karim secara komprehensif dan sempurna melalui kitab-kitab tafsirnya agar kaum awam tidak terseret ke dalam penafsiran-penafsiran sesat dan menyesatkan.
Sayang, di sepanjang lintasan sejarah Islam, penafsiran al-Quran pernah mengalami penyimpangan-penyimpangan, terutama setelah umat Islam berinteraksi dengan filsafat, keyakinan asing, serta sains dan teknologi Barat. Penyebab penyimpangan yang lain adalah adanya sikap fanatisme mazhab dan kelompok yang berlebihan. Mereka berusaha membela mati-matian mazhab dan kelompoknya dengan cara menakwilkan al-Quran agar sejalan dengan kepentingan mazhab dan kelompok mereka. Penyebab penyimpangan penafsiran al-Quran yang paling berbahaya adalah adanya upaya-upaya sistematis dari kaum orientalis untuk menanamkan pemikiran-pemikiran sesat ala nasionalisme, pluralisme, dan lain sebagainya ke dalam benak kaum Muslim. Akibatnya, muncullah penafsiran-penafsiran ganjil, bahkan menyimpang sangat jauh dari makna sesungguhnya.
Upaya kaum kafir dan antek-anteknya untuk menghancurkan kejernihan dan kesucian pemikiran Islam terus dilakukan dengan cara menjajakan metodologi penafsiran al-Quran yang menyimpang dan sesat semacam hermeneutika dan penafsiran-penafsiran allegori-sufistik. Mereka menggiring umat pada penafsiran-penafsiran yang terlepas dari konteks bahasa Arab maupun riwayat-riwayat yang sahih. Akibatnya, mereka terjatuh ke dalam penafsiran-penafsiran sesat dan menyimpang. Tidak hanya itu, sebagian di antara mereka menggugat kotentikan dan kesucian al-Quran, seraya menolak ayat-ayat yang qath’i dilâlah-nya, semacam kafirnya orang yang memeluk agama selain Islam, sanksi potong tangan bagi pencuri, cambuk bagi pezina, dan lain sebagainya.
Berangkat dari realitas di atas, buku karya Syaikh Atha’ Abu Rasytah ini tak ubahnya api yang cahayanya menembus kegelapan malam sekaligus pemandu bagi orang-orang yang tersesat di dalamnya. Tidak hanya itu, kita juga disuguhi sebuah kajian yang memudahkan kita (taysir) menyelami makna al-Quran yang begitu indah dan mempesona.
Tinjauan Sekilas
Seperti judulnya, kitab ini disusun oleh Syaikh Atha’ Abu Rasytah untuk memudahkan umat Islam dalam memahami kaidah dan penafsiran yang benar. Seperti pandangan Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahullâh, di bagian mukadimah kitab ini, Syaikh Abu Rasytah menyatakan dengan sangat jelas, bahwa al-Quran al-Karim diturunkan dengan bahasa Arab. Semua ungkapan yang ada di dalam al-Quran adalah bahasa Arab, dan tidak ada satu pun ungkapan asing (‘ajam). Ungkapan yang pada asalnya asing, semisal al-istibrâq, berubah menjadi kata bahasa Arab jika sudah di-ta’rîb (arabisasi). Begitu juga uslûb-uslûb (
Hanya saja, walaupun al-Quran diturunkan dengan bahasa dan
Ketika al-Quran diturunkan, tidak semua orang Arab mampu memahami seluruh makna al-Quran, baik yang global maupun yang rinci. Para Sahabat pun berbeda pendapat dalam menafsirkan al-Quran sekadar dengan kekuatan dan kedalaman mereka dalam memahami bahasa Arab dan kecerdasan akal mereka. Anas bin Malik menuturkan sebuah riwayat, bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Umar bin al-Khaththab tentang kata abâ yang terdapat dalam firman Allah: wa fâkihah wa abâ. Diriwayatkan juga dari Umar bin al-Khaththab bahwa ia membaca firman Allah, “Aw ya’khudzuhum ‘ala takhawwuf,” dan menanyakan makna takhawwuf. Seorang laki-laki dari suku Hudzail menjawab, “Menurut kami, takhawwuf adalah at-tanaqqush.”
Di samping itu, ada ayat-ayat al-Quran yang tidak cukup dipahami dengan bahasa Arab dan uslûb-nya saja, tetapi harus dibandingkan dengan pengertian-pengertian dari ungkapan yang lain. Pasalnya, ungkapan-ungkapan yang ada di dalam al-Quran harus dipahami berdasarkan konteks kalimatnya, dan tidak cukup dipahami berdasarkan makna-makna ungkapannya secara mandiri. Contohnya firman Allah: Wa adz-dzâriyâti dzarwa; wa al-fajr wa layâl ‘asyr; dan sebagainya.
Dalam al-Quran juga terdapat ayat-ayat muhkam, yang maknanya jelas, tidak samar. Ayat-ayat semacam ini biasanya berhubungan dengan ushûl al-’aqîdah (pokok-pokok akidah), misalnya ayat-ayat yang turun di Makkah (Makkiyah).
Pada era Sahabat, memang mereka adalah orang-orang yang paling kredibel dalam menafsirkan al-Quran, karena kemampuan bahasa Arab mereka yang tinggi, pergaulan mereka yang erat dengan Rasulullah saw., dan karena mereka juga menyaksikan kondisi dan latar belakang turunnya al-Quran. Namun, mereka pun berbeda pendapat dalam menafsirkan al-Quran. Perbedaan penafsiran di kalangan mereka bisa dimengerti karena di antara mereka pun ada perbedaan dalam hal kemampuan bahasa Arab dan uslûb-nya, tingkat kecerdasan, serta keeratan pergaulan mereka dengan Rasulullah saw. Di kalangan Sahabat, ahli tafsir yang paling menonjol dan masyhur adalah Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Kaab, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas. Keempat Sahabat ini di kemudian hari telah memberikan pengaruh yang sangat besar kepada ahli-ahli tafsir yang lain, baik periode tâbi’în maupun tâbi’ at-tâbi’în.
Ahli tafsir yang paling menonjol di kalangan tabi’în adalah Mujahid, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah maulanya Ibnu Abbas dan Said bin Jabir. Hanya saja, kalangan ulama berbeda pendapat dalam menilai tingkat ke-tsiqqah-an mereka. Mujahid adalah orang yang paling terpercaya. Tafsirnya banyak menjadi rujukan ulama hadis dan fikih, misalnya Imam asy-Syafii dan Imam al-Bukhari. Akan tetapi, sebagian ulama melihat bahwa Mujahid pernah bertanya kepada Ahlul Kitab. Hal inilah yang mencegah sebagian ulama untuk mengambil penafsiran-penafsirannya walaupun mereka tidak meragukan ke-tsiqqah-an Mujahid. Adapun ‘Atha dan ‘Ikrimah, keduanya adalah tsiqqah dan menjadi rujukan para ulama. Imam al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadis dari keduanya.
Setelah itu, muncullah para ulama tafsir yang menempuh metode khusus dalam menafsirkan al-Quran; yakni menyebutkan ayat, kemudian menukil penafsiran Sahabat maupun tâbi’în dengan menyertakan sanad-nya, seperti yang dilakukan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dan Waqi’ bin Jarah. Hanya saja, kitab-kitab tafsir mereka tidak sampai ke tangan kita secara sempurna.
Sumber Penafsiran
Yang dimaksud dengan sumber penafsiran (mashdar at-tafsîr) di sini bukanlah sumber yang dijadikan landasan mufassir dalam menafsirkan al-Quran sesuai dengan pemikiran-pemikiran yang dibawanya, semacam tauhid, fikih, balâghah, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan sumber penafsiran adalah rujukan-rujukan yang dinukil oleh mufassir, yang kemudian mereka pakai untuk menafsirkan al-Quran tanpa memandang lagi tendensi yang hendak diraih dalam tafsirnya.
Pada dasarnya, sumber-sumber penafsiran dibagi menjadi tiga. Pertama: penafsiran yang dinukil dari keterangan Rasulullah saw. Contohnya, dituturkan di dalam riwayat sahih, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Al-Shalât al-wusthâ ash-sholât al-’ashr (Shalat wustha itu adalah shalat ashar). Masih banyak lagi contoh yang lain. Hanya saja, riwayat-riwayat yang boleh dinukil untuk menafsirkan al-Quran haruslah yang dijamin kesahihannya. Adapun riwayat-riwayat yang lemah (dha‘îf) tidak boleh dinukil untuk menafsirkan al-Quran.
Kedua: Ar-Ra’yu (pendapat) atau yang disebut juga dengan ijtihad dalam tafsir. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa seorang mufassir adalah orang yang memahami bahasa Arab beserta uslûb-uslûb-nya, percakapannya, ungkapan dan maknanya melalui syair-syair Jahiliah, natsr, dan lain sebagainya. Mereka juga orang yang paham mengenai konteks dan sebab turunnya ayat al-Quran. Lalu mereka menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut untuk berijtihad dan memahami al-Quran. Jadi, tafsîr bi ar-ra’yi di sini bukan semata-mata menafsirkan al-Quran sesuai dengan kehendak atau opini pribadi seorang mufassir, tetapi penafsiran al-Quran yang berlandaskan bahasa Arab fushah serta hadis-hadis Nabi saw., kejadian-kejadian yang dialami oleh Beliau serta latar belakang diturunkannya al-Quran. Atas dasar itu, yang dimaksud dengan tafsîr bi ar-ra’yi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara memahami dilâlah lafadz-nya, lalu dikaitkan dengan riwayat-riwayat yang berhubungan dengan konteks ayat tersebut. Mayoritas Sahabat sendiri menafsirkan al-Quran dengan cara seperti ini. Mereka menafsirkan al-Quran berdasarkan kekuatan pemahaman mereka terhadap bahasa Arab hingga akhirnya mereka kadang-kadang berbeda pendapat dalam menafsirkan satu kata yang sama. Perbedaan dalam memaknai kata yang sama tersebut bukan disebabkan karena adanya perbedaan riwayat dari Rasulullah saw., tetapi karena perbedaan mereka dalam memahami kata tersebut.
Ketiga: cerita-cerita Israiliyat. Di dalam kitab-kitab tafsir, kita juga akan menjumpai cerita-cerita Israiliyat. Masuknya cerita-cerita Israiliyat ini bermula ketika banyak orang Yahudi dan Nashrani masuk Islam. Di antara mereka adalah orang-orang yang paham terhadap kitab Taurat dan Injil, lalu memasukkan cerita-cerita Israiliyat untuk menjelaskan ayat-ayat al-Quran, terutama ayat-ayat Quran yang bertutur tentang kisah Nabi Musa as. dan Isa as.
Kitab At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr karya Amir Hizbut Tahrir ini merupakan upaya beliau untuk menempatkan tafsir pada koridor penafsiran yang lurus dan benar, hingga generasi berikutnya mampu menghasilkan karya-karya tafsir yang bernilai tinggi, bukan tafsir al-Quran yang diperuntukkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan kaum kafir dan antek-anteknya.
Wallâhu al-Hâdi al-Muwaffiq ila aqwam ath-thâriq. [Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy]
postingan anda sangat bagus…salam kenal ya….dan terus berkarir…untuk memberikan sumbangan keilmuan dan pemahaman akan keislamannnnnnnnnnnnnnnn…