HTI

Fokus (Al Waie)

Menyoal Polugri Indonesia

resize-of-farid-w-800.jpgKunjungan Putin ke Indonesia menimbulkan tanda tanya, akankah Indonesia berkiblat ke Rusia dalam politik luar negeri (Polugri)-nya. Pasalnya, sejak Sebtember 2007, Presiden SBY mulai menjalin hubungan yang cukup intensif dengan Rusia. Dugaan ini dibantah oleh Jubir Presiden Dino Patti Jalal. Menurutnya, hubungan Indonesia dan Rusia adalah dalam kerangka politik keseimbangan (ekuilibrium). “Presiden selalu mengatakan ekuilibrium, tapi ada istilah lain yang digunakan Presiden: all direction forum policy. Berarti, semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership,” tegasnya.

Pendapat yang berbeda dilontarkan oleh Ustad MR Kurnia. Menurutnya, pernyataan Dino Patti Jalal pada dasarnya menunjukkan sikap pragmatisme dalam Polugri Indonesia. Inilah sebenarnya paradigma yang sedang dianut. “Melalui paradigma ini, wajar belaka, apapun dilabrak, yang penting semua pihak ditemani asalkan ada manfaatnya,” ujarnya.

Namun, Ketua Lajnah Siyasiyah HTI ini mengkritisi manfaat apa yang diperoleh rakyat Indonesia selama ini. Menurutnya, selama ini hubungan luar negeri Indonesia, terutama dengan negara-negara besar, justru lebih banyak memberikan kerugian dibandingkan keuntungan. MR Kurnia mencontohkan, lepasnya Timor Timur merupakan contoh nyata kegagalan politik luar negeri Indonesia. “Saat itu Indonesia hanya mengekor saja pada kebijakan PBB dan tekanan asing. Akibatnya, di bawah tekanan dan konspirasi PBB, Australia, dan AS, diadakan referendum yang berakibat pada lepasnya Timtim,” paparnya.

Hal yang sama dilontarkan Budi Mulyana, staf pengajar Hubungan Internasional UNIKOM Bandung. Menurutnya, selama ini Indonesia lebih banyak dirugikan, bukan saja secara politik, tetapi juga ekonomi. Budi mencontohkankan lepasnya Blok Cepu dari Indonesia setelah mendapat tekanan politik dari AS. Ini menunjukkan kegagalan politik luar negeri Indonesia. Tentu saja bukan suatu kebetulan, saat terjadi perundingan alot Blok Cepu, beberapa pejabat tinggi AS, Menlu AS Condoleeza Rice (14-15 Maret 2006) dan Menhan AS Donald Rumsfeld (6 Juni 2006), datang ke Indonesia. Hal yang sama terjadi di Era Soeharto. Banyak pihak menduga pemberian tambang emas di Papua yang melimpah kepada perusahaan AS (PT Freeport) tidak bisa dilepaskan dari tekanan politik setelah Soeharto didukung oleh AS.

Kasus Perjanjian DCA Singapura-Indonesia adalah contoh lain, meskipun kemudian dibatalkan. Awalnya Pemerintah begitu ngotot untuk mengegolkan perjanjian ini meskipun sangat merugikan dilihat dari pertahanan dan keamanan Indonesia. Perjanjian ini akan memberikan jalan bagi Singapura, termasuk AS, untuk dengan memudah memasuki wilayah Indonesia.

DPR-RI juga bersiap-siap meratifikasi pernjanjian keamanan RI-Australia (Lombok Treaty) (Antara, 13/11). Padahal Australia diketahui sebagai sherif AS di Asia Pasifik yang selalu menempatkan Indonesia sebagai ancaman dengan prinsip pre-emptive. Artinya, Australia siap menyerang siapapun meskipun belum diserang. Australia juga sering merongrong Indonesia dalam kasus Timor Timur, Papua, dan RMS. Perjanjian keamanan tersebut justru akan memperkuat campur-tangan Australia di Indonesia.


Isu Dunia Islam

Banyak pihak juga mempertanyakan posisi politik luar negeri Indonesia terhadap isu Dunia Islam. Menurut MR Kurnia, yang juga salah seorang anggota DPP HTI, Pemerintah Indonesia selama ini lebih banyak retorika, tidak ada aksi kongkret, bahkan cenderung mengikuti grand design AS. Dalam kasus Palestina, Indonesia juga tidak pernah sungguh-sungguh mempersoalkan posisi AS yang mendukung penuh Israel. Padahal dukungan AS inilah yang mengokohkan penjajahan Israel di Palestina. Pemerintah malah meminta Hamas untuk mengakui Israel, kebijakan yang sejalan dengan keinginan Amerika Serikat. Ketika Lebanon Selatan diserang, Indonesia hanya mengecam, tidak ada tindakan kongkret. Pemerintah baru mengirim pasukan setelah perang berakhir, itu pun setelah AS setuju dikirim pasukan perdamaian di sana.

Kebijakan politik luar negeri yang anti penjajahan juga kabur ketika Pemerintah ‘lewat jalan belakang’ diduga menjalin hubungan dengan Israel yang jelas-jelas merupakan penjajah. Tidaklah mengherankan kalau Shimon Peres (Presiden Israel) menyatakan, bahwa underground relations (hubungan bawah tanah) Indonesia dengan Israel telah terbangun lama. “Kami punya hubungan baik dengan Mesir, Jordania, Turki dan juga Indonesia,” ujarnya. (Jawa Pos, 4/11/2007).

MR Kurnia menyayangkan mengapa Pemerintah membiarkan Yahudi Israel yang tengah menjajah Muslim Palestina melakukan aktivitasnya di Indonesia.

Di antara bukti adanya jalinan kerjasama itu adalah hadirnya American Jewish World Service (AJWS) di Aceh. Menurut Elizabeth A Toder, Senior Program Officer AJWS di Foreign Press Center New York, misi organisasi ini adalah ikut ‘menyembuhkan’ dunia. Caranya, bekerjasama dengan mitra lokal untuk mengembangkan masyarakat pedesaan. AJWS pernah mendanai Kontras dan menyokong bantuan Solidaritas Perempuan (Kompas, 19/11/2005). Seperti diketahui, Solidaritas Perempuan adalah di antara yang menolak RUU Anti Pornografi-Pornoaksi yang hingga kini tidak jelas juntrungannya.

Di samping itu, Pemerintah dan DPR ‘merestui’ rencana kedatangan delegasi Parlemen Israel dalam sidang organisasi parlemen sedunia (Inter Parliamentary Union/IPU) di Bali pada 29 April hingga 4 Mei 2007 lalu. Namun, atas desakan berbagai komponen Islam, anggota Parlemen Indonesia yang tergabung dalam Kaukus Parlemen Indonesia untuk Palestina menolak kedatangan mereka (Antara News, 18/4/07).

Selain itu, utusan Israel telah menyampaikan ketertarikannya untuk memasuki bisnis kilang minyak dan bahan bakar nabati di Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada akhir Agustus lalu (Republika, 7/9/2007). Rencana investasi oleh Merhavv Group dari Israel ini adalah senilai 700 juta dolar AS atau sekitar Rp 6 triliun.

Sebelumnya (5/9/2007), Menteri Perindustrian (Menperin) Fahmi Idris tidak keberatan dengan rencana Israel masuk ke bisnis kilang dan bahan bakar nabati di Indonesia. Menurutnya, hubungan dagang dengan Israel berbeda dengan hubungan diplomatik.

Di sisi lain, Pemerintah SBY membiarkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf melakukan kunjungan kerja langsung ke AS. Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan internasional dan Pemerintah AS dalam rangka membantu kelanjutan proses rehab-rekons di Aceh setelah masa tugas BRR di Aceh berakhir pada pertengahan 2009 mendatang. Jelas, ini berarti menjadikan AS yang sedang menjajah beberapa negeri Muslim sebagai wali (pendukung/penolong). Padahal Allah melarangnya.

Selain itu, hasilnya, seperti kata Irwandi (12/9/2007), adalah spekulan pasar uang dunia, George Soros yang juga penyokong Israel, berencana akan menanamkan investasi dalam bidang perkebunan kelapa sawit seluas 20.000 hektar di Aceh. Serambi Makkah siap dimasuki Soros. Maryland Port Administartion—perusahaan pelabuhan di Baltimore, Maryland—siap mengajak Aceh membuat pelabuhan kembar. Pelabuhan Maryland merupakan salah satu yang modern di dunia. Kalau ini terjadi, berarti Selat Malaka dapat dikontrol oleh AS.

Bukti lain, dalam kasus Irak, Indonesia menyerukan agar persoalan Irak bukan hanya dibebankan kepada AS, tetapi harus menjadi persoalan internasional. Sikap ini dianggap tidak lebih merupakan corong suara Amerika Serikat yang memang menginginkan hal yang sama. Jadi, selama ini kebijakan politik luar negeri Indonesia konsisten untuk tidak berseberangan dengan AS.

Indonesia juga secara terbuka memberikan dukungan terhadap Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) nomor 1747, yang intinya, menjatuhkan sanksi kepada Iran dengan alasan memiliki senjata nuklir. Dukungan Indonesia terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1747 ini dianggap telah melukai negara sabahat, Iran. Padahal sebelumnya Indonesia mengatakan akan mendukung kebijakan nuklir Iran. Ada juga yang menyatakan, Indonesia telah keluar dari kebijakan politik luar negeri bebas dan aktif. Pemerintah dianggap lebih memilih tunduk pada kepentingan Amerika Serikat. Apalagi Juru Bicara Bush, Tony Snow dalam pernyataan pers-nya (19/03/2007) mengatakan, bahwa SBY dan Bush telah berdiskusi tentang kebijakan resolusi Dewan Keamanan PBB, termasuk di dalamnya soal draf resolusi yang dijatuhkan kepada Iran jika menolak menghentikan program nuklirnya seperti seruan dunia internasional (www.whitehouse.gov). Sulit untuk menyatakan bahwa pembicaraan ini tidak mengandung muatan tekanan AS. Tentunya bukan hal yang biasa, kalau presiden negara besar seperti AS melakukan kontak langsung dengan presiden dari negara lain, kecuali ada maksud tertentu di balik itu. Hal ini diamini oleh Andi Mallarangeng dalam wawancaranya dengan salah satu radio terkenal di Jakarta (30/3/2007). Juru Bicara Kepresidenan ini mengakui, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditelepon oleh Presiden AS George W. Bush tiga hari sebelum voting resolusi. Bagaimanapun, pembicaraan langsung dua kepala negara tersebut tidak akan lepas dari persoalan penjatuhan sanksi kepada Iran. Itu pula sebabnya, mengapa Pemerintah Indonesia tidak berani menolak atau sekedar abstain dalam resolusi tersebut.

Indonesia juga dianggap terlalu mengekor Barat dalam agenda Perang Melawan Terorisme. Kerjasama anti teroris dengan AS, Australia dan sekutunya lebih ditujukan untuk kepentingan Barat. Terbukti, dengan dijadikannya Islam dan kelompok Islam sebagai target utama dalam perang ini.

Kondisi politik luar negeri Indonesia ini disayangkan oleh MR Kurnia. Menurutnya, umat Islam merindukan sosok pemimpin seperti Khalifah Sultan Abdul Hamid II yang secara tegas dan berwibawa menolak upaya Theodore Hertzel, pemimpin Zionis Yahudi, untuk mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Sebaliknya, pemimpin di negeri-negeri Muslim saat ini tidak ada yang berani melawan Israel meski hanya dengan kata-kata sekalipun. Bahkan yang lebih parah dari itu, mereka justru bermanis muka dengan sang penjajah hanya karena kepentingan investasi. “Inilah akibat kekeliruan paradigma hubungan luar negeri; semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership. Akibatnya, musuh dan penjajah pun dijadikan teman,” tegasnya. [Farid Wadjdi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*