Pengantar:
Sepanjang tahun 2007, keadaan Indonesia masih amat memprihatinkan. Alih-alih berubah ke arah yang lebih baik, dalam berbagai bidang, Indonesia makin terpuruk. Politik luar negeri Indonesia makin membebek pada asing. Ekonomi Indonesia makin terseok-seok. Asing makin dalam melakukan intervensi. Sebaliknya, angka kemiskinan makin meningkat dan pengangguran makin banyak. Di sisi lain, korupsi makin tak terkendali. Mengapa semua ini terjadi? Apa sebabnya? Bisakah potret buram Indonesia segera dapat berakhir? Bagaimana solusinya?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kami mewawancarai Ketua Lajnah Siyasiyah sekaligus salah seorang anggota DPP HTI, Ustadz MR Kurnia. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Ustadz melihat Polugri Indonesia setahun ini?
Saya melihat politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun 2007 semakin meninggalkan prinsip ‘bebas dan aktif’. Beberapa kebijakan luar negeri yang diambil justru semakin menunjukkan Indonesia lebih berkiblat pada kepentingan Barat, terutama AS dan sekutunya. Idealisme seperti anti penjajahan, anti ketidakadilan dan kezaliman dalam Polugri Indonesia kemudian hanya sekadar retorika.
Dukungan Indonesia terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1747 yang memberikan sanksi terhadap Iran menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia tunduk pada tekanan AS.
Indonesia juga datang pada perjanjian Israel-Palestina di Annapolis yang diprakarsai AS tanpa menyertakan Hamas sebagai kelompok Islam pemenang Pemilu di sana. Semua ini makin mempertegas bahwa Indonesia pro AS dan Israel.
Hubungan Indonesia dengan penjajah pun terjalin sekalipun secara diam-diam, misalnya dengan Israel yang merupakan ‘anak emas’ AS. Terjalinnya hubungan baik ini secara terbuka diakui Shimon Peres (Presiden Israel) dengan menyatakan bahwa underground relations (hubungan bawah tanah) Indonesia dengan Israel telah terbangun lama.
Intervensi asing juga demikian kuat. Sepanjang tahun 2007 ini kita merasakan derasnya arus intervensi asing, khususnya yang dilakukan oleh negara-negara adidaya seperti AS dan Inggris. Di bidang ekonomi, lahirlah UU Migas dan UU Penanaman Modal yang sarat kepentingan asing. Di bidang politik ditandatangani perundingan kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dengan Singapura yang sebenarnya hanya perpanjangan tangan AS. Suara disintegrasi di Papua dan Maluku Selatan tidak lepas dari intervensi asing, khususnya AS dan Australia.
Apa yang membuat seperti itu?
Pertama: sikap Pemerintah yang tidak mandiri. Mereka sangat bergantung kepada asing. Ini antara lain karena Pemerintah telah menjeratkan diri sendiri dengan utang luar negeri.
Kedua: prinsip politik luar negerinya tidak jelas. Saat masih dalam situasi Perang Dingin politik bebas aktif Indonesia diwujudkan dalam gerakan Non Blok. Sekarang, pasca kehancuran Uni Sovyet, politik luar negeri dimaknai sebagai tidak mengambil sikap kecuali sesuai dengan kebijakan PBB. Padahal PBB merupakan salah satu alat AS untuk menjajah bangsa lain. Wajar, pada akhirnya sikap Pemerintah Indonesia selalu di belakang AS. Karenanya, tidak mengherankan jika Pemerintah Indonesia disebut oleh Bush dan Condollizza Rice sebagai ’sahabat baik’.
Ketiga: saya melihat politik luar negeri yang dikembangkan adalah ’biar tekor asal kesohor’. Lihatlah, Presiden bangga mendapatkan penghargaan demokrasi dan Indonesia dielu-elukan di luar negeri. Ironinya, kemiskinan terjadi dimana-mana, kesenjangan kekayaan dan kesejahteraan rakyat dengan pejabat kian menganga, dan lain-lain. Seolah-olah, kondisi di dalam carut-marut tidak masalah, yang penting baik di mata asing.
Keempat: karena memang mau diintervensi akibat inferior terhadap negara besar.
Lalu bagaimana Polugri Indonesia ke depan?
Selama prinsip yang dijalankan tidak berubah, maka politik luar negeri Indonesia akan tetap sebagai pengekor AS. Politik luar negeri demikian lebih banyak merugikan rakyat Indonesia sendiri dan lebih menguntungkan penguasa.
Lalu berkaitan dengan tugas Pemerintah untuk melayani rakyat, bagaimana pandangan Ustadz mengenai kebijakan-kebijakan Pemerintah selama ini?
Dalam kurun satu tahun ini kebijakan-kebijakan Pemerintah lebih berpihak kepada para pemilik modal dan pihak asing.
Bagaimana kondisi kesejahteraan rakyat dan kebijakan Pemerintah dalam kaitan hal itu selama tahun 2007?
Yang pasti jumlah rakyat miskin masih cukup banyak dan tidak mengalami perubahan secara signifikan. Pada tahun 2007 ini, Bank Dunia menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia tetap di atas 100 juta orang atau 42,6%.
Pengangguran di Indonesia juga sangat tinggi. Menurut Wakil Sekjen Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryono Darudono, pengangguran di Indonesia yang sekitar 40 jutaan telah menjadi ancaman buat ASEAN. Kontribusi Indonesia pada angka pengangguran di wilayah itu mencapai 60%.
Lalu di bidang perumahan diperkirakan masih ada 13 juta unit rumah yang tidak layak huni. Pemukiman kumuh perkotaan terdapat di ribuan lokasi dengan total luas mencapai 118 ribu hektare, yang dihuni oleh 17,2 juta penduduk. Selain itu, ada ribuan anak terlantar karena rumah mereka digusur paksa oleh Pemerintah atau terkena bencana seperti korban lumpur Lapindo.
Pada sektor pendidikan, alokasi anggaran pendidikan yang hanya 11,85% dari mandat sebesar 20%, mengindikasikan Pemerintah tidak peduli dengan banyaknya anak-anak miskin yang putus sekolah saat keluarganya terbebani biaya ekonomi yang tinggi. Education Watch Indonesia menyatakan bahwa angka siswa putus sekolah di Indonesia mencapai 36,73%.
Upaya Pemerintah mengurangi jumlah rakyat miskin tampak gagal. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, di antaranya karena sektor real tidak bergerak. Dana masyarakat yang berjumlah lebih dari Rp 210 triliun ternyata oleh bank-bank yang ada hanya disimpan di BI melalui instrumen SBI. Akibatnya, bank sentral harus mengeluarkan bunga lebih dari Rp 20 triliun setahun.
Lalu bagaimana kondisi perekonomian Indonesia selama tahun 2007, khususnya sesudah dikeluarkan UU Penanaman Modal?
Jelas, asing makin menguasai perekonomian Indonesia. UU tersebut merupakan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik. Perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freepot dan lainnya makin mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Akibatnya, konstribusi SDA Migas dan Non-Migas terhadap APBN makin lama makin kecil. Sementara itu, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan perkwartal TDL, telepon dan BBM. Lihatlah, Indosat dijual, PLN diprivatisasi, perusahaan air minum didominasi asing, pendidikan asing mulai bertebaran di Indonesia, SPBU asing mulai dibangun di banyak tempat, bahkan kecap pun milik asing. Bahkan atas nama investasi, Indonesia juga berhubungan dengan penjajah Israel. Kita ingat, Merhavv Group dari Israel konon akan berinvestasi senilai 700 juta dolar AS atau sekitar Rp 6 triliun di Indonesia. Jadi, Indonesia makin dikuasai asing.
Bagaimana pula dengan aspek good goverment dan good governance, termasuk penanganan masalah korupsi di negeri ini dalam setahun ini?
Sepanjang tahun 2007 kepercayaan rakyat kepada legislatif, eksekutif dan yudikatif menurun. Setidaknya itu didasarkan pada hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI). LSI menemukan bahwa 65% publik menyatakan partai politik di lembaga legislatif tidak merepresentasikan aspirasi mereka, kepuasan publik terhadap Pemerintah terus menurun dari 80% di bulan November 2004 menjadi 54% di bulan Oktober 2007.
Litbang Media Indonesia juga menyebutkan dalam penelitiannya bahwa kinerja hakim agung di MA tidak memuaskan (71%), korupsi di MA makin meningkat (54%), pemberantasan korupsi di MA tidak sungguh-sungguh (78%), dan peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%).
Korupsi pun terjadi di lembaga-lembaga tersebut. Indonesia merupakan negara terkorup ke 143 dari 180 negara.
Secara umum menurut Ustadz, bagaimana kondisi negeri ini dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya dan kondisi yang menjadi harapan?
Yang pasti, kesejahteraan rakyat belum beranjak. Begitu juga kondisi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ekonomi dan politik makin liberal dan kapitalistik. Asing juga makin mencengkeramkan kukunya di negeri kita ini.
Apa yang menjadi sebab semua itu?
Sebabnya ada dua. Pertama: sistem yang diterapkannya buruk. Kedua: orangnya yang tidak amanah.
Lalu bagaimana dan seberapa besar peluang kondisi yang lebih baik bisa diwujudkan ke depan dan apa yang harus kita lakukan?
Sebenarnya peluang menjadi baik cukup besar. Syaratnya: (1) Tinggalkan sekularisme-kapitalisme, lalu beralih pada Islam. (2) Lepaskan diri dari sikap terjajah yang rela dicengkeram asing; putuskan hubungan keterjajahan dengan AS dan sekutunya; hentikan para komprador. (3) Jika kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Zat Yang Mahabaik. Itulah syariah Allah. Pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu dengan kepemimpinan yang baik pula. Itulah khalifah/khilafah. (4) Berjuang tanpa henti untuk menyadarkan masyarakat. []