Seperti sebuah rutinitas, pada bulan Muharram 1429 H ini, kaum Muslim kembali memperingati hijrahnya Rasulullah saw. Berbagai acara digelar, mulai dari tabligh akbar, diskusi hingga karnaval budaya dan seni. Tentu sah-sah saja umat Islam melakukan itu, sebab hijrah merupakan peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Islam.
Namun, kita harus juga mengakui, meskipun berbagai peringatan telah banyak dilakukan, belum terdapat perubahan yang signifikan dari masyarakat kita. Bisa disebut kehidupan umat Islam masih dalam keadaan mundur. Bahkan ada kecenderungan kita kembali ke masa Jahiliah.
Dalam sistem ekonomi, pilar penting sistem Jahiliah dulu adalah riba, kecurangan, upaya menghalalkan segala cara dan penumpukan kekayaan pada elit-elit terkemuka masyarakat. Kenyataannya hal yang sama terjadi pada umat Islam kini. Riba menjadi salah satu pilar penting dalam ekonomi Kapitalisme. Bisa disebut tidak ada aktivitas ekonomi Kapitalisme yang lepas dari riba. Riba seakan menjadi jantung sistem Kapitalisme.
Kecurangan yang dikecam Allah Swt. dalam surah al-Muthaffifin memang menjadi tradisi perdagangan pada waktu itu. Mengurangi timbangan, menyembunyikan cacat barang yang diperdagangkan, bahkan merekayasa barang yang cacat seakan bagus, menjadi hal yang biasa ditemukan dalam sistem Jahiliah dulu.
Hal yang sama kita temukan sekarang. Hampir tidak ada timbangan yang benar-benar jujur. Timbangan buah-buahan, sayur-mayur di-’akali’, tabung gas tidak sesuai dengan berat yang tertera, pom bensin mengurangi takaran, hingga taksi memainkan argometernya secara curang. Kecurangan seperti ini tidak saja terjadi dipasar. Jual-beli yang dilakukan instansi Pemerintah pun penuh dengan kecurangan. Kualitas barang tidak sesuai dengan harga yang dicantumkan; jumlah barang dikorup. Ketika membangun jembatan, kualitas dan takaran semen dikurangi. Kecenderungan pedagang untuk menimbun barang pun terjadi. Minyak tanah ditimbun, sembako ditimbun. Akibatnya, harga-harga melangit tidak terjangkau oleh masyarakat; bukan karena perkara yang alami, namun ulah spekulan. Gejala kecurangan hampir terjadi di semua aspek.
Dalam sistem ekonomi Jahiliah seperti itu, wajar terjadi ketimpangan di tengah-tengah masyarakat. Harta bertumpuk pada sekelompok orang saja yang memiliki modal dan kekuasaan. Mereka adalah elit-elit Jahiliah Quraisy dan pedagang Yahudi yang memang biasa curang.
Hal yang lebih kurang sama terjadi saat ini. Kesenjangan dalam sistem Kapitalisme sangat menyolok mata. Bayangkan, pada saat ekonomi masyarakat semakin sulit, harga-harga mahal, kemiskinan dan pengangguran bertambah, seorang menteri malah melonjak kekayaannya. Menko Kesejahteraan ini ditaksir memiliki kekayaan senilai 5,4 miliar dolar AS (hampir Rp 50 triliun), naik dari 1,2 miliar dolar (tahun 2006). Indonesia negeri Muslim yang kaya, sementara rakyatnya hidup menderita.
Di bidang sosial-budaya, kondisi sekarang hampir mirip bahkan kadang lebih tragis dengan masa Jahiliah. Di masa Jahiliah pelacuran dan perzinaan merajalela, bahkan dianggap budaya. Rumah-rumah pelacur diberi tanda khusus. Kondisi yang sama terjadi sekarang ini. Perzinaan dan pelacuran hampir bisa ditemukan dengan gampang. Pelacuran dilindungi dengan cara lokalisasi. Hotel-hotel, Night Club, kafe dan menjadikan pelacuran menjadi daya tarik. Kemaksiatan dilegalisasi dengan alasan meraih keuntungan pajak, yang juga tidak jelas penggunaannya.
Kalau pada masa Jahiliah dulu, yang dibunuh hanya anak perempuan karena dianggap aib yang memalukan, sekarang tidak pandang bulu; laki-laki atau perempuan, semuanya dibunuh atas nama aborsi. Dari berbagai laporan resmi diperkirakan lebih kurang 1 juta bayi yang tidak bersalah diaborsi orangtuanya dengan berbagai alasan. Tingginya tingkat aborsi ini merupakan buah dari budaya liberal yang semakin menguat.
Sistem politik pun sama jahiliahnya. Kedaulatan membuat hukum pada saat itu ada di tangan pemuka-pemuka masyarakat atau elit politik. Hukum ditentukan oleh mereka berdasarkan hawa nafsu. Tidak jauh beda dengan sistem demokrasi sekarang yang menjadikan manusia menjadi sumber hukum atas nama kedaulatan rakyat. Padahal realitasnya, yang mengambil keputusan bukanlah rakyat, tetapi elit politik dengan mengatasnamakan rakyat. Tidak aneh jika keputusan yang diambil oleh para elit politik di parlemen justru bertentangan dengan kepentingan rakyat. Sistem Jahiliah dan demokrasi esensinya sama, yakni menjadikan manusia, tepatnya hawa nafsu manusia, sebagai sumber hukum.
Ilusi Demokrasi Menyejahterakan
Berbagai pujian dan penghargaan tentang demokrasi di Indonesia meluncur dari Barat. Hampir setiap tahun sejak reformasi, pujian itu datang. Ketika Pemilu 1999 yang diikuti oleh multipartai sukses, Indonesia mendapatkan selamat dan pujian dari para pemimpin Barat karena berhasil menjalankan proses demokrasi.
Terakhir, pertengahan Nopember lalu. Indonesia menerima penghargaan demokrasi (Democracy Award). Penghargaan ini diberikan oleh Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC/International Association of Political Consultant)—organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi. Indonesia dinilai berhasil dalam mengembangkan proses transisi demokrasi. Presiden IAPC Ben Goddard menyatakan, penghargaan itu diberikan karena Indonesia telah menunjukkan komitmennya pada demokrasi. ‘’Bangsa Indonesia telah membuktikan pada dunia bahwa mengembangkan dan mempraktikkan sistem yang sungguh-sungguh demokratis tak bertentangan dengan Islam, yang justru menyemangati dan mendukung sistem demokrasi tersebut,’’ kata Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (Republika, 12/11/2007).
Kementerian Luar Negari Amerika Serikat dalam laporan, “Dukungan Terhadap HAM dan Demokrasi: Catatan AS 2006” yang diserahkan kepada Kongres AS mencatat, “Indonesia, negara demokratis ketiga terbesar di dunia dan tempat bermukimnya populasi Muslim terbesar di dunia, telah melangkah lebih jauh untuk mengkonsolidasi sebuah demokrasi yang pluralistik dan representatif setelah empat dekade berada di bawah pemerintahan yang represif dan otoriter.”
Sebelumnya, mantan Presiden AS Jimmy Carter memuji percepatan demokratisasi yang dicapai Indonesia. Ia menilai perubahan dari sistem otoriter ke sistem demokrasi yang terjadi hanya dalam waktu enam tahun merupakan hal yang luar biasa. “Karena itu, bangsa Indonesia patut diberi selamat,” tutur Carter (Kompas, 5/7/2004).
Bahkan Freedom House, yang secara rutin melakukan survei tentang kebebasan, menganggap Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar yang patut dijadikan model bagi negara-negara Muslim lainnya. Sejak 2005, Freedom House memasukkan Indonesia ke dalam kategori negeri bebas (free), sejajar dengan negara-negara maju di dunia Barat.
Pujian dan penghargaan ini tentu disambut gembira oleh para penguasa negeri ini. “Terlepas dari guncangan hebat akibat pergantian empat kali presiden selama periode 1998-2002, demokrasi Indonesia telah menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,” ujar Presiden SBY saat menerima penghargaan demokrasi.
Demokrasi dan Kesejahteraan
Sebagai sebuah sistem nilai, demokrasi berhasil ditanamkan, malah kini telah menjadi standar nilai. Impian setinggi langit pun digantungkan kepada demokrasi ini. Banyak orang berharap, dengan demokrasi Indonesia bisa segera terlepas dari keterpurukan dan rakyat menjadi sejahtera.
Namun realitasnya, reformasi yang dipuji-puji sangat demokratis dan telah berlangsung lebih dari 10 tahun tidak memberikan dampak positif bagi rakyat, kecuali sering diminta ikut Pemilu/Pilkada/Pilkades. Pergantian presiden hingga empat orang toh tak memberikan pengaruh bagi perbaikan ekonomi. Harga BBM dan kebutuhan pokok naik, korupsi merajalela, pendidikan dan kesehatan mahal, pengangguran meningkat, kemiskinan bertambah, berbagai penyakit merebak di mana-mana, dan berbagai penderitaan dialami rakyat.
Di sebagian masyarakat justru muncul frustasi. Saking frustasinya, banyak celetukan di masyarakat, “Lebih enak pada masa Soeharto.” Padahal banyak pihak menyatakan Soeharto tidak demokratis pada masa itu. Bank Dunia menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk. Angka ini tidak jauh berbeda dengan temuan Biro Pusat Statistik (BPS) dari Februari 2005 sampai Maret 2006. Bahkan BPS menyatakan, pada Februari 2005, sekitar 30,29 persen penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006 (Demografi, Oktober 2006).
Demokrasi yang dibangun dengan uang rakyat hanya menguntungkan elit. Ada ketimpangan kebutuhan antara elit dan rakyat. Menu utama rakyat kebanyakan adalah sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan gratis (terjangkau). Sebaliknya menu elit adalah demokrasi, HAM, dan kebebasan bicara, berorganisasi, pers, demo, kebebasan main devisa, dan kebebasan impor barang serta mobil mewah. Ini bisa dilihat dari pernyataan Menhan Juwono Sudarsono. Menurutnya, hanya sekitar 10 persen penduduk Indonesia yang bisa menikmati demokrasi, yaitu yang kondisi ekonominya sudah mapan. Dengan kata lain, 90 persen penduduk masih bergulat dengan kesulitan ekonomi sehari-hari.
Demokrasi juga telah melahirkan orang-orang kaya baru dari jalur politik di seluruh wilayah Indonesia. Ini yang menimbulkan rasa kecemburuan dan ketidakadilan pada rakyat. Banyak orang mencari penghidupan dari proses demokrasi ini. Setiap hajatan demokrasi pasti ada uang. Jangan berharap bisa ikut andil dalam proses politik tanpa ada uang/sponsor. Inilah sebab mengapa KKN sulit diberantas.
Fakta di beberapa negara menunjukkan bahwa demokrasi tak terkait dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Filipina nasibnya mirip dengan Indonesia. Meski berdemokrasi sejak tumbangnya Presiden Marcos, sampai sekarang rakyatnya miskin. India juga demikian; berpuluh-puluh tahun negara ini menerapkan demokrasi, tetapi kemiskinan pun tak menurun. Sebaliknya, negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Cina yang tidak menerapkan demokrasi, rakyatnya lebih sejahtera dibandingkan dengan Indonesia.
Worldaudit.org mengeluarkan rangking pencapaian demokrasi seluruh negara di dunia. Dalam laporan Oktober 2007, lembaga itu menempatkan Indonesia pada urutan ke-73. Ini jauh lebih baik dibandingkan dengan Singapura (77), Malaysia (85), Thailand (89). Namun dalam, hal kesejahteraan yang diukur melalui Human Development Index (HDI), posisi Indonesia jauh lebih rendah di bawah negara-negara tetangga tersebut. Indonesia berada pada posisi ke-107, India 128; jauh dibandingkan dengan Malaysia (63), Singapura (25), Brunei (30), dan Thailand (78) (HDI 2007 yang dikeluarkan oleh UNDP). Dua indikator ini menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara demokrasi dan kesejahteraan.
Apa yang dialami Indonesia ini tak berbeda dengan yang terjadi di Eropa Timur. Sebanyak 13 negara yang menjadi demokrasi sejak tahun 1990 ternyata gagal menyejahterakan rakyatnya. Ini ditandai dengan meningkatnya jumlah kematian bayi dan anak dari semula 12,6 persen mejadi 13,4 persen. Berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California,
Karena itu, sungguh sangat naif orang yang menganggap demokrasi sebagai cara dan tujuan bagi sebuah negara. Demokrasi menjadi tuntutan dari globalisasi, sebagaimana demokrasi diperlukan untuk mendukung mekanisme pasar bebas—laissez faire. Demokrasi bergerak ke satu arah: demokrasi liberal, karena hanya demokrasi dengan pola ini yang paling cocok untuk liberalisasi perdagangan dunia; karena hanya demokrasi ini yang paling cocok dengan demokrasi Amerika (Riant N, 2005). Memang, untuk itulah demokrasi disebarkan dan ditancapkan di dunia.
Demokrasi bukan barang gratis; butuh dana besar untuk menggapainya. Bahkan untuk kelahirannya saja, ongkos sudah dikeluarkan. Kelahiran demokrasi Pancasila memakan korban ribuan orang. Demokrasi liberal seperti sekarang pun sama; infrastruktur publik di ibukota hancur. Bersamanya ratusan nyawa orang melayang.
Proses Pemilihan Umum yang menjadi salah satu pilar demokrasi pun sangat mahal. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat mengajukan anggaran Pemilu 2009 sebesar Rp 47,9 triliun. Banyak orang kaget dengan usulan itu, karena pada Pemilu 2004 anggaran APBN untuk Pemilu hanya Rp 2,3 triliun. Namun, ternyata anggarannya memang besar karena KPU sebenarnya hanya usul sebesar Rp 22,3 triliun, sedangkan sisanya merupakan dana dukungan APBD. Anggaran untuk tahun 2003 dan 2004 dari APBD pun ternyata sangat besar; masing-masing Rp 16 triliun dan Rp 32 triliun. Jadi, rata-rata setiap Pemilu butuh dana sekitar Rp 47 triliun. Dana itu setara dengan 1,6 juta rumah yang harganya Rp 30 juta.
Sulit sekali rasanya kocek APBN bisa memenuhi semua itu dari pendapatan dalam negeri. Alternatifnya adalah dana asing alias utang luar negeri. Pengalaman Pemilu 1999 lalu menunjukkan hal itu. Transparansi Indonesia, sebuah LSM, mengungkapkan dana untuk kepentingan Pemilu ini dikumpulkan dari berbagai negara di bawah koordinasi program Pembangunan PBB, UNDP. Bantuan (baca: utang) digunakan untuk tiga hal: membenahi administrasi seperti Komite Pemilihan Umum (KPU); memberikan fasilitas pelatihan pengawas Pemilu; pengawasan Pemilu lokal. Di luar dana itu ada dana langsung dari Amerika Serikat.
Dampak jangka panjang dari beban utang tersebut adalah penderitaan rakyat. Tidak mungkin utang itu akan dilunasi oleh para penguasa atau wakil rakyat terpilih. Utang akan dibebankan kepada rakyat. Walhasil, alih-alih tambah sejahtera dengan demokrasi, beban utang justru bertambah.
Kembali ke Sistem Islam
Yang pasti, hingga kini mahalnya demokrasi ini belum mampu menunjukkan bukti membawa kesejahteraan. Sebaliknya, demokrasi mendorong liberalisme di semua segi.
Rasanya ini patut disadari. Kolom The International Herald Tribune (9/2/1998) menulis, “Democracy does not guarantee that you will never have an economic crises (Demokrasi tidak menjamin bahwa Anda tidak pernah memiliki krisis ekonomi).”
Buku panduan terbitan Kedubes AS di Jakarta menjelang Pemilu 1999 pun menulis, “Demokrasi tidak menjanjikan apa-apa.”
Melihat sistem demokrasi yang merusak ini, sudah sepantasnya umat Islam hijrah dari sistem sekular yang bobrok ini. Sistem sekular—dengan demokrasi sebagai salah satu instrumen utamanya—adalah sistem kufur yang harus ditinggalkan. Hijrah secara syar‘i adalah perpindahan dari sistem kufur ke sistem Islam. Hijrah seperti inilah yang dilakukan Rasulullah saw. dulu yang kemudian membawa kebangkitan umat Islam. Beliau dan umat Islam saat itu berpindah dari sistem Jahiliah di Makkah menuju sistem Islam di Madinah.
Walhasil, yang harus kita lakukan sekarang juga sama, hijrah dari sistem sekular yang Jahiliah dengan kembali menegakkan Khilafah. [Mujiyanto]