Saya sangat terkesan dengan pertemuan para tokoh dan aktivis Islam se-Kalimantan Selatan pada tanggal 8 Desember 2007 lalu. Sekitar 300 tokoh yang berasal dari NU, Muhammadiyah, HTI, Al Irsyad, dll, plus para guru agama dan pengawas se-Kalsel memadati ruang aula Walikota Banjarbaru, tempat diskusi kerukunan umat beragama. Panitia mendatangkan pembicara dari PBNU (Prof. Dr. KH Said Agil Siraj), PP Muhammadiyah (Drs. Anwar Abbas MM, M.Ag), dan saya mewakili DPP HTI. Ketua Panitia dari FKUB, Dr. Muslih Amberi, menyampaikan bahwa pertemuan tersebut adalah untuk “sharing” pendapat guna memberi masukan bagi upaya mewujudkan kerukunan umat beragama, bukan ajang debat alias adu pendapat. Meskipun tidak bisa mengikuti acara sampai tuntas, karena saya harus segera ke bandara untuk mengejar acara di Jakarta, saya merasa puas dengan acara temu tokoh yang digagas Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kalsel tersebut.
Ada pernyataan yang cukup menarik bagi saya dari al-Mukarram KH Said Agil Siraj. Pertama: NU memperjuangkan syariah agar diterapkan di masyarakat melalui pendidikan, taklim, tadris, dan tarbiyah supaya lahir masyarakat yang ber-akhlaqul-karimah. Kedua: NU menginginkan hukum Islam diterapkan di negara ini, tetapi tidak perlu diformulasikan dalam bentuk konstitusi, apalagi mengubah negara ini menjadi Negara Islam atau Khilafah. Sebab, NKRI bagi NU sudah final. Ketiga: Rasulullah datang tidak membawa Islam sebagai sistem politik, tetapi sebagai rahmatan lil ‘alamin. Negara yang dibangun Rasulullah saw. bukan Negara Islam, tetapi Negara Madinah atau Dawlah Mutamaddin. Jadi, tidak perlu Negara Islam atau Khilafah. Sebab, Khilafah itu berdarah-darah, banyak membunuh para ulama. Buruk sekali potret para khilafah itu kecuali para Khulafaur Rasyidin. Bahkan Imam Hasan al-Bashri mengatakan, Muawiyyah itu masuk neraka karena mengubah Khilafah menjadi mamlakah (kerajaan).
Dengan tetap menjaga amanat panitia, saya mencoba menanggapi poin-poin tersebut dengan hati-hati. Meskipun tanggapan saya belum sempurna, suasana forum menjadi cukup seru dan sedikit mengarah pada perdebatan, namun, alhamdulillah, tidak sampai pada debat kusir karena pembicara saling menghargai dan menghormati. Karena urgensi bahasan atas poin-poin tersebut, saya mencoba menulis dan mendiskusikan kembali di sini; tentu tidak sama persis dengan jalannya pembicaraan di forum tersebut, di samping ada tambahan pendapat.
Pertama: kami bersyukur bahwa NU fokus pada pembinaan umat untuk membentuk masyarakat Muslim yang paham al-Quran dan as-Sunnah, paham syariah, dan ber-akhlaqul-karimah. NU tidak mengurusi politik, tidak masalah. Bahkan satu pernyataan yang sangat bijak dari Syaikh Agil Siraj, bahwa biarlah HT yang bergerak dalam bidang politik dan menggapai Khilafah yang memang menjadi cita-citanya. Ini adalah suatu sikap tasâmuh yang sangat baik. Karena itu, saya mengapresiasi pernyataan tersebut dalam kerangka bahwa antara HTI, NU, dan Muhammadiyah ada kesepahaman dan pembagian tugas. NU fokus pada pembentukan akhlaqul-karimah masyarakat, Muhammadiyah, sebagaimana terungkap dalam pernyataan Drs. Anwar Abbas pada acara tersebut, akan fokus pada penguatan ekonomi umat. HTI fokus pada penguatan politik umat. Secara berkelakar saya sampaikan, dalam masalah politik, biarlah suara NU dan Muhammadiyah diserahkan kepada HTI. Artinya, kalau negara ini dikendalikan oleh para politisi yang bergabung dengan HTI, insya Allah, negara ini akan melindungi hasil-hasil yang telah dicapai NU dan Muhammadiyah; yakni negara akan menjaga umat agar tetap pada akhlaqul-karimah, misalnya dengan kebijakan negara melarang pornografi dan pornoaksi sesuai dengan fatwa MUI; negara juga akan menyetop sistem ekonomi kapitalis dan gerakan kaum neolib untuk memberikan ruang yang sepenuhnya bagi pengembangan ekonomi umat berdasarkan syariah. Inilah implementasi kerukunan umat beragama yang ideal.
Kedua: ada kesepahaman antara NU dan HTI, minimal antara Syaikh Agil Siraj dan Muhammad al-Khaththath, tentang perlu diterapkannya hukum Islam di negara ini. Dulu saya juga mendengar langsung pernyataan persetujuan dari KH Abdurrahman Wahid jika negara ini menerapkan syariah.
Betul seperti yang dikatakan Syaikh Agil Siraj, bahwa dalam Watsîqah Madînah (Piagam Madinah) tidak ada penyebutan istilah Negara Islam (ad-Dawlah al-Islâmiyyah). Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa di dalam piagam yang dibuat oleh Rasulullah saw. tersebut bersama kaum Muhajirin dan Anshar, lalu juga ditandatangani oleh kaum Yahudi, menyebutkan satu pasal berikut:
وَإِنّهُ مَا كَانَ بَيْنَ أَهْلِ هَذِهِ الصّحِيفَةِ مِنْ حَدَثٍ أَوْ اشْتِجَارٍ يُخَافُ فَسَادُهُ فَإِنّ مَرَدَّهُ إلَى اللهِ عَزّ وَجَلّ وَإِلَى مُحَمّدٍ رَسُولِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ
Bahwasanya jika terdapat suatu peristiwa atau perselisihan antara pihak yang membuat piagam ini yang dikhawatirkan kerusakannya, sesungguhnya urusan itu diselesaikan dengan merujuk pada Allah ‘Azza wa Jalla dan Muhammad Rasulullah saw. (Lihat: Sîrah Ibn Hisyâm, I/503).
Saya melihat istilah Daulah Islamiyyah adalah suatu istilah akademis untuk membedakan negara yang menganut sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin itu dengan negara di luar itu yang terkategori kufur (darul kufur). Para fukaha sendiri menggunakan istilah Darul Islam dan darul kufur untuk klasifikasi akademis. Frasa Darul Islam, misalnya, terdapat dalam kitab-kitab fikih Syafiiyah seperti: Rawdhah ath-Thâlibîn (I/129), al-Umm (III/30), I‘ânah ath-Thâlibîn (IV/233), Fath al-Wahhâb (I/112), dll. Dalam mazhab Hanbali dapat kita lihat kalimat “darul Islam” pada kitab-kitab seperti: Syarh al-Kabîr li Ibn Qudamah (I/455), al-Iqnâ’ (I/283), al-Mughni (VIII/61), dll.
Ketiga: pernyataan bahwa negara yang dibangun Rasulullah saw. bukan Negara Islam, tetapi Negara Madinah atau Dawlah Mutamaddin, sudah menegaskan bahwa Rasulullah saw. itu membawa sistem politik, yakni politik pemerintahan yang menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum-hukum Allah Swt. Sistem inilah yang diwariskan oleh Rasulullah kepada Khulafaur Rasyidin yang menggantikan Beliau saw. dalam memimpin negara. Dalam klasifikasi akademis, sistem tersebut disebut Nizhâm al-hukm fî al-Islâm atau Nizhâm al-Khilâfah.
Sistem Khilafah adalah sistem politik ilahi, tetapi dilaksanakan secara manusiawi. Jadi, tidak tepat menolak sistem Khilafah karena kesalahan penerapan oleh salah seorang khalifah sebagai pihak eksekutif. Bahkan, mengutip pernyataan Syaikh Agil Siraj, Imam Hasan al-Bashri mengatakan, Muawiyah itu masuk neraka karena mengubah Khilafah menjadi mamlakah (kerajaan). Yang bisa saya pahami dari pernyataan tersebut adalah, bahwa menurut Imam Hasan al-Bashri, sistem Khilafah itu wajib. Menggantinya dengan mamlakah alias tidak melaksanakan sistem Khilafah yang merupakan kewajiban atas kaum Muslim adalah berdosa. Dalam bahasa Imam Hasan al-Bashri, pelakunya masuk neraka. Karena itu, kita harus mengapresiasi bahwa menerapkan sistem Khilafah adalah suatu kewajiban syariah, dan pernyataan keras Imam Hasan al-Bashri adalah sikap teguh beliau dalam menjaga kemurnian dan keberlangsungan sistem Khilafah.
Saya tidak merasa terganggu dengan pernyataan Syaikh Agil Siraj bahwa NKRI sudah final. Namun, yang harus secara jujur dikatakan bahwa hari ini NKRI terpuruk karena menganut sistem politik dan ekonomi rekayasa kaum kapitalis penjajah, yakni sistem demokrasi dan ekonomi liberal. Karena menganut cara berpikir orang Barat yang menipu, NKRI menjadi negara yang tersandera dengan utang 1400 triliun yang merupakan turunan dari warisan utang pemerintahan Hindia Belanda, utang-utang yang dibuat Orde Lama, Orde Baru, bahkan utang-utang baru pada Orde Reformasi. Utang-utang ini diberikan oleh IMF, World Bank, dan kreditor lain dari kalangan kaum kapitalis Barat dengan berbagai konsesi seperti Blok Cepu dan berbagai pertambangan minyak dan gas bahkan emas Irian yang dikuasai Freeport. Belum lagi konsesi lain berupa perundang-undangan yang memuluskan penguasaan sumberdaya alam dan kekayaan yang ada di kocek rakyat, seperti UU Migas yang mengantarkan pada pencabutan “subsidi” total BBM, UU Sumber Daya Air yang mengantarkan penguasaan PDAM berbagai kota kepada perusahaaan asing, dan UU Penanaman Modal yang memungkinkan penguasaan atas seluruh aset apapun yang ada di negeri ini. Siapapun rakyat Indonesia—apapun agama, ormas, maupun partainya, tentu tidak rela mendengar James Mofett, CEO Freport, yang mendapatkan gaji Rp 87,5 milyar perbulan dengan menguasai tambang emas di negeri ini.
Kiranya, negara yang terpuruk seperti ini perlu hijrah dan menghijrahkan seluruh warga negaranya dari keadaan terpuruk ke keadaan yang bisa mengantarkannya pada masa kejayaan yang gilang-gemilang. Bagaimana caranya? Tawaran kami hanya satu: negara ini perlu mengadopsi sistem Khilafah yang akan menerapkan syariah secara kâffah. Hanya dengan itulah, Indonesia akan menjadi lebih baik. Wallâhu a‘lam! [KH M Al-Khaththath; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]