Bagaimana Anda melihat outlook perekonomian Indonesia 2007?
Kalau kita menggunakan indikator makroekonomi yang diklaim Pemerintah sebagai keberhasilan perekonomian Indonesia, maka selama 2007 memang mengesankan. Hal ini tercermin antara lain dari Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), investasi, dan nilai ekspor Indonesia yang tumbuh positif, penurunan BI rate dari 12,75 persen tahun 2006 menjadi 8,25 persen pada September 2007. Nilai tukar rupiah juga bergerak stabil pada Rp 9.000-9.300 persatu dolar AS. Keberhasilan lain yang dicapai adalah indeks harga saham di Bursa Efek Jakarta yang mencatat kinerja terbaik ketiga di Asia.
Sudah menjadi kelaziman, indikator makroekonomi digunakan sebagai alat ukur keberhasilan ataupun kegagalan perekonomian. Lahirnya angka-angka yang menjadi indikator makro ekonomi tentu memiliki alasan, kriteria, dan perhitungan tersendiri. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah seberapa tepatkah suatu indikator digunakan sebagai alat ukur perekonomian sehingga tidak terjadi bias dari fakta ekonomi sebenarnya.
Pemerintah mengklaim bahwa pertumbuhan Indonesia bagus (di atas 6%). Bagaimana faktanya?
Ya, walaupun pertumbuhan dikatakan bagus, di atas 6 persen, itu belum menjamin majunya perekonomian nasional, apalagi kalau dihubungkan dengan tingkat kesejahteraan anggota masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia tinggi, apakah hal itu menggambarkan majunya perekonomian Indonesia? Belum tentu! Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia tidak menggambarkan bahwa yang mengalami pertumbuhan adalah unit-unit usaha yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Justru sebaliknya, yang mendorong pertumbuhan adalah unit-unit usaha yang dimiliki orang asing dan para konglomerat.
Jadi, selama ini malah usaha milik orang asing yang ditumbuhkan Pemerintah, bukan usaha dalam negeri; bukan pula usaha yang digeluti oleh sebagian besar masyarakat, tetapi usaha yang digeluti oleh para konglomerat.
Begitu pula, semakin meningkatnya pendapatan perkapita Indonesia tidak menunjukkan bahwa penghasilan setiap warga negara Indonesia bertambah baik. Di dalam PDB terdapat milik orang asing yang konstribusinya cukup besar. Jadi, bagaimana mungkin PDB digunakan sebagai basis menghitung pendapatan perkapita warga negara Indonesia?
Kalau begitu, sepertinya tidak ada korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat?
Secara teoretis, seharusnya ada hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Artinya, jika perekonomian mengalami pertumbuhan maka penyerapan tenaga kerja atau permintaan tenaga kerja akan meningkat.
Hingga saat ini kita belum mempunyai kemandirian di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tercipta juga belum bisa mengentaskan kemiskinan dan pengangguran secara mendasar. Ini merupakan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada pemberdayaan ekonomi real.
Yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Ini ditandai dengan masih stagnannya sektor real serta tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin yang masih tinggi. Menurut catatan BPS, jumlah penduduk miskin bulan Juli 2007 sebanyak 37,17 juta orang (16,58 persen) dan jumlah penggangguran sebesar 10,55 juta jiwa (9,75 persen) dari jumlah penduduk Indonesia.
Jika tidak ada korelasi positifnya, lalu apa sebab paradoksnya?
Pertama, menurut saya, pertumbuhan ekonomi 2007 bukan berasal dari pertumbuhan sektor real (yang berasal dari produksi barang dan jasa), namun dipacu oleh pertumbuhan sektor keuangan, investasi padat modal, dan konsumsi yang tinggi. Sektor ini memiliki daya serap tenaga kerja yang rendah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi timpang. Sektor ekonomi real tertinggal jauh dari sektor-sektor padat modal. Ujung-ujungnya, jumlah pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
Kedua, ketika Pemerintah Pusat tengah bersusah-payah untuk menambal defisit yang besarnya 1,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB), ternyata banyak dana disimpan oleh Pemerintah Daerah dan perbankan nasional dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dana mengganggur di SBI sampai bulan November 2007 tercatat 226 triliun rupiah. Ini ironis. Seharusnya jumlah dana yang besar bisa mendorong dan menggerakan sektor real, termasuk untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan kesejahteraan atau membangun infrastruktur.
Pemerintah menyatakan APBN 2008 mendung akibat kenaikan harga minyak dunia. Apakah kenaikan harga minyak dunia menjadikan defisit atau justru memperkaya pundi-pundi APBN?
Pemerintah mencoba menggiring opini masyarakat seolah telah terjadi tekanan yang besar terhadap APBN akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus meningkat. Masyarakat dipaksa memahami kondisi keuangan negara kita. Beban APBN bertambah untuk mensubsidi BBM karena tambahan penerimaan migas lebih rendah dibandingkan dengan tambahan belanja migas.
Padahal estimasi Bank Indonesia menyatakan, untuk setiap kenaikan 1 dolar AS perbarel, pada triwulan IV 2007, akan meningkatkan surplus transaksi berjalan 23,3 juta dolar AS dan meningkatkan cadangan devisa 35,6 juta dolar AS setiap triwulannya. Departemen Keuangan (Depkeu) juga memperkirakan, APBN akan surplus Rp 50 miliar untuk setiap kenaikan harga minyak sebesar USD1 perbarel. Artinya, kenaikan harga minyak dunia akan memberikan surplus bagi APBN kita.
Yang membuat mahal belanja migas adalah: (1) Pertamina hanya menguasai kurang dari 15 persen produksi minyak Indonesia sebesar 910 ribu barel perhari. Lucunya, Pertamina harus membeli minyak yang dieksplorasi di Indonesia dari swasta asing. (2) Pertamina menggunakan jasa trading companies (broker) untuk melakukan ekspor dan impor minyak. Jelas, keberadaan para broker sangat merugikan karena meningkatkan harga beli impor BBM hingga US$ 30 sen perbarel. Berapa besar dana APBN yang terbuang jika ekspor dan impor minyak mencapai lebih dari dua puluh miliar kilo liter perhari. (3) Pemerintah, lewat kebijakan Menteri ESDM, telah menurunkan komposisi bagi hasil dari 85:15 menjadi hanya 70:30 atau bahkan 60:40 sehingga porsi Pemerintah semakin sedikit. Dengan kebijakan ini kan semakin kecil kemampuan Pemerintah untuk menjamin kebutuhan masyarakat terhadap minyak.
Pemerintah menyiapkan 8 Jurus Cegah APBN Jebol. Menurut Anda, strategiskah langkah ini?
Saya melihat jurus-jurus tersebut hanya mengutak-utik alokasi dana APBN seperti menyiapkan dana cadangan pengaman kenaikan minyak, menggenjot pendapatan ekstra dari daerah penghasil migas, optimalisasi target penerimaan pajak dan dividen BUMN, dan penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Jelas, ini bukan langkah strategis karena tidak memecahkan akar masalahnya. Justru jurus-jurus tersebut memperberat beban APBN, yang ujung-ujungnya rakyat juga yang harus menanggungnya.
Lalu bagaimana prediksi perekonomian Indonesia 2008? Bergairahkah ?
Perekonomian 2008 tetap tumbuh tetapi lambat dan lebih rendah dari prediksi Bank Dunia. Hal ini dipengaruhi oleh perekonomian global yang juga melemah. Perekonomian Indonesia sangat sensitif oleh faktor eksternal seperti kenaikan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Apabila kenaikan BBM nonsubsidi bagi industri terus mengikuti kenaikan harga minyak dunia, ini akan berdampak pada kenaikan harga komoditas turunannya. Hal ini dilakukan tanpa peduli apakah industri nasional telah siap. Akhirnya, sektor industri mengalami tekanan biaya produksi sehingga mengakibatkan rontoknya daya saing industri nasioal dan daya beli masyarakat. Jumlah pengeluaran subsidi yang “dihemat” oleh Pemerintah akhirnya sangat tidak sebanding dengan kerugian ekonomi akibat keterpurukan ekonomi yang diakibatkannya.
Apa yang harus dilakukan agar perekonomian Indonesia baik dan mensejahterakan rakyat?
Pemerintah harus fokus dalam melakukan pembangunan ekonomi yang berkualitas, yaitu pembangunan ekonomi yang menciptakan kesempatan kerja yang memadai, sekaligus menurunkan angka kemiskinan. Stabilitas makroekonomi saat ini merupakan suatu kondisi yang dibutuhkan tetapi belum merupakan kondisi yang cukup dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah dan masyarakat harus menyadari bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan di bidang ekonomi selama ini semakin kapitalistik. Faktanya, ia tidak memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, tetapi penderitaan yang berkepanjangan bagi mereka.
Perekonomian seharusnya tegak berdiri di atas sektor real, bukan sektor nonreal. Sektor real yang dimaksud di sini adalah usaha produksi, perdagangan, dan jasa yang sesuai dengan syariah, bukan yang sesuai dengan hukum buatan manusia seperti Kapitalisme.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita menggusur Kapitalisme baik sebagai sistem ekonomi maupun sebagai ideologi/sistem kehidupan dari Indonesia. Alternatif praktis untuk mengikis sampai ke akar-akarnya adalah dengan mengubah ideologi dan sistem negara, termasuk sistem ekonominya, dengan disertai revolusi pemikiran masyarakat menjadi masyarakat yang islami sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi di dalam masyarakat. []