يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-nisa [4]: 59)
Sabab an-Nuzûl
Diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi dalam Ad-Dalâil dari jalur Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ’Adi, ketika dia diutus Rasulullah saw. dalam sebuah sariyah (perang).1
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû athî‘û Allâh wa athî’û ar-Rasûl wa ulî al-amri minkum. Khithâb ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum Mukmin. Pertama: perintah untuk menaati Allah Swt., yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.2 Kata ath-thâ’ah berarti al-inqiyâd (ketundukan).3 Maksud menaati Allah Swt. di sini adalah mengikuti al-Quran.
Kedua: perintah menaati Rasulullah saw. Rasulullah saw. diutus dengan membawa risalah dari Allah Swt. yang wajib di taati. Karena itu, menaati Rasulullah saw. sama dengan menaati Zat Yang mengutusnya, Allah Swt. (lihat QS an-Nisa’ [4]: 64, 80).
Kendati menaati Rasulullah saw. paralel dengan menaati Allah Swt., dalam ayat ini kedua-duanya disebutkan. Hal itu menunjukkan perbedaan obyek yang ditunjuk. Menaati Allah Swt. menunjuk pada Kitabullah; menaati Rasulullah saw. menunjuk pada as-Sunnah. Keduanya—meskipun sama-sama wahyu dari Allah Swt. yang wajib ditaati—berbeda. Al-Quran lafalnya dari Allah Swt.; as-Sunnah lafalnya dari Rasulullah saw. sendiri.
Ketiga: perintah menaati ulil amri. Para mufassir berbeda pendapat mengenai makna istilah tersebut. Oleh sebagian mufassir, ulil amri dimaknai sebagai ulamâ’. Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, al-Hasan, Atha’ dan Mujahid termasuk yang berpendapat demikian. Mereka menyatakan, ulil amri adalah ahli fikih dan ilmu.4
Pendapat lain menyatakan, ulil amri adalah umarâ’ atau khulafâ’. Menurut Ibnu ’Athiyah dan al-Qurthubi, ini merupakan pendapat jumhur ulama.5 Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, Abu Hurairah, as-Sudi, dan Ibnu Zaid;6 juga ath-Thabari, al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, al-Alusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, dan al-Ajili.7 Said Hawa juga menyatakan, ulil amri adalah khalifah; yang kepemimpinannya terpancar dari syura kaum Muslim; urgensinya untuk menegakkan al-Kitab dan as-Sunnah. Kaum Muslim wajib menaatinya beserta para amilnya dalam hal yang makruf.8
Tampaknya pendapat jumhur lebih dapat diterima. Dari segi sabab nuzulnya, ayat ini turun berkenaan dengan komandan pasukan. Ini berarti, topik yang menjadi obyek pembahasan ayat ini tidak terlepas dari masalah kepemimpinan. Telah maklum, pemimpin tertinggi kaum Muslim adalah khalifah. Dialah Amirul Mukminin yang memiliki kewenangan untuk mengangkat para pemimpin di bawahnya, termasuk panglima perang dan komandan pasukan.
Alasan lainnya, banyak hadis Nabi saw. yang mewajibkan kaum Muslim menaati khalifah atau pemimpin. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ
Mendengar dan menaati seorang (pemimpin) yang Muslim adalah wajib, baik dalam perkara yang disenangi atau dibenci, selama tidak diperintahkan untuk maksiat. (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar ra).
Keterkaitan antara ketiganya (Allah Swt., Rasulullah saw, dan umara) juga disebutkan dalam hadis Nabi saw. berikut:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعِ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، مَنْ أَطَاعَ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
Siapa saja yang menaatiku, sesungguhnya dia telah menaati Allah. Siapa saja yang bermaksiat kepadaku, sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang menaati pemimpin, sesungguhnya dia telah menaatiku. Siapa saja yang bermaksiat kepada pemimpin, sesungguhnya dia telah bermaksiat kepadaku. (HR Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah).
Nash-nash di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim diwajibkan untuk menaati pemimpinnya. Hanya saja, sebagaimana ditegaskan dalam hadis di atas, perkara yang diperintahkan oleh pemimpin itu tidak boleh melanggar syariah. Jika melanggar syariah maka tidak boleh ditaati. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (HR Ahmad dari Ali ra).
Menurut as-Sa‘di, bisa jadi inilah rahasia dihilangkannya frasa athî’û pada perintah untuk menaati ulil amri dan disebutkannya kata tersebut pada perintah untuk menaati Rasul. Artinya, Rasulullah saw. tidak memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah. Karena itu, siapa saja yang menaati Beliau berarti sama dengan menaati Allah Swt. Adapun kepada ulil amri, perintah taat itu disyaratkan tidak dalam perkara maksiat.9
Wajibnya menaati ulil amri ini juga menunjukkan hukum tentang kewajiban mewujudkannya. Sebab, tidak mungkin Allah Swt. mewajibkan kaum Muslim untuk menaati seseorang yang tidak ada wujudnya.10
Kata minkum memberikan batasan bahwa ulil amri itu harus min al-Muslimîn (dari kalangan Muslim). Jika bukan Muslim maka tidak ada hak wilayah baginya atas Muslim dan tidak ada ketaaan kepadanya.11 Ayat ini juga bisa menjadi dalil bahwa khalifah haruslah seorang Muslim. Kesimpulan itu makin kukuh tatkala dalam al-Quran tidak didapati kata ulil amri kecuali disertai dengan penjelasan bahwa mereka dari kalangan kaum Muslim.12
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: fa in tanâza‘tum fî syay’[in] faruddûhu ilâ Allâh wa ar-Rasûl. Kata tanâzu‘ berarti mencabut hujjah lawannya dan menyikirkannya.13 Kata ini untuk menggambarkan adanya perselisihan dan perdebatan yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kata syay’[in] (sesuatu) meliputi semua urusan, baik urusan ad-dîn maupun dunia. Namun, ketika dilanjutkan, faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl, maka kalimat itu menjelaskan bahwa sesuatu yang diperselisihkan itu adalah urusan ad-dîn.14
Kata tanâza’tum berarti kalian berselisih, baik yang terjadi di antara kalian atau antara kalian dengan umara kalian.15 Jika hal itu terjadi, mereka diperintahkan mengembalikan perkara yang mereka perselisihkan itu kepada Allah dan Rasul, yakni pada al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian penafsiran para mufassir, seperti Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mahran, dan as-Sudi;16 juga an-Nasafi, Ibnu Katsir, al-Khazin, asy-Syaukani, Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Wahidi, al-Jazairi, as-Samarqandi, dan al-Sa’di.17
Kemudian Allah Swt. berfirman: in kuntum tu’minûna bi Allâh wa al-yawmi al-âkhir. Mengomentari kalimat ini, as-Sa’di berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan masalah yang diperselisishkan kepada keduanya (al-Quran dan as-Sunnah) pada hakikatnya bukanlah seorang Mukmin, namun beriman kepada thâghût, sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya.”18
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir.19
Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya: Dzâlika khayru wa ahsanu ta’wîl[an]. Kata Dzâlika menunjuk pada tindakan mengembalikan perkara pada al-Kitab dan as-Sunnah.20 Qatadah menyatakan, maksud farasa ini adalah: ahsanu tsawâb[an] wa khayru âqibat[an] (sebaik-baik pahala dan seutama-utama akibat).21
Kontradiksi dengan Demokrasi
Sebagaimana telah dijelaskan, ayat ini menjadi dalil bagi kewajiban untuk mengangkat ulil amri atau pemimpin yang berwenang mengatur urusan kaum Muslim. Ayat ini juga memberikan penjelasan mengenai pilar-pilar pemerintahan Islam. Berkenaan dengan masalah kedaulatan, ayat ini memberikan konsep amat jelas, bahwa kedaulatan dalam pemerintahan Islam (yang dikenal dengan sebutan Khilafah) ada di tangan syariah. Di antara beberapa buktinya adalah:
Pertama, perintah untuk menaati Allah Swt. dan Rasulullah saw, yakni tunduk dan patuh pada segala ketentuan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Ketetapan ini meniscayakan, semua hukum dan undang-undang yang diberlakukan wajib bersumber dari keduanya. Memang benar, selain diperintahkan taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, kaum Muslim juga diperintahkan taat kepada uli al-amri. Namun, ketaatan itu bukan tanpa batasan sama sekali. Kewajiban taat itu berlaku jika perkara yang diperintahkan ulil amri bersesuaian dengan hukum syariah. Jika perkara yang diperintahkan menabrak syariah, kaum Muslim tidak boleh taat.
Lebih dari itu, ulil amri juga menjadi pihak yang wajib tunduk pada syariah. Sebab, mereka termasuk yang diseru ayat ini. Ungkapan minkum pada kata wa ulî al-amri minkum menunjukkan bahwa mereka juga termasuk dalam bagian al-ladzîna âmanû. Karena itu, mereka pun wajib menaati Allah Swt. Bahkan kedudukan mereka sebagai ulil amri adalah dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya (syariah).
Kedua, ayat ini menetapkan, setiap perselisihan yang terjadi wajib dikembalikan pada syariah. Firman Allah Swt., Fa in tanâza’tum fî syay’[in] faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl, jelas menunjukkan makna demikian.
Bertolak dari dua bukti di atas, jelaslah bahwa kedaulatan dalam pemeritahan Islam ada di tangan syariah.
Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan konsep demokrasi. Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Sebagai pemilik kedaulatan, semua kehendak rakyat harus dipatuhi. Konsekuensinya, rakyatlah yang memiliki hak menentukan perjalanan hidup masyarakat. Rakyat pula yang menentukan sistem, hukum, dan konstitusi yang cocok bagi mereka, tidak peduli apakah undang-undang itu sejalan dengan syariah atau berlawanan dengannya. Sebagaimana rakyat berhak membuat dan menetapkan sebuah undang-undang, rakyat juga berhak membatalkan, mengganti atau mengubah undang-undang tersebut. Singkatnya, apa pun yang menjadi kehendak rakyat harus terjadi.
Dalam demokrasi, solusi akhir ketika terjadi perselisihan adalah suara terbanyak. Karena rakyat merupakan sekumpulan orang, sementara kehendak mereka bisa berseberangan satu sama lainnya, maka yang dijadikan sebagai kata pemutus adalah kehendak mayoritas. Ide, aspirasi, atau kebijakan apa pun yang mendapatkan dukungan suara terbanyak harus diterima sebagai keputusan terakhir yang ditaati oleh semua pihak; tidak peduli apakah keputusan tersebut benar atau salah; sejalan atau bertabrakan dengan hukum Allah Swt.
Wajar saja demokrasi bertentangan dengan Islam. Demokrasi tidak berakar dari Islam, namun lahir dari ideologi sekular yang kufur.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 314.
2 As-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 167; as-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 608.
3 Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl,vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 392.
4 Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’âm, vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 298.
5 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 70; Ibnu Jauzyi al-Kalbi, al-Tashîl li ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 196.
6 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 290.
7 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 153; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 3, 168; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 513; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 63; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 608; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 220; dan al-Ajili, Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003), 77
8 Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 2 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 1102.
9 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1 (tt: Jamiyyah al-Turats, 2000), 214. Meskipun dengan ungkapan berbeda, pandangan senada juga dikemukakan oleh al-Alusi,
10 Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm (tt: tp, 2002), 37. Buku tersebut awalnya ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian diperluas dan disempurnakan oleh Abdul Qadim Zallum.
11 Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 2, 1102.
12 Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm, 50-51
13 Ibnu ‘Athiyyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 71.
14 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 3 , 64; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 608.. Kesimpulan yang sama juga disampaikan oleh al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 3, 169; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 633; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl,vol. 1, 392; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1, 220; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 355; asy-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 244; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1, 214.
15 Ibnu ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 2, 71
16 Al-Jashshash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2, 300; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 3,, 290.
17 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 260; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 633; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl,vol. 1, 392; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 608; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 72; al- Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, tt), 496; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 363; Ibnu Jauzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 196; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1, 214.
18 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1, 214.
19 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 633. Ungkapan hampir sama juga disampaikan oleh al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl,vol. 1, 393.
20 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, vol 1, 260; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 608; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1, 221.
21 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 2, 314; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 2, 608