HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Khilafah Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Pengantar

Telaah kitab kali ini akan mengupas kitab berharga tentang Khilafah. Judulnya Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, karya Abdullah bin Umar Sulaiman ad-Dumaiji (terbit 1987). Kitab setebal 718 halaman ini ditulis ad-Dumaiji sebagai tesis untuk meraih gelas magister di Universitas Ummul Quro Makkah tahun 1983. Setelah diadakan ujian (munâqasyah) oleh Dewan Penguji, ad-Dumaiji pun dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude (mumtâz). Di antara Dewan Penguji itu adalah Syaikh Sayyid Sabiq, seorang ulama yang terkenal dengan kitabnya, Fiqih Sunnah.

Bagi para pejuang Khilafah, juga umat pada umumnya, kitab ini sangatlah penting. Sebab, di samping memberikan wawasan ilmiah yang luas mengenai Khilafah, juga akan semakin menambah keyakinan dan kemantapan dalam berjuang. Betapa tidak, karena kitab ini menjelaskan bahwa Khilafah sangat penting bagi tegaknya Islam dalam kehidupan. Khilafah juga mutlak adanya untuk mengembalikan kemuliaan umat. Dalam salah satu butir kesimpulannya, ad-Dumaiji mengatakan, “Tidak ada kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat Islam, kecuali dengan kembali berhukum pada Kitabullah dan as-Sunnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan Khilafah Islamiyah yang akan menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam.” (hlm. 516-517)


Garis Besar dan Latar Belakang Kitab

Kitab ini secara garis besar ingin membahas isu-isu terpenting dalam Khilafah, seperti definisi Khilafah dan wajibnya Khilafah, walaupun tidak semua aspek dalam Khilafah terbahas, misalnya lembaga-lembaga negara dalam Khilafah secara lengkap. Ad-Dumaiji membagi kitabnya dalam sebuah mukadimah, dua bab isi, dan sebuah bab kesimpulan. Dua bab isi itu, yang pertama, mengenai Imamah (Khilafah) menurut Ahlus Sunnah; kedua, mengenai Imam (Khalifah) menurut Ahlus Sunnah.

Bab pertama dirinci lagi menjadi empat sub-bab, yaitu: (1) definisi Imamah; (2) wajibnya Imamah dan dalil-dalilnya; (3) tujuan-tujuan Imamah; dan (4) metode pengangkatan Imam. Bab yang kedua juga dirinci lagi menjadi empat sub-bab, yaitu: (1) syarat-syarat Imam; (2) hak dan kewajiban Imam; (3) pemberhentian Imam; dan (4) berbilangnya Imam. Bab kesimpulan berisikan 26 butir-butir kesimpulan dari keseluruhan uraian kitab yang panjang lagi lebar.

Sebelum dilanjutkan, perlu klarifikasi dulu mengenai istilah Khilafah dan Imamah. Kedua istilah ini sebenarnya sama saja maknanya alias sinonim. Dalam kitabnya, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu (IX/881), Wahbah Az-Zuhaili berkata, “Patut diperhatikan bahwa Khilâfah, Imâmah Kubrâ dan Imârah al-Mu’minîn merupakan istilah-istilah yang sinonim (mutarâdif) dengan makna yang sama.”

Jadi, Imamah sama dengan Khilafah, dan Imam sama dengan Khalifah. Ad-Dumaiji sendiri dalam kitabnya hlm. 34 juga mengutip pendapat senada dari Muhammad Najib al-Muthi’i. Dalam takmilah (catatan pelengkap) yang dibuatnya untuk kitab Al-Majmû‘ Syarh Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (XVII/517), Al-Muthi’i berkata, “Khilafah, Imamah, dan Imârah al-Mu’minîn adalah sinonim.”

Lalu apa latar belakang ad-Dumaiji menulis kitabnya ini? Ad-Dumaiji menerangkan dalam Mukadimah (hlm. 7-10), bahwa yang mendorongnya adalah adanya upaya-upaya jahat berupa tasywîh (pencitra-burukan) dan tadnîs (pencemaran) terhadap ajaran Khilafah yang telah ada sejak masa awal Islam hingga masa modern kini. Ad-Dumaiji memberikan beberapa contohnya (hlm. 8-9). Misalnya pendapat Abdul Hamid Mutawalli dalam Mabâdi’ Nizhâm al-Hukm hlm. 162, yang menyatakan bahwa berdirinya Khilafah seperti yang digambarkan para fukaha adalah mustahil untuk masa sekarang. Contoh lain adalah pendapat Syaikh al-Maraghi (penulis Tafsîr Al-Maraghi) yang berkata, “Dimungkinkan sebuah pemerintahan Islam keluar dari agama Islam lalu menjadi sebuah pemerintahan sekular. Tidak ada larangan untuk itu…seperti halnya negara Turki yang baru.” (Musthafa Shabri, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa ad-Din, IV/285).

Latar belakang inilah yang membuat ad-Dumaiji sangat prihatin dan sekaligus menentukan tujuan penulisan tesisnya. Ad-Dumaiji menyatakan bahwa kitabnya bertujuan untuk membersihkan konsep Imamah dari segala macam debu dan kotoran yang menempel sehingga konsep Imamah menjadi jelas bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran (thâlib al-haq) (hlm. 10).


Beberapa Keunggulan Kitab

Setiap kitab punya keterbatasan dan keunggulan. Oleh Ad-Dumaiji sendiri, diakuinya bahwa kitabnya tidaklah membahas Khilafah secara komprehensif, sebagaimana tujuan awalnya (hlm. 10-11). Setelah mengumpulkan sekitar 260 referensi dan menelitinya selama dua tahun, Ad-Dumaiji, akhirnya “menyerah” dan membatasi cakupan pembahasannya. Ad-Dumaiji akhirnya hanya menulis dua bab untuk delapan sub-bab sebagaimana sudah diuraikan di atas.

Untuk itu Ad-Dumaiji “hanya” menulis sebanyak 718 halaman, yang sebenarnya itu pun sudah lumayan tebal. Bandingkan dengan kitab-kitab fikih siyâsah sejenis semisal: kitab Muqaddimah fi Fiqh an-Nizhâm As-Siyasi al-Islâmi karya Muhammad Syakir Asy-Syarif (61 halaman); kitab An-Nizhâm as-Siyâsi fi al-Islâm karya Dr. Mazin bin Shalah Mathbaqani (63 halaman); kitab Habl al-I‘tishâm fî Wujûb al-Khilâfah fî Dîn al-Islâm karya Sayyid Muhammad Habib al-Mushili (139 halaman); atau kitab Fiqh Al-Ahkâm as-Sulthâniyah karya Abdul Karim Muhammad Muthi’ Al-Hamdawi (363 halaman).

Namun demikian, bagaimana pun, di balik keterbatasan cakupannya, kitab ad-Dumaiji ini patut mendapat pujian. Selain ditulis dengan penuh kesungguhan dan kecermatan, kitab ini juga mempunyai beberapa keunggulan. Di antaranya:

1.  Kesadaran akan situasi kontemporer.

Ad-Dumaiji menunjukkan kesadaran yang tinggi akan situasi kontemporer umat Islam, khususnya setelah hancurnya Khilafah di Turki tahun 1924. Ad-Dumaiji, misalnya, berkata dengan tajam, “Ketika ‘orang sakit’ (Daulah Utsmaniyah) ini mati, anjing-anjing dunia (kilâb al-dunyâ) membagi-bagi harta warisannya, dan tertancaplah perpecahan dan permusuhan di antara putra-putra kaum Muslim. Loyalitas (wala`) pun lalu diberikan kepada tanah air, nenek moyang, atau suku, sebagai ganti dari loyalitas dan kecintaan kepada Allah dan karena Allah.” (hlm. 7-8).

Tak hanya mempunyai kesadaran politik, ad-Dumaiji juga mempunyai wawasan pemikiran politik modern yang memadai. Karenanya, dia dapat menilai bahwa, “Sistem pemerintahan dalam Islam berbeda dengan seluruh sistem-sistem pemerintahan buatan manusia, baik yang dulu maupun sekarang. Perbedaan di antaranya terdapat dalam tujuan, sarana, dan target…” (hlm. 575).

Karena itu, bagaikan bumi dan langit kalau kita membandingkan kesadaran itu dengan kesadaran sebagian ulama negeri ini yang terpengaruh oleh sistem demokrasi yang ada. Mereka gagal memahami perbedaan mendasar sistem Khilafah dengan sistem demokrasi yang kufur. Sebagai contoh, ada ulama yang menganggap bahwa lembaga demokrasi sekarang (DPR dan MPR) adalah sepadan dengan Ahlul Halli wal Aqdi sebagaimana uraian Imam Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthâniyah. Padahal Imam Mawardi berbicara dalam konteks sistem Imamah (Khilafah), yang berprinsip kedaulatan di tangan syariah, bukan dalam sistem demokrasi-sekular, yang berprinsip kedaulatan di tangan rakyat.

2.  Metode penulisan yang adil.

Ad-Dumaiji dalam kitabnya sering harus membahas dan menilai berbagai pendapat, baik pendapat yang memang khilafiyah maupun pendapat asing yang lahir dari ideologi kapitalisme-sekular.

Dalam menghadapi masalah khilafiyah, Ad-Dumaiji senantiasa memaparkan hujjah (dalil) masing-masing pendapat, lalu melakukan tarjîh untuk memilih pendapat yang terkuat. Jadi, tidak sepihak langsung menyatakan pendapat yang dipilih. Sebagai contoh, ada khilafiyah mengenai hukum wajibnya Khilafah, apakah wajibnya itu berdasarkan syariah (pendapat Ahlus Sunnah) atau berdasarkan akal (pendapat Muktazilah). Ad-Dumaiji pun memaparkan dalil masing-masing lalu men-tarjîh yang terkuat, yaitu wajibnya Khilafah itu adalah berdasarkan syariah bukan akal (hlm. 65-71).

Dalam menghadapi pendapat asing Ad-Dumaiji juga bersikap adil. Terhadap sebagian intelektual yang menolak wajibnya Khilafah, seperti Ali Abdur Raziq (dalam kitabnya Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm), Abdul Hamid Mutawalli (dalam kitabnya Mabâdi‘ Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm), dan Khalid Muhammad Khalid (dalam kitabnya Min Huna Nabda‘), Ad-Dumaiji tetap berusaha menelusuri dan menampilkan hujjah mereka, lalu membantahnya dengan telak. Yang menarik, Ad-Dumaiji juga secara jujur menyebutkan “pertobatan intelektual” di antara penentang Khilafah itu. Tentang Khalid Muhammad Khalid, Ad-Dumaiji menulis secara obyektif bahwa semula Khalid menolak wajibnya Khilafah. Lalu Khalid bertobat dan menarik pendapatnya serta menulis sebuah kitab Ad-Dawlah fî al-Islâm untuk me-nasakh kitab sebelumnya, yakni Min Huna Nabda‘ (hlm. 74-75). Cara penulisan yang adil dan obyektif dari Ad-Dumaiji ini memang patut diteladani.

3.  Memperluas wawasan.

Siapapun yang membaca buku Ad-Dumaiji ini akan memperoleh tambahan wawasan ilmu keislaman, khususnya fikih siyâsah, yang tidak sedikit. Maklum saja, karena karya Ad-Dumaiji ini disajikan sebagai hasil olahan dari 260 kitab rujukan. Sebagaimana lazimnya penulisan ilmiah, kitab ad-Dumaiji ini penuh dengan catatan kaki yang memudahkan pembacanya memeriksa dan meneliti rujukan aslinya.

Sebagai contoh, ketika membicarakan dalil-dalil wajibnya Khilafah, Ad-Dumaiji ternyata menemukan enam macam dalil. Dalil pertama: Al-Quran, yaitu QS an-Nisa‘: 59, QS al-Maidah : 48-49, QS al-Hadid: 25, serta ayat-ayat hudûd, qishâsh, zakat, dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada Khalifah. Dalil kedua: As-Sunnah, baik sunnah qawliyah maupun sunnah fi‘liyah. Dalil ketiga: Ijmak Sahabat setelah wafatnya Rasul dan menjelang wafatnya Umar. Dalil keempat: Kaidah Syar‘iyah yang berbunyi: Mâ lâ yatimm al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib (Suatu kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya). Menegakkan syariah secara total (sebagai suatu kewajiban) tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Khilafah sehingga Khilafah wajib hukumnya. Dalil kelima: Kaidah Dharar, yaitu hadis: Lâ dharara wa lâ dhirâra (Tidak boleh menimbul-kan kemadaratan pada diri sendiri maupun orang lain). Tanpa Khilafah, umat berada dalam kemadaratan. Karena itu, Khilafah wajib ada untuk menghilangkan kemadaratan. Dalil keenam: Khilafah termasuk perkara yang dituntut oleh fitrah dan adat manusia (Lihat: Ad-Dumaiji, al-Imâmah Al-‘Uzhma, hlm. 49-64).

Sungguh, penjelasan hampir 20 halaman untuk dalil-dalil wajibnya Khilafah ini sudah barang tentu akan memperluas cakrawala wawasan keilmuan Muslim. Kita patut berterima kasih kepada penulisnya.

Karena itu, akan terasa aneh bin ajaib kalau ada yang mengatakan, “Khilafah tidak ada dalilnya (nash) dari al-Quran dan al-Hadis. Khilafah hanya ijtihad para Sahabat dan ulama.” Sesungguhnya akan lebih sopan dan akan bisa dimaklumi kalau mereka mengatakan, “Kami belum menemukan dalil wajibnya Khilafah.” Kalau mengklaim Khilafah tidak ada dalilnya, sesungguhnya ini adalah suatu kesombongan yang besar sekaligus pembodohan yang keji kepada umat Islam. Allah ‘Azza wa Jalla akan meminta pertanggungjawaban atas perkataan batil itu pada Hari Kiamat nanti. []

 

Referensi:

Abdusshomad, Muhyiddin, “Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah),” http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10652.

Al-Hamdawi, Abdul Karim Muhammad Muthi’, “Fiqh al-Ahkâm Al-Sulthâniyah,” (www.saaid.net)

Al-Mushili, Sayyid Muhammad Habib Al-Ubaidi, Habl al-I‘tishâm fî Wujûb al-Khilâfah fî Dîn al-Islâm, (Al-Mushili: Tanpa Penerbit), 2003.

Asy-Syarif, Muhammad bin Syakir, “Muqaddimah fî Fiqh an-Nizham as-Siyasi Al-Islami,” (www.saaid.net).

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz ke-9 (Al-Istidrâk), (Damaskus : Darul Fikr), 1996.

Mathbaqaniy, Mazin bin Shalah, “An-Nizhâm as-Siyâsi fî al-Islâm,” (www.saaid.net).

Hasil Bahtsul Masail PWNU Jatim“Khilafah” Tidak Tepat Untuk Indonesia,” http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10686.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*