Pembaca yang budiman, dalam sistem demokrasi, keberadaan partai politik (parpol) idealnya merepresentasikan harapan dan aspirasi masyarakat, karena parpol yang bertarung dalam Pemilu memang dipilih oleh rakyat untuk mewakili mereka di lembaga perwakilan rakyat. Namun, fakta berbicara lain. Keberadaan parpol dalam sistem demokrasi sering tidak mewakili rakyat yang memilihnya, tetapi mewakili dirinya sendiri, para anggotanya bahkan para pemilik modal yang telah men-suport parpol dalam Pemilu.
Kenyataan ini bisa kita lihat di lapangan. Lembaga legislatif (DPR) maupun eksekutif (kabinet) yang notabene didominasi orang-orang parpol pilihan rakyat justru sering mengeluarkan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Sebut, misalnya, kebijakan mengenai kenaikan tarif BBM, listrik, telepon, jalan tol dll; juga lahirnya sejumlah UU pro-kapitalis seperti UU SDA, UU Energi, UU Penanaman Modal, dll yang notabene mengesampingkan aspirasi, kepentingan dan kemaslahatan rakyat.
Wajar jika kemudian, dari berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei di Tanah Air, rakyat memendam kekecewaan yang mendalam bahkan muak dengan keberadaan parpol-parpol yang ada, karena dianggap tidak peduli terhadap nasib dan penderitaan rakyat. Bahkan para wakil rakyat di DPR yang notabene didominasi orang-orang parpol itu sibuk memfasilitasi diri mereka sendiri dengan gaji dan insentif yang tinggi serta berbagai fasilitas yang serba mewah—tentu dengan uang rakyat—justru di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa parpol dalam sistem demokrasi cenderung mendekati rakyat hanya saat Pemilu dan mengkhianati rakyat setelah mereka berhasil meraih suara dalam Pemilu? Bagaimana pula dengan keberadaan parpol-parpol Islam? Adakah lebih peduli rakyat? Ataukah sama saja dengan parpol-parpol sekular? Bagaimana pula sesungguhnya karakter parpol Islam yang bisa menjadi tumpuan harapan rakyat? Itulah beberapa pertanyaan yang akan coba dibahas dalam tema utama al-Wa’ie kali ini. Selamat membaca!
Kenapa terjadi dan bukan sering terjadi, tapi selalu terjadi bahwa wakil rakyat tidak mewakili rakyatnya.
1. Memang tidak pernah sang wakil rakyat itu membuat agreement bahwa akan menjalankan titah orang yang diwakilinya.
2. MUSTAHIL, bahwa wakil rakyat didalam sistim demokrasi didalam setiap kebijakannya, bermusyawarah dulu dengan orang2 yang ada didalam partainya yang mengangkat dirinya, apalagi mau bermusyawarah dengan rakyat, emangnya gampang ngumpulin tukang sayur, tkg ojek, pak tani, ibu2 dan bapak2 seluruh nya yang ada di negara itu.
3. Yang ada juga ia mewakili dirinya, keluarganya atau paling banter adalah partainya. Itu yang bisa ia wakilkan.
4. Juga biasanya jika wakil rakyat itu asal usulnya dari NGO atau partai yang di suport negara asing, maka ia akan mewakili negara asing itu sendiri. Nah ini yang banyak terjadi.
Wal hasil se malaikat2 nya wakil rakyat dari parpol yang ada didalam pemerintahan, maka dia tidak akan keluar dari garis2 UU negara, yang mana kalau di Indonesia adalah, tidak akan keluar dari UUD dan UU yang disepakati orang orang campuran dari kafir sampai dengan mumin. Hawa nafsu dan kompromi menyatu menjadi satu.
Benar sekali masduki, palingan juga mewakili rakyat dalam kesejahteraan finansial( kalo wakilnya udah berkecukupan rakyatnya gak usah soalnya udah terwakili )
Syariah Islam Solusinya….
dalam melihat persoalan bangsa dan negara tentu kita harus melihat secara lebih teliti. bangsa indonesia adalah bangsa yang mempunyai sejarah panjang. tentu kesemuanya itu membutuhkan proses dalam melakukan perbaikan. ada pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan kepada masyarakat, kepada individu-individu yang merupakan bagian dari masyarakat, bangsa dan negara. melakukan analisa SWOT yang tepat merupakan dasar untuk melaukan perubahan. sesuatu yang seharusnya dilihat dengan jarak dekat tentunya harus dilihat dengan jarak dekat pula, jangan sampai sebaliknya. jangan melihat apa yang ada disampingmu, depanmu, atau belakangmu, tapi lihatlah apa yang ada dalam dirimu. di dalam lahan yang subur sekalipun dapat tumbuh ilalang yang paling liar.
itu udah banyak dan selalu dilakukan pa Aburahmah…dan GAGAL TOTAL… soalnya emang masalahnya ada di Demokrasi,Boss!!
Majalah Al Wa’ie ini sangat berbeda, unik, dan ideologis. Jelas sekali perbedaannya dengan majalah-majalah Islam lainnya. Saya bersyukur berlangganan majalah ini sejak bulan September 2000 (mulai nomor perdana). Banyak tsaqafah ideologis yang saya dapatkan. Alhamdulillah, majalah ini secara tidak langsung telah men-tarbiyah saya menjadi muslim yang baik. Alhamdulillah.
di mata HTI bad news is good news, cuma cari sisi negatif, jd pusing umat kalo disuruh pikiran negatif melulu,padahal msh banyak sisi positif yg harus dikembangkan. HTI memang baru belajar, entar juga kalo kadernya banyak nggak beda.