HTI

Muhasabah (Al Waie)

Penanganan Kasus Ahmadiyah

Dalam pandangan Islam, munculnya pengakuan suatu kelompok atas seseorang sebagai nabi/rasul adalah suatu bentuk kemungkaran yang merusak kesucian akidah Islam.  Sebab, ajaran Islam hanya mengakui Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir; tidak ada nabi/rasul lagi sesudah Beliau. (QS al-Ahzab [33]: 40).

Baginda Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:

وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ

Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah. (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. mengecap siapa saja yang mengaku nabi/rasul setelah Beliau sebagai pembohong besar (kaddzâb).  Dalam sebuah riwayat Beliau pernah bersabda (yang artinya: Tidak akan terjadi kiamat hingga keluar 30 orang pendusta. Di antara mereka adalah Musailamah, al-Ansiy, dan al-Mukhtar. (HR Abu Ya’la).

Maksud pendusta dalam hadis tersebut adalah seperti hadis berikut: Tidak akan terjadi kiamat hingga muncul para dajjal pendusta yang jumlahnya mendekati tiga puluh dan semuanya mengaku bahwa mereka adalah rasulullah (Lihat: Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, X/410).

Setelah tidak mungkin kembali kepada kebenaran Islam, Musailamah dan sekitar 40 ribu pengikutnya yang murtad dari Islam akhirnya ditumpas dalam Perang Yamamah.

Keberadaan kelompok Ahmadiyah hari ini memiliki modus seperti kelompok Musailamah al-Kaddzab.  Tentu ini sangat membahayakan umat Islam. Kelompok ini secara nyata telah menyimpang dari Islam ketika menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, Tadzkirah adalah kitab suci serta Qadiyan dan Rabwah di India dan Pakistan adalah tempat suci. Jika dibiarkan, ajaran ini pasti akan terus menggerus akidah umat dan memurtadkan mereka. 

Islam telah menetapkan bahwa murtad adalah tindakan berbahaya dan haram (QS al-Baqarah [2]: 217). Kita berkewajiban mengajak mereka bertobat kembali pada Islam. Jika mereka tidak mau maka mereka dikenai hukuman mati sesuai dengan prosedur hukum syariah (HR al-Bukhari). Karena itu, perbuatan murtad tidak bisa dibenarkan dengan alasan kebebasan beragama.  Dalam Covenant Internasional tentang HAM sendiri pada pasal 18 c dinyatakan perlunya pembatasan HAM untuk menjaga ketertiban umum. Tentu termasuk dalam hal ini adalah perusakan akidah Islam oleh Ahmadiyah yang mengklaim bahwa kata Ahmad dalam surah ash-Shaf adalah Mirza Ghulam Ahmad dan bahwa Allah menyebut dirinya dengan nama Muhammad dan rasulullah.   Tentu ini adalah kebohongan nyata yang menodai kesucian al-Quran dan kenabian Nabi Muhammad saw.

Hal-hal di ataslah yang menjadi keprihatinan Forum Umat Islam (FUI) sebagai wadah silaturahmi, komunikasi, dan koordinasi pimpinan ormas-ormas Islam tingkat pusat.  Karena itu, saya bersama KH Abdurrasyid Abdullah Syafii, H. Ahmad Sumargono, H. Aru Seif, Dr. Abdullah Asri Harahap, Drs. Amin Jamaluddin serta sekitar 20-an tokoh pimpinan ormas Islam tingkat pusat yang tergabung dalam Forum Umat Islam(FUI) mendatangi Kejagung pada tanggal 3 Januari untuk menyampaikan surat desakan kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji  sebagai pihak Pemerintah untuk segera membubarkan Ahmadiyah. 

FUI memandang telah cukup alasan bagi Pemerintah untuk segera membubarkan Kelompok Ahmadiyah setelah berbagai pertimbangan dan alasan syariah yang dimuat dalam ketetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) hasil Munas MUI VII di Jakarta, pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1426 H/29 Juli 2005. Ketetapan tersebut menegaskan kembali keputusan Fatwa MUI dalam Munas ke-II tahun 1980 yang menetapkan bahwa: aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan; orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam); yang mengajak mereka dan terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya kembali pada ajaran Islam yang haq yang sejalan dengan al-Quran dan al-Hadis; Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya karena kalau tidak, tentu proses perusakan akidah Islam dan pemurtadan umat Islam akan terus berlangsung.

Oleh karena itu, dalam kesempatan Tablig Akbar Bersama Ormas-ormas Islam Menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1429H di Masjid Agung al-Azhar pada tanggal 10 Januari lalu, FUI kembali menyerukan kepada Pemerintah agar segera membubarkan kelompok/gerakan Ahmadiyah. Sebab, selain berbagai pertimbangan di atas, juga mengacu pada:

(1) Hasil rapat Tim Pakem Pusat tanggal 18 Januari 2005 yang dihadiri oleh seluruh Tim Pakem Pusat yang dikoordinir oleh Jaksa Agung Muda Intelijen di Gedung Utama lantai 3 Kejaksaan Agung RI yang telah sepakat memutuskan bahwa Aliran Ahmadiyah Qodiyani maupun Ahmadiyah Lahore kedua-duanya dilarang di seluruh Indonesia. Hasil rapat Tim Pakem Pusat tanggal 12 Mei 2005 yang telah merumuskan rekomendasi Tim Pakem Pusat tentang pelarangan Ahmadiyah sebagai kelanjutan hasil rapat Tim Pakem tanggal 18 Januari 2005 tersebut disampaikan untuk disampaikan kepada Presiden RI.

(2) Surat Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, pasal 2 ayat 1 dan 2 tentang kewenangan Saudara Jaksa Agung berkaitan dengan pelarangan dan pembubaran aliran sesat yang telah menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.

Karena itu, sungguh terlalu kalau sampai rapat Bakorpakem Kejagung pada tanggal 15 Januari menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mengaku Islam tidak sesat dan tidak dapat dibubarkan demi menjaga hak asasi mereka dalam berkeyakinan.

Akhirnya, kepada para ulama dan pimpinan ormas Islam, kami menyerukan agar merapatkan barisan dan mempererat ukhuwah islamiyah dalam menangkal bahaya kelompok sesat Ahmadiyah maupun lainnya.  Para ulama dan pimpinan ormas Islam agar meningkatkan pembinaan akidah dan syariah Islam secara kâffah kepada umat agar memiliki kesadaran yang utuh terhadap akidah dan syariah sebagai kesempurnaan agama Islam yang dipeluknya sehingga dapat membentengi diri dari pengaruh buruk aliran sesat dan menyesatkan.

Kita semua berdoa semoga Allah Swt. menghancurkan kaum dajjâl pembohong (dajjâl[un] kaddzâb[un]) hingga segera sirna dari bumi Indonesia pada tahun baru 1429 Hijrah ini. Wallâh al-Musta‘ân! []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*