Pengantar:
Reformasi memberi kesempatan luas untuk terjun dalam kancah politik. Puluhan partai politik pun berdiri. Tentu saja kesempatan itu juga terbuka luas bagi para ulama.
Ustadz, sering dikatakan, Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, bagaikan dua sisi mata uang. Bagaimana pandangan Ustadz?
Benar. Politik dalam Islam adalah sesuatu yang ma‘lûm[un] min ad-dîn bi adh-dharûrah. Memisahkan politik dari Islam, dengan menjadikan Islam hanya sebatas ritus dan moral, adalah pendiskreditan Islam. Logis kalau ide pemisahan Islam dengan politik ini tidak kita jumpai pada generasi Islam terdahulu. Ini adalah ide ‘nyleneh’ yang sebelumnya tidak dikenal dalam Islam.
Lalu siapa yang harus berpolitik?
Di dalam Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’, politik dalam Islam diartikan sebagai pemeliharaan (ri‘âyah) urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan syariah Islam. Subyeknya adalah negara dan umat. Negara secara real melaksanakan pemeliharaan tersebut, sementara umat melakukan kontrol terhadap ri‘âyah yang dilakukan oleh negara. Muhammad Muhsin Radhi dalam tesis masternya di Universitas
Tentang ulama berpolitik.
Allahummarham ummata Sayyidinâ Muhammad…Saya jadi ingat ungkapan Dr. Samih Athif az-Zain dalam bukunya, As-Siyâsah wa Siyâsah ad-Duwaliyyah. Intinya, makna politik yang bersih dan identik dengan kebaikan serta perbaikan dikaburkan dengan konvensi di masyarakat saat ini bahwa politik itu identik dengan perilaku menyimpang dari yang haq; bahwa bahwa politik itu identik dengan kebohongan, kecurangan serta penyesatan yang memang lazim dilakukan oleh para politikus serta penguasa saat ini. Artinya penyimpangan (perilaku) para politikus dari yang haq, kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat, serta perampasan terhadap kepentingan masyarakat tersebut telah mengacaukan pengertian politik yang bersih. Akibatnya, para penguasa tersebut menjadi ‘musuh’ rakyat. Padahal seharusnya politik tersebut menjadikan mereka sebagai para wali yang salih serta muhsin. Fakta itu lalu dieksploitasi habis-habisan oleh para propagandis sekulerisme. Bahkan hal tersebut semakin mengkristalkan propaganda mereka untuk menjauhkan para pengemban agama dari politik. Mereka berdalih bahwa orang yang taat beragama adalah manusia yang takut pada Allah, mereka tidak boleh menceburkan diri dalam aktivitas politik, karena politik itu penuh dengan kebohongan, tipudaya, keculasan dsb.
Lalu bagaimana gambaran aktualisasi politik para ulama saat ini?
Al-Qadhi Ibn Iyadh berkata, “Ulama itu ibarat ‘bunga’ umat saat musim semi. Jika orang sakit melihatnya, kalaupun tidak menyembuhkan, paling tidak akan meringankan (rasa sakit). Jika orang fakir melihatnya, dia merasa menjadi kaya.” Tentu ulama demikian, dalam istilah Imam al-Ghazali dalam Al-Ihyâ’, adalah ulama akhirat, bukan ulama dunia atau ulama sû’.
Aktualisasi peran ulama saat ini realnya adalah seperti yang digambarkan oleh Syaikh Ali Belhaj, ulama terkemuka dari FIS, dalam kitabnya, Fashl al-Kalâm fî Muwâjahah Zhulm al-Hukkâm. Pertama: memadukan ilmu dan amal. Artinya, antara ilmu yang dia kuasai dan aktivitas yang dia lakukan selalu sejalan. Kedua: selalu membela dan memperjuangkan hak-hak umat.
Bicara politik juga harus bicara partai politik. Bagaimana sebetulnya panduan Islam tentang partai politik itu, Ustadz?
Dalam Islam kiprah partai itu dijelaskan dalam QS Ali Imran (3) ayat 104. Menurut Syaikh Ali ash-Shabuni dalam Shafwah at-Tafâsîr, kata ummah dalam ayat tersebut artinya adalah jamaah atau hizb. Aktivitas partai atau jamaah itu tidak lain adalah mengajak pada al-khair yakni mengajak pada Islam dan (menerapkan) syariahnya serta melakukan amar makruf nahi mungkar.
Saat ini partai politik seolah hanya concern pada urusan kekuasaan. Bagaimana sebetulnya peran parpol dalam pandangan Islam?
Dalam sistem kapitalis, partai memang “harus” concern pada kekuasaan. Itu konsekuensi ideologis. Saat Pemilu mereka berlomba untuk menjadi pemenang, baik sendiri maupun berkoalisi. Lalu ketika kalah ya menjadi oposisi dengan harapan pada Pemilu berikutnya menjadi pemenang dan menjadi partai yang berkuasa. Lazimnya, untuk tujuan itu tidak ada cara yang diharamkan; semua boleh—money politics, konspirasi, dsb. Di sebagian pesantren ada guyonan, “Kalau di Pesantren pakai Tafsîr Jalâlayn, tapi kalau di partai politik pakai ‘tafsir jalan lain’.” Ini adalah sarkasme. Dalam Islam tidak dikenal yang seperti itu.
Kalau begitu, apakah ulama mesti berkecimpung dalam partai politik?
Jawabannya ya dan tidak. Ya kalau yang dimaksud adalah partai politik dalam rangka melaksanakan perintah Allah Swt. dalam QS Ali Imran ayat 104 sebagaimana disebutkan tadi. Bahkan dalam hal ini, bukan hanya ya, tetapi hukumnya wajib kifayah.
Tidak kalau berkiprah hanya untuk secara kolektif melakukan keculasan, kebohongan atau kezaliman dengan menerapkan kaidah “tujuan itu membolehkan (penggunaan) semua cara”, serta melakukan cover up terhadap sistem kapitalis. Kalau yang semacam ini sih tidak boleh bukan hanya bagi ulama, tetapi juga bagi seluruh kaum Muslim. Terhadap partai yang begini, seharusnya yang dilakukan oleh para ulama adalah melakasanakan perintah Qudwatunâ Rasulullah saw., yaitu dengan menasihati mereka dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah. Namun ingat, pengertian nasihat di sini adalah seperti yang diungkapkan oleh al-Hafidz Ibn al-Atsir: irâdah al-khayri li al-manshûh (harapan kebaikan atas yang diberi nasihat). Untuk memerankan hal ini ulama tidak harus menjadi bagian integral dari partai tersebut.
Jika ulama tidak berkecimpung dalam patai politik, lalu bagaimana para ulama mengaktualisasikan peran politiknya?
Kewajiban dakwah itu ada yang sifatnya individual, misalnya, menghilangkan kemungkaran saat melihatnya; ada juga yang sifatnya kolektif atau jama‘i. Kewajiban yang sifatnya kolektif tentu harus melalui jamaah atau partai. Misalnya kewajiban iqâmah ad-dawlah al-khilâfah. Imam al-Hafidz an-Nawawi menegaskan bahwa keberadaan Imam/Khalifah bagi umat untuk menegakkan agama, menolong as-Sunnah menolong orang yang dizalimi serta menempatkan hak pada tempatnya adalah fardhu kifayah. Imam al-Amidi dalam Al-Ihkâm menegaskan, bahwa sebagai kewajiban, fardhu kifayah tidak berbeda dengan fardhu ‘ain. Memang tidak harus seluruh kaum Muslim melaksanakan kewajiban itu, tetapi perlu dicatat bahwa fardhu kifayah itu disebut selesai dilaksanakan jika memang telah terlaksana; jika belum maka kewajiban itu tetap dibebankan atas seluruh kaum Muslim yang terkena khithâb taklîf.
Jadi kongkretnya, yang seharusnya dilakukan oleh para ulama adalah menghilangkan kemungkaran ketika menyaksikannya, dan secara kolektif berada di garda terdepan bersama dengan kaum Muslim untuk melaksanakan aktivitas dakwah pada Islam dan syariahnya dengan dakwah isti’nâf al-hayâh al-islâmiyyah bi iqâmah dawlah al-khilâfah, serta amar makruf nahi mungkar, utamanya mengoreksi penguasa.
Ketika ulama terjun dalam partai politik dikhawatirkan mereka akan kehilangan ‘keulamaannya’ dan akhirnya terkooptasi oleh urusan kekuasaan dan kepentingan. Bagaimana agar hal itu tak terjadi, Ustadz?
Itu terjadi karena ulama tersebut adalah ulama sû’. Na‘ûdzu billâh tsumma na‘ûdzu billâh. Allahummansur ummata Muhammad, yâ Allâh yâ Karîm. Untuk menghindarinya ya jangan menjadi ulama sû’, jadilah ulama akhirat.
Bagaimana gambaran realnya peran ulama dalam partai politik itu Ustadz?
Secara singkat kiprah ulama dalam partai politik paling tidak ada tiga poin. Pertama: menempatkan diri di garda terdepan dalam melakukan aktivitas kolektif yang sifatnya wajib kifayah: da‘wah ila al-khayr, yaitu berdakwah untuk mengajak pada Islam dan (penerapan) syariah serta amar makruf nahi mungkar. Mengapa berada di garda terdepan? Karena tentu para ulama memiliki isthithâ‘ah di atas rata-rata kaum Muslim untuk melakukan hal itu. Imam al-Qurthubi menegaskan bahwa yang (lebih) diwajibkan melaksanakan perintah Allah dalam QS Ali Imran ayat 104 itu adalah para ulama.
Kedua: dengan tidak diterapkannya hukum Allah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat maka kaum Muslim, terutama para ulama, wajib untuk memperjuangkan penerapan hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan dengan iqâmah ad-dawlah al-khilâfah. Kewajiban berhukum pada hukum Allah ini adalah konsekuensi akidah kita.
Tentu para ulama sangat paham bahwa adanya Imam/Khalifah untuk menerapkan hukum Allah dan seterusnya adalah fardhu kifayah, seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi.
مَا مِنْ رَجُلٍ يَحْفَظُ عِلْمًا فَيَكْتُمُهُ إِلاَّ أُتِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ النَّارِ
Tidaklah seseorang yang menghapal satu ilmu, lalu dia menyembunyikannya, kecuali dia akan didatangkan pada Hari Kiamat dalam keadaan terikat dengan rantai dari api neraka. (HR Ibn Majah).
Menurut Syaikh Ali Belhaj, salah satu ciri ulama itu adalah terpadunya ilmu dan amal. Dengan ilmunya tentu para ulama juga wajib memperjuangkan terlaksananya fardhu kifayah itu. Selama kewajiban ini belum tertunaikan maka kwajiban itu tetap terbebankan kepada seluruh kaum Muslim yang terkena taklif. Tentunya para ulama lebih wajib daripada yang lain.
Ketiga: Masih menurut Syaikh Ali Belhaj, ciri ulama berikutnya adalah selalu membela hak-hak umat. Bagaimana? Dengan dua hal:
(1) Menyadarkan umat akan hak serta kewajiban mereka. Caranya adalah dengan menjelaskan fakta yang sebenarnya terjadi serta mengungkapkan secara jujur dan ikhlas bagaimana pihak asing telah men-set up seluruh segmen kehidupan sehingga mereka bisa menguasai seluruh urat nadi ekonomi bahkan politik tanpa peduli terhadap nasib masyarakat. Tentu hal ini membutuhkan kemampuan berpikir politik yang prima.
(2) Melakukan koreksi terhadap penguasa.
Seperti inilah kurang lebih kiprah para ulama yang diidamkan oleh umat. []