HTI

Iqtishadiyah

Anak Cucu Kita Menanggung Skandal BLBI

Kasus BLBI kembali diungkit. Bukan hanya kucuran dana BLBI saja yang di ungkit, tetapi juga tanggung jawab pemberi dan penerimanya. Mengapa Pemerintah waktu itu begitu mudah mengucurkan dana, membantu para konglongmerat yang sudah nyata-nyata ‘merampok’ negara? Apakah dalam pengucuran dana tersebut ada tekanan pihak asing? Bagaimana makar para ‘bandit hitam’ sehingga bisa menguasai kembali aset-aset mereka yang sudah dimiliki oleh negara? Mengapa pula para obligor ‘pengemplang’ dapat dengan mudah ‘lepas’ dari jeratan hukum dan bahkan terkesan sangat susah diselesaikan kasus hukumnya? Siapa yang bermain di balik ini semua? Adakah pihak-pihak yang ‘memancing di air keruh’; memanfaatkan para obligor untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Redaksi al-Wa‘ie (Gus Uwik) mewawancarai Bapak Ir. Marwan Batubara, MSc, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mewakili Provinsi DKI Jakarta. Semuanya dijawab dengan gamblang dan lugas. Berikut petikan wawancaranya.

 

Mengapa BLBI susah diselesaikan?

Pertama: Karena itu melibatkan dana besar, artinya juga pengusaha besar; melibatkan juga penguasa; termasuk juga lembaga internasional, yang memang berkepentingan dan mendapat keuntungan dari kasus ini. Kedua: mereka ingin mengamankan supaya skandal itu tidak diungkit-ungkit. Nah, karena ini melibatkan pengusaha besar, uangnya kan tidak terbatas. Lalu dengan uang ini, mereka bisa menghitam-putihkan kasus ini, membuat abu-abu dan lain sebagainya. Dengan itu jugalah mereka bisa menguasai lembaga-lembaga peradilan dan atau lembaga-lembaga negara, termasuk juga mungkin orang-orang di parlemen.

Lembaga peradilan yang seharusnya memproses itu bisa jadi bungkam atau, meskipun memproses, melihat pengalaman selama ini, kalau orang itu sampai dihukum, misalnya, hukumannya biasanya tidak tinggi-tinggi. Sebaliknya, kalau yang dihukum vonisnya tinggi, biasanya mereka itu sudah sempat lari, karena memang dikasih kesempatan. Saya yakin itu oleh lembaga-lembaga peradilan itu.

 

Ada pihak lain yang memanfaatkan skandal BLBI ini?

Itu jelas ada sehingga muncul istilah bahwa obligor itu menjadi “ATM” bagi orang-orang tertentu. Orang-orang ini bisa berarti perorangan, bisa dalam arti kelompok atau organisasi, atau juga yang punya posisi atau penguasa. Artinya, ada kecurigaan mengungkit kasus ini bukan supaya agar kasus BLBI ini tuntas, tetapi justru untuk mengambil manfaat; dibesar-besarkan terlebih dulu sehingga punya nilai tawar yang lebih tinggi, lalu setelah didapat, ya sudah…kasus itu tidak dilanjutkan. Saya bisa begini begitu…Anda merugikan Negara sangat besar maka mempunyai ancaman vonis sangat besar. Nah, dengan alasan-alasan ini bisa dipakai untuk memeras. Begitu dapat uang perasannya, bisa saja kan ditutup lagi kasusnya.

Saya merasa, ini satu potensi yang terjadi, seperti yang disinyalir oleh Van George (menulis di Investor) bahwa ini semua adalah permainan saja. Karena dia mendengar langsung dari petinggi-petinggi partai yang punya hubungan langsung dengan penguasa. Itu disebutkan bahwa yang namanya demo, seminar dan apa-apa yang terjadi di publik yang terkait dengan BLBI ini hanya sandiwara saja. Tidak akan tuntas itu. Memang itulah yang terjadi selama 9-10 tahun ini sejak kasus itu digulirkan.

 

Respon para obligor sendiri bagaimana?

Ya, pasti segala cara mereka lakukan untuk melindungi diri. Saya kira mereka sudah berpengalaman dengan pemerintahan sebelumnya. Kalau gak, pasti mereka sudah masuk. Yang paling nyata adalah terjadi konspirasi antara IMF dan mereka agar keluar Perpres 8/2002. Dari situ nanti keluar SKL (Surat Keterangan Lunas). Dengan adanya SKL ini akhirnya tidak ada tuntutan pidana. Lalu dengan SKL ini pula mereka dianggap lunas dengan utang-utangnya dan dinyatakan juga tidak akan dituntut dibelakang hari dengan tuntutan pidana. Itu semua saya kira tidak akan muncul dengan begitu saja tanpa ada kompensasi yang mereka keluarkan.

 

Dugaan Bapak seperti apa?

Ya, adalah yang dibayar-bayar itu. Penguasa yang dibayar-bayar itu. Kalau enggak, mana bisa.

Lalu sebetulnya, kalau didalami lagi, dalam SKL itu bahwa kalau di belakang hari ditemukan ada pelanggaran, atau ada hal-hal yang menyimpang, ini kan sebetulnya mereka bisa dituntut kembali. Contohnya kasus Salim. Kalau seandainya pengadilan di Lampung menyatakan bahwa Salim ini bersalah dalam kasus pabrik gula itu. Kalau itu sudah jelas sebagai vonis pengadilan. Ini kan bisa ditarik lagi ke SKL untuk diproses lagi yang dulu itu. Tapi, mana ini? Kok gak ada.

 

Pemerintah apakah berniat untuk menyelesaikan kasus BLBI?

Saya tidak mau menilai bahwa  Pemerintah mempunyai niat jelek atau mempunyai kepentingan seperti yang disebut-sebut untuk menjadikan obligor sebagai mesin ATM. Saya lebih ingin menghimbau agar janganlah melakukan seperi itu. Hal yang disangkakan buruk oleh beberapa kalangan. Meskipun itu telah terjadi pada pemerintahan sebelumnya.

 

Bagaimana dampak kasus BLBI bagi masyarakat?

Sangat besar sekali dan itu berkepanjangan. Sebab, anak-cucu kita akan tetap ikut membayar skandal BLBI ini dalam bentuk bunga obligasi yang akan terus dibayar sampai 2030. Sepanjang obligasinya tidak ditarik maka bunganya akan terus dibayar oleh Pemerintah lewat APBN. Jumlahnya kan besar, Rp 400 triliun.

Jadi masalahnya bukan hanya sekadar BLBI-nya, termasuk juga obligasinya itu. Dengan obligasi inilah IMF mendapatkan keuntungan dengan penjualan BCA yang masih mengandung obligasi. IMF memaksa Pemerintah untuk menjual BCA dengan harga murah. Beberapa anak Bank Dunia sangat berminat dengan bank-bank yang sudah disehatkan yang masih mengandung obligasi dan mungkin sudah ada yang dibeli. Bank-bank ini pasti menguntungkan karena sudah given mendapatkan bunga obligasi setiap tahun dari Pemerintah.

 

Detailnya seperti apa, Pak?

Kasus BLBI ini sebenarnya ada dua hal. Pertama: bahwa Bank itu bangkrut. Karena bangkrut maka Pemerintah mengucurkan bantuan berupa bantuan likuiditas yang disebut BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang besarnya Rp 143 triliun. Bangkrutnya ini lebih disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan oleh para pemilik bank. Uang yang mereka kumpulkan dari bank-bank mereka, mereka pakai untuk membiayai proyek-proyek di perusahaan meraka sendiri.

Dengan menyuntikkan bantuan likuiditas tadi, Pemerintah harus berutang. Utang ini harus ditanggung oleh Negara. Dengan utang ini, Pemerintah harus menyiapkan uang untuk menyicil pokok dan bunga utangnya juga. Akhirnya alokasi APBN banyak tersedot kesana. Akibatnya, alokasi untuk kebutuhan dan pemenuhan rakyat miskin berupa pendidikan, kesehatan, dll jadi terkurangi. Dengan kata lain, Negara menolong orang yang melakukan kejahatan yang sekarang sebetulnya sudah kaya.

Kedua: karena bank-bank ini tadinya sudah bangkrut, lalu Pemerintah itu menyuntikkan uang tapi tidak dalam bentuk tunai, dalam bentuk obligasi. Nah, Pemerintah mengeluarkan Rp 430 triliun. Artinya, bank ini seolah-olah punya uang untuk membeli obligasi dari Pemerintah. Dengan dia pegang obligasi, bank-bank tersebut berhak untuk mendapatkan bunga dari Pemerintah setiap tahun. Memang, bank-bank ini kemudian menjadi milik Pemerintah. Dengan obligasi ini, Pemerintah harus membayar bunga obligasi setiap tahunnya sebesar 40–60 triliun, bergantung pada bunga deposito dan obligasi di bank, yang itu diambil dari APBN.

Jadi, sudahlah Pemerintah harus membayar bunga untuk bantuan likuiditas, masih ditambah lagi harus membayar bunga untuk obligasi yang seolah-olah dibeli oleh bank-bank yang bangkrut tadi. Padahal obligasi tersebut itu secara gratis dikasih Pemerintah.

Jadi, APBN habis untuk membayar ini. Artinya, dana-dana yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan rakyat, akhirnya tersedot ke sana. Dari sinilah rakyat dikorbankan.

 

Ketidakadilan yang lain, dimana Pak?

Karena bank-bank itu disuntik sehingga sudah dimiliki oleh Pemerintah, sebetulnya pada awal-awal kebijakan obligasi ini tidak ada masalah, karena pemerintah memberikan obligasi, toh bank-bank tersebut kan miliknya Pemerintah. Cuma belakangan, bank-bank tersebut dipaksa dijual ke swasta oleh IMF, dengan harga murah lagi. Artinya, Pemerintah ngasih ke asing, atau ke pembeli yang mungkin—karena waktu itu banyak KKN—bisa saja, pemilik yang dulu sekarang memiliki lagi saham di bank-bank yang sudah bangkrut tadi.

Nah, di sini kita melihat, bagaimana waktu penjualan BCA dulu, IMF menekan Pemerintah. Harus segera jual. Lalu terjuallah dengan harga Rp 5 triliun untuk 51% saham. Padahal BCA menerima obligasi sebesar 60 triliun. Belum lagi, BCA setiap tahun menerima bunga obligasi 5–10 triliun. Di sinilah ketidakadilannya. Di sana terlihat bagaimana peran IMF sangat dominan menekan Pemerintah. Sebaliknya, Pemerintah tidak berani.

Karena itu, tuntutan kita adalah tidak saja menyelesaikan tuntutan terhadap para obligor saja, termasuk juga tidak membayar lagi bunga obligasi lagi. Jangan dibayar lagi. Nah, yang kita sayangkan juga bahwa bank-bank milik Pemerintah yang juga menerima obligasi seperti Bank Mandiri, BNI dan BRI, juga akan dijual melalui mekanisme IPO ke swasta atau asing. Kalaupun mau dijual, obligasinya ditarik dulu.

 

Jadi, asing bermain dalam kasus BLBI ini?

Oh, iya. Jelas sekali. Kalau tidak salah, BNI juga kan akan dijual. Saya dengar, anak perusahaan Bank Dunia sangat berminat untuk membelinya. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*