HTI

Afkar (Al Waie)

Bahaya Jika PLN Diswastanisasi

Pengantar:

Harga listrik dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Bukan hanya itu saja, PLN pun setiap tahun mengalami “kerugian”. PLN pun “di cap” sebagai BUMN yang tidak efisien dan “membebani” APBN. Kondisi ini menyebabkan pemerintah mengambil keputusan untuk menjual PLN ke asing dengan jalan halus di-unbundling (dipecah-pecah) baik secara vertikal maupun horizontal. Mengapa PLN senantiasa merugi dan tidak efisien? Apakah karena PLN sendiri yang tidak efisien atau karena adanya kebijakan pemerintah yang menyebabkan tidak efisien? Kebijakan-kebijakan apa saja yang menyebabkan ketidakefisienan tersebut sehingga PLN merugi besar-esaran tiap tahun? Apakah ada campur tangan asing untuk “membangkitkan” PLN? Untuk menjawab pertanyaan diatas, Redaksi al-wa’ie, Gus Uwik, mewawancarai Bapak Ir. Ahmad Daryoko, ketua SP PLN Pusat. Berikut petikan wawancaranya:

 

Kondisi PLN saat ini bagaimana, Pak?

Masyarakat mungkin bertanya-tanya, mengapa PLN selalu merugi terus? Sebenarnya ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama: ada ‘kesenjangan’ dalam beberapa faktor, yakni antara biaya produksi dan harga jual. Bicara biaya produksi sangat didominasi oleh pembangit-pembangkit yang bahan dasarnya minyak. PLN membeli minyak ke Pertamina dengan harga komersial, bukan harga subsidi seperti kalau kita beli minyak untuk mobil kita dengan harga Rp 4.300,-/liter. Jika harga BBM dunia saat ini mencapai $100/barel maka PLN membeli dengan harga Rp 7.000,- – Rp 7.500/liter. Kita masih menggunakan sekitar 36% pembangkit yang berbahan bakar minyak. Biaya produksinya Rp 38–40 triliun/tahun. Nah, inilah yang menjadi mengapa PLN sangat merugi.

Pembangkit yang menggunakan bahan bakar minyak, per-kwh-nya membutuhkan 1/3 liter minyak, atau membutuhkan sekitar Rp 2.300,-/liter untuk menghasilkan 1 kwh. PLN lalu menjualnya kepada konsumen sebesar Rp 620,-/kwh. Ini baru bahan bakar saja. Belum biaya administrasi, offerhad, pemeliharaan, transmisi, distribusi, dll. Bisa dilihat kesenjangannya.

Kedua: adanya inefisiensi ‘sistemik’. Bicara inefisensi, sebenarnya tahun 80-an PLN sudah menyiapkan pembangkit yang bisa dioperasikan dengan bahan bakar gas dan minyak yang bisa menghasilkan daya 7.500 megawatt seluruh Indonesia. Pembangkit ini seharusnya dioperasikan pakai gas karena biayanya lebih murah. Kalau dioperasikan dengan gas maka hanya membutuhkan biaya 7 triliun/tahun. Gas saat ini tidak ada karena ada  regulasi minyak dan gas yang ‘njomplang’, yang sebagian besarnya justru diekspor ke luar negeri, bukan untuk pasokan kebutuhan dalam negeri. Kalau pakai minyak maka biayanya Rp 33 triliun/tahun. Jadi, gara-gara tidak ada gas maka terjadi inefisiensi sebesar 26 triliun/tahunnya. Ini inefisiensi yang paling kentara.

Ketiga: Masalah SDM. Kalau kita evaluasi SDM di PLN, maka betul jika masih ditemui kelakuan dari SDM PLN yang tidak sesuai dengan aturan, seperti korupsi, mark up, manipulasi, dll. Saya pikir masih banyak juga. Namun, ini semua sangat bergantung pada ‘pembinaan’ instansi di atasnya. PLN kan punya atasan, Meneg BUMN sebagai pemegang saham. Juga mengikuti rambu-rambu yang dicanangkan oleh Menteri ESDM, kalau masalah keuangan mengikuti Departemen Keuangan. Kemudian permasalahan pengawasan jalannya kinerja, meskipun dalam pemikiran tidak tepat tetapi kenyataannya kita sering dipanggil DPR, Komisi VII. Sekian banyak instansi di atas PLN, tetapi mereka dalam pembinaan tidak efektif. Bahkan saya lihat, mereka bukan membina, tetapi malah membinasakan. Dalam artian, mereka semua ‘mengintervensi’ dalam konotasi negatif, artinya ngrecokin. Seperti halnya DPR kalau mengundang rapat dengar pendapat, ujung-ujungnya banyak oknum yang minta proyek. Nah, inilah yang membuat gak efisiennya PLN itu. Bahkan banyak cost yang dihambur-hamburkan dalam rangka menjaga keseimbangan direksi PLN dengan instansi di atasnya tadi.

 

Dengan dicap sebagai BUMN yang merugi, apa akibatnya?

Berdasarkan kondisi di atas, bahwa PLN inefisien, PLN merugi, akhirnya Pemerintah membuat suatu kebijakan-kebijakan ke arah kapitalis. Jadi, PLN menurut UU Kelistrikan No 20/2002, yang sudah almarhum itu, dengan alasan tidak efisien, maka arahnya PLN ini akan diswastakan. Ini agenda yang sudah terprogram ya, artinya sudah menjadi UU, yang sudah disetujui oleh DPR, Presiden. Ini bisa dilihat dalam pasal-pasal 8, 16, 17, 18, 19, 20 dari UU Kelistrikan. Jadi di sana, pembangkit akan diswastakan, kemudian retail juga diswastakan.

Kalau pembangkit diswastakan, perlu diketahui bahwa rata-rata, harga pembangkit yang paling murah adalah Rp 5,5 triliun. Siapa yang bisa membelinya? Sebagai contoh saja adalah Indosat yang sekian persennya harganya adalah Rp 5,5 triliun. yang membeli kan Temasek (Perusahaan Singapura, red.). Kalau dalam prediksi saya, kalau pembangkit dijual maka pembelinya adalah asing atau pengusaha nasional yang sudah pasti berkolaborasi dengan asing juga.

Kondisi ini terkait dengan cara pandang Pemerintah yang menghadapi permasalahan yang rumit ini dengan cara gampangan, yaitu sekarang sudah pusing mengoperasikan PLN, ya sudah saja dijual ke swasta. Alasannya, pertama, menjual dapat fee; kedua, dalam operasionalnya toh tidak ada tanggung jawab terhadap masyarakat. Nah, ini yang akan terjadi di Jawa-Bali.

 

Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah seperti apa detailnya?

Ada dua macam kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Untuk Jawa-Bali akan di-unbundling  vertical, di pecah-pecah secara fungsi, sedangkan di Luar Jawa akan di-unbundling horizontal, dipecah-pecah secara wilayah.

Kalau seperti ini, maka yang akan terjadi adalah lonjakan harga listrik. Penjelasannya seperti ini. Kalau sekarang ini, listrik yang dibangkitkan oleh PLN, masuk ke rumah kita, itu kan ibaratnya melalui tangan-tangan PLN sendiri, karena transmisi, distribusi, ritel, dll masih satu kesatuan pembangkit PLN sehingga biaya transmisi atau transfer priscing hanya terjadi satu kali, yaitu pada saat PLN menjual kepada konsumen. Namun, ketika sudah dipecah-pecah secara fungsi (unbundling  vertical) maka pembangkit ini akan menjadi instansi tersendiri atau birokrasi sendiri, transmisi birokrasi sendiri, distribusi birokrasi sendiri, ritel birokrasi sendiri. Listrik yang selama ini hanya satu birokrasi akhirnya dipecah-pecah menjadi empat birokrasi. Kita tahu, bahwa keempat perdagangan antar birokrasi memerlukan keuntungan, depresiasi, offerhead, dan pajak yang pasti. Nah, ini semua akan ditanggung siapa? Ditanggung oleh konsumen, kan? Nah, di situlah terjadinya atau realnya kenaikan harga listrik. Akan naik minimal 50% dari harga sekarang.

Ini pun terjadi pada saat kondisi normal. Pada saat kondisi jam-jam penuh (peak load), yaitu jam 15.00 – 22.00, ini akan terjadi kecurangan-kecurangan. Jika saat ini semua jalur masih dikendalikan oleh PLN semua maka General Manager di semua jalur saya pikir tidak ada yang berani main-main. Saat beban puncak, di Jawa-Bali membutuhkan sekitar 15.000 megawatt. PLN bisa membangkitkan antara 16.500 hingga 17.500 megawatt. Artinya, 15.000 megawatt ini ketutup. Bahkan ada kelebihan sekitar 1.500 hingga 2.500 megawatt yang bisa dijadikan cadangan kalau tiba-tiba ada permintaan tambahan.

Namun, ketika pembangkit-pembangkit ini dijual ke asing, dan ini pengalaman yang sudah terjadi terhadap negara-negara yang dipaksa oleh asing (IMF) agar PLN-nya dipecah-pecah secara fungsi seperti di Kamerun, yang terjadi justru praktik kartel di antara pembangkit-pembangkit yang ada dalam rangka meminta kenaikan harga listrik. Caranya, di antara pembangkit bekerja sama pura-pura rusak. Misalnya, Suryalaya yang sudah diincar oleh Prancis (CDA), Muara Karang (GE), Tambak Lorok (Jepang) dan yang lainnya maka akan bersepakat untuk tidak membangkitkan sesuai dengan kapasitasnya. Itu yang terjadi di Kamerun. Kalau perlu libur, pura-pura rusak. Turbin jebol, generator jebol, dll. Akibatnya, pada suatu saat nanti dibutuhkan, kalau terjadi praktik kartel maka mereka hanya akan membangkitkan di bawah kebutuhan, yakni di bawah 15.000 megawatt. Apa yang terjadi? Terjadilah offer priscing atau kenaikan harga.

Yang lain adalah rentannya sistem. Kalau kita tinggal, katakanlah di Kelapa Gading, Jakarta, nanti kalau ritel PLN betul-betul diswastakan, maka unit-unit pelayanan PLN yang ada akan dijual ke pengusaha-pengusaha; masing-masing ritel PLN berbeda-beda kepemilikannya. Jika ada gangguan listrik di rumah kita maka kita hanya bisa mengadu pada kantor ritel daerah kita. Dia hanya bisa nanya ke badan pengawas kelistrikan, tidak langsung bisa memberikan diagnosa dan penyelesaian atas gangguan listrik yang ada. Badan pengawas hanya bisa ‘tanya’ ke bagian lain, distribusi, pembangkit dan yang lain, tanpa bisa ‘memaksa’ jalur yang mengalami kerusakan untuk segera memperbaikinya. Yang terjadi justru adalah lempar tanggung jawab di antara instansi PLN, karena mereka mengklaim yang rusak bukan di bagiannya.

Bukan seperti sekarang. Kalau terjadi kerusakan maka kita tinggal telepon 123 atau bagian pengaduan. Di PLN ada bagian pengendali (Board of Director) yang bisa memantau semua jalur sehingga dapat dengan mudah diketahui dimana sumber kerusakannya. Langkah penyelesaiannya pun akan dengan mudah dilakukan, karena masih dalam satu komando. Kalau ada yang iseng di pembangkit maka BOD akan bisa ‘memecatnya’ atau menyelesaikannya, bukan seperti badan pengawas yang tidak punya kewenangan sama sekali.

Kondisi di atas pernah terjadi di California. Di sana Badan Pengawas Pasar Listrik tidak bisa berjalan secara optimal karena sudah disogok. Kalau masalah sogok-menyogok, di kita kan sudah biasa…akhirnya gak optimal.

 

Beberapa kalangan mengatakan, kalau listrik dikompetisikan maka harga listrik nanti akan murah karena ada persaingan di tingkat pengelola. Apakah betul seperti itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertanyaannya adalah kompetisi listrik itu dimananya? Karena kompetisi listrik itu berbeda dengan kompetisi minyak, pesawat atau yang lain. Misalnya minyak, kita bisa mencari harga yang termurah, apakah di Shell, Petronas, Pertamina, dan yang lainnya ketika kita mau membeli minyak dengan oktan sama. Kita bisa milih. Lha, kalau listrik,  kita tetap tidak bisa milih.

Listrik itu kompetisinya begini. Ketika diliberalkan jangan dikira nanti di depan rumah kita akan banyak muncul kabel-kabel distribusi dari non-PLN. Misalnya kabel hitam milik PLN, hijau milik siapa lagi, merah milik siapa lagi dan seterusnya sehingga kita bisa pilih mau pakai yang mana. Yang terjadi bukan seperti itu. Kabel yang sampai ke rumah kita tetap satu, yakni kabel PLN yang selama ini mengaliri listrik ke rumah kita, tetapi yang menguasai orang lain. Dengan begitu, bisa jadi harga listrik antar satu daerah dengan daerah yang lain berbeda-beda sesuai dengan kehendak pengusaha yang menguasai ritel. Bisa jadi harga listrik di rumah saya lebih murah dibandingkan dengan di Kalapa Gading atau di Pondok Indah.

Pertanyaannya adalah, apakah ketika suatu daerah terkena harga listrik mahal kemudian ingin mencari harga listrik yang lebih murah, rumahnya akan diajak ‘jalan-jalan’ mencari daerah yang menjual listriknya lebih murah? Atau menarik kawat panjang dari daerah yang harga listriknya lebih murah? Kan tidak. Ini akan masuk ke monopoli berjamaah para  penguasa. Tindak kesewenang-wenangan akan sangat mungkin terjadi. Nah, banyaknya monopoli ini kan sama saja dengan oligopoli.

Jadi, listrik itu unik. Gandeng-gandeng kayak kereta api. Berhubungan antara satu unit dengan unit yang lainnya. Hubungannya saling ketergantungan. Kalau salah satu rangkaian mati maka ujung-ujungnya juga mati. Misal, pembangkit mati maka listrik juga mati. Demikian ketika distribusi macet dan ritel tidak berjalan maka listrik pun akan mati juga. Nah, kalau mau dikompetisikan dalam satu rangkaian, ini kan gak bisa.

 

IMF kan sudah pergi. Apakah kebijakannya masih ‘dikawal’?

Walaupun IMF sudah pergi, tetapi kan pengusaha-pengusaha dalam negeri yang sekaligus penguasa ini ‘terinspirasi’ dengan cara IMF. Dia berpikir, wah, ini ternyata bisnis yang empuk juga. Idenya IMF betul juga. Jadi, walau IMF sudah pergi, ide tersebut masih dijalankan oleh komprador kapitalis dalam negeri tersebut.

 

Menurut Bapak, apakah upaya unbundling PLN by design atau bagaimana?

Jelas. Ini by design. Yang mendesain, ya negara-negara kolonial. Di Indonesia, didesainlah pada saat kekuasaan berpindah dari Orde Lama ke Orde Baru. John Perkins, agen perusak perekonomian Indonesia, tatkala bertobat bercerita bahwa betapa AS berencana merusak Indonesia salah satunya melalui kelistrikan. Perkins ditempatkan pertama kali di Indonesia adalah di Kantor PLN distribusi Bandung. Dia desain pertumbuhan ekonomi yang otomatis terkait dengan pertumbuhan kelistrikan yang sangat melejit-lejit. Offer optimistic. Dia bikin perencanaan, pada tahun 80-an nanti akan terjadi pertumbuhan kelistrikan sebanyak 14%, dan seterusnya. Akibatnya, mau tidak mau, rezim Soeharto meminjam uang ke Bank Dunia untuk mengantisipasi pertumbuhan yang melejit tersebut. Padahal ini kan kerjaannya John Perkins saja. Ditambah lagi, penguasa-penguasa negara-negara berkembang ini otaknya ‘dikooptasi’ dengan utang dan utang saja; dininabobokkan dengan utang dan kemewahan.

Akibatnya sekarang ini yang kita rasakan. Saat ini saatnya membayar utang-utang diatas. Jadi, desainnya dari sana. Tatkala sudah waktunya untuk membayar utang, dikeluarkanlah keputusan untuk kelistrikan di unbundling. Itu didesain oleh IMF dan ini sudah didesain sejak lama. Tatkala tahun 1998 terjadi krisis moneter, IMF memaksa kita untuk tunduk ke letter of intens (LoI) yang salah satunya menswastanisasikan PLN. Jadi, sekali lagi, walau IMF sudah pergi, para komprador asing, yakni para kelompok pedagang-penguasa inilah yang melanggengkan dan meneruskan ide IMF.

Ini sangat gurih sekali. Untuk 2009, walau sudah tidak menjabat lagi, kalau sudah menguasai pembangkit Suryalaya, Grati, Tambak Lorok, dan yang lain, woo…itu sudah cukup untuk tujuh turunan. Itu baru di sisi pembangkit. Apalagi di distribusi. Di Jakarta saja, misalnya di Bulungan, Cinere, Pondok Indah, Kramatdjati, Menteng, dll. UP-UP yang sangat gemuk-gemuk tersebut, saat ini sudah didesain untuk dikuasai oleh para oknum penguasa-pengusaha tadi. Kalau Anda bisa menguasai Thamrin-Sudirman saja, ratusan miliar tiap bulan. Untungnya sangat gede.

 

Beberapa waktu lalu kan ada surat yang membatalkan dari Pemerintah. Bagaimana faktanya?

Itu surat pemberitahuan, bukan Surat Keputusan (SK). Saya pikir ini hanya salah satu strategi untuk mengaburkan dan meredam gejolak. Tapi, nanti begitu sudah reda, tiba-tiba langsung bisa berdiri BUMN-BUMN hasil pecah-pecah PLN tersebut. Masalahnya, bukan hanya sampai di situ. Setelah BUMN berdiri nanti akan ditekan untuk meng-IPO-kan sahamnya di bursa. Sebenarnya bukan itu. Yang benar maksudnya adalah divestasi berkedok listing saham di bursa. Di dalam UU yang sudah ‘almarhum’ itu ‘judulnya’ divestasi kok, bukan yang lain. Jadi, jelas. Maksudnya apa.

 

Apa upaya sistematis para komprador sehingga PLN akhirnya diliberalisasi?

Itu memang ada kerjasama dengan lembaga legislatif kita. Ya, itu kalau mau bermain cantik. Dibuatlah UU yang ‘melegalkan’ liberalisasi ini. Ini kan tidak. Sebenarnya, beberapa waktu lalu sedang dikerjasamakan lagi dengan DPR dan lagi digarap. Tahu-tahu, ini sudah nrabas saja. Gak pakai aturan. Pada tanggal 8 Januari 2008, melalui peraturan Menteri dengan mekanisme RUPS langsung menghasilkan pemecahan. Pecah saja ini…pembangkit-pembangkit jadi BUMN. Distribusinya jadi anak perusahaan. Para komprador ini menguasai tempat-tempat strategis dari kekuasaan. Misalnya Kementrian ESDM, Depkeu dan Kementrian BUMN. Saat ini, ketiganya sudah dikuasai oleh mereka, para komprador asing. Ini konspirasi yang luar biasa. [Gus Uwik]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*