Secara fitrah Allah telah menganugerahkan rasa kasih dan sayang orangtua kepada anaknya sebagai modal awal untuk melakukan pengasuhan dan pendidikan anak. Namun, tidak jarang orangtua melakukan tindakan-tindakan yang “sedikit keras”, “keras”, bahkan “keras sekali” alias “bengis” dengan alasan “karena sayang kepada anak” atau dengan dalih “mendisiplinkan anak”. Anak kadang dicubit, ditarik tangannya dengan kasar, dijewer, dijambak rambutnya, ditempeleng kepalanya, disundut rokok, dipukul, diikat, dibenturkan ke tembok dan lain-lain ketika tidak menurut perintah orangtuanya.
Kekerasan Terhadap Anak dalam Pandangan Kapitalis
Kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh berbagai macam, antara lain: Orangtua tidak memahami cara-cara mendidik dan mengasuh anak yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, faktor kemiskinan, kurang komunikasi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakharmonisan antar anggota keluarga, ketidaktegasan sistem dalam menerapkan hukuman pada pelaku kekerasan anak, orangtua mabuk dan lain-lain.
Bagaikan pahlawan kesiangan, kaum kapitalis, dengan dalih “peduli” terhadap perlindungan anak, memperjuangkan disahkannya UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), juga UU PKDRT. Pengertian kekerasan dalam Pasal 3 UU PA dan diperjelas dalam Bab III pasal 5 UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Pasal ini adalah pasal karet yang bisa ditarik untuk menjerat sasaran. Seseorang anak yang “merasa diperlakuan dengan kekerasan” dalam konteks UU tersebut bisa melapor kepada pihak yang berwajib atau bisa melalui lembaga bantuan hukum untuk memproses perkaranya. Pasal tersebut bisa menjerat orangtua Muslim yang memberikan tindakan yang tegas pada saat anak tidak mau menjalankan hukum-hukum syariah. Ketidaktaatan anak didasarkan pada alasan “kebebasan menentukan pilihan” dan diperkuat lagi pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, “setiap anak berhak mendapatkan kebebasan sesuai dengan ‘hukum’ (buatan manusia)”; misal anak tidak mau shalat, padahal usia sudah lebih 10 tahun. Anak tersebut bisa mengadukan bapak atau ibunya atau siapapun pelakunya yang dianggap “memaksa melakukan sesuatu” agar dihukum dengan pidana 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta. Sebab, menurut pengertian UU produk manusia tersebut, orangtua telah melakukan kekerasan.
Jelas bahwa adanya UU tersebut akan menghambat orangtua dalam mendidik anaknya dengan nilai-nilai Islam. Padahal orangtua oleh Allah telah diberi kewajiban untuk mempersiapkan anaknya sehingga ketika balig, anak telah siap menerima dan melaksanakan semua beban hukum sebagai mana orangtuanya.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang persoalan ini?
Islam Mengutamakan Kelemahlembutan
Rasul yang mulia, Muhammad saw. telah memberikan teladan yang sangat mengagumkan dalam mendidik anak. Beliau mengutamakan kelemahlembutan. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:
Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”
Dalam riwayat lain dikemukakan:
Suatu hari Rasul sedang memimpin shalat berjamaah dengan para Sahabatnya, Salah satu sujud dalam shalat yang dia lakukan cukup lama waktunya sehingga mengundang keheranan para Sahabat. Setelah shalat berjamaah selesai, salah seorang Sahabat bertanya, “Mengapa begitu lama Rasul bersujud?” Jawab Rasul, “Di atas punggungku sedang bermain cucuku Hasan dan Husain. Kalau aku tegakkan punggungku maka mereka akan terjatuh. Karena itu, aku menunggu mereka turun dari punggungku, baru aku cukupkan sujudku.”
Dari hadis di atas Islam/Nabi saw. memberi pelajaran bagi orangtua/pendidik agar dalam melakukan pendidikan mengedepankan sikap lemah-lembut serta penuh cinta, kasih dan sayang. Perlakuan keras/tegas kepada anak akan membawa pengaruh buruk yang luar biasa pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Pengaruh tersebut antara lain anak akan “pandai” berperilaku kasar kepada yang lain, pemarah, tumpul hati nuraninya (menghambat perkembangan moral anak, merusak kesehatan jiwa anak), anak dapat terlibat perbuatan kriminal, anak gemar melalukan teror dan ancaman (anak akan mencari target untuk melampiaskan rasa dendamnya), anak menjadi pembohong, anak jadi rendah diri, menimbulkan kelainan perilaku seksual, mengganggu pertumbuhan otak anak, terhambat prestasinya di sekolah, sering ngompol, takut, tidak mau makan dan lain-lain.
Pandangan Islam Terhadap Kekerasan pada Anak
Dengan kasih-sayang Rasul bukan berarti kehilangan kewibawaan dan kehilangan ketegasan atau lembek ketika memang harus tegas. Tegas tidak identik dengan kasar. Sebagai contoh, Rasul pernah menjewer telinga anak karena tidak amanah. Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mazni ra. yang berkata, “Aku pernah diutus ibuku dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasul. Kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau. Ketika aku mendatangi Rasul, Beliau menjewer telingaku sambil berseru, ‘Wahai Penipu’.”
Anak-anak memang perlu kedisiplinan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan, namun bukan berarti terlarang melakukan tindakan fisik. Kedisiplinan diperlukan untuk mendidik anak terbiasa terikat dengan standar-standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka pada saatnya dapat bertanggung jawab di hadapan Allah Swt.
Kedisiplinan dibentuk dengan memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran untuk menerapkannya dan semua itu memerlukan proses. Penanaman disiplin pada anak bisa berhasil jika orangtua mengenal karakteristik anak dan mampu membangun komunikasi serta hubungan yang harmonis dengan anak.
Dalam mendidik anak diperlukan sanksi (hukuman). Pemberian hukuman merupakan salah satu cara dalam mendidik anak jika pendidikan tidak bisa lagi dilakukan dengan memberi nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun suri teladan.
Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.
Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik di sini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).
Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).
Alhamdulillah. Allâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Izin dicuplik di http://www.tokoislamonline.com/article_info.php?articles_id=17
bagus sekali tulisannya, menurut saya, apapun alasannya kekerasan terhadap anak tidak dibenarkan. ketidakmampuan manusia dewasa dalam mendidikan anak bukan berarti dijawab dengan kekerasan. tentang dalil yang membenarkan pengmukulan terhadap anak, harus dikaji ulang dan dikritisi secara nilai moralis keislaman. apakah islam tidak mampu mendidik dan mebina manusia selama tujuh tahun untuk beribadah sesuai dengan fitrah dan kebutuhannya terhadap sang illahi. apakah kurang petunjuk Al-qur’an tentang bagaiaman memperlakukan anak manusia. saya kira tidak. islam sangat komprehensif. jadi jangan kebodohan kita, lalu kita membuat keputusan yang jauh dari nilai keislaman.
mari kita selami kajian keislaman secara segar dan murni, jangan nodai islam dengan dehumanistas.
wah…maaf aku baru baca komentar yang nomor 1, boleh juga tuh,,,menurutku kalau sampe orang dewasa memukul anak yang usia 10 tahn karena tidak mau shalat, sebaiknya introspeksi diri dulu, kalau sampai dia melakukan itu,artinya dia gagal mendidik anak sejak usia 7thn,buat yang punya artikel atau info tentang pendidikan anak yang islami dan nir kekerasan, bagi2 dong ke apepciremai@yahoo.com………makacih deh ah…………………………………………………
…………………………………………………..
…………………………………………..Wassalam
Adakah yang tau cara memulihkan rasa kekecewaan anak yang menjadi korban kekerasan itu?? Artikel di atas membahas langakh preventif…. kalau yang refresif(menyembuhkan)nya, adakah cara??
Mohon bantuannya teks Arab hadis Sa`idah bin Jazi. Jazaakallahu khayran