HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Khilafah dan Imamah

Pengantar

Istilah Khilafah dan Imamah sebetulnya sinonim; maknanya adalah sistem pemerintahan Islam. Namun, oleh segelintir orang, kedua istilah itu dianggap berbeda pengertiannya. Ulil Abshar Abdalla, bekas Koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal), misalnya, memandang ada perbedaan antara Khilafah dan Imamah; begitu juga istilah turunannya seperti imam dan khalifah. Ulil menyatakan, “Imam di sini adalah penguasa dalam pengertian umum.” Dalil-dalil agama tentang wajibnya mengangkat imam, menurut Ulil, hanya menegaskan saja hukum sosial yang sudah berlaku berabad-abad. Salah satu hukum sosial itu adalah bahwa setiap masyarakat selalu akan mengangkat seorang pemimpin yang mengatur dan menyelenggarakan kepentingan mereka. Pemimpin itu, kata Ulil, “Bisa kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan lain-lainnya.” (www.harianbangsa.com).

Walhasil bagi Ulil, Imamah itu berarti kepemimpinan yang bersifat umum. Adapun Khilafah adalah kepemimpinan yang lebih khusus, yang kata Ulil, berdasarkan sejarah Islam bentuknya adalah kerajaan. Khilafah seperti ini, menurut Ulil, hanyalah suatu kebetulan sejarah (historical coincidence). Karena itu, sistem itu dapat diganti sesuai dengan asas rasionalitas yang, bagi Ulil, adalah aplikasi doktrin Ahlus Sunnah bahwa penentuan imam bukanlah berdasarkan teks agama (seperti pendapat golongan Syiah), melainkan berdasarkan ijtihad dan pilihan (ikhtiyâr). Ujung-ujungnya, Ulil ingin menegaskan bahwa sistem republik (bukan kerajaan) saat ini yang berdasarkan demokrasi adalah sudah final dan merupakan sistem paling ideal hingga saat ini. (www.harianbangsa.com).


Pengertian Khilafah dan Imamah

Pendapat di atas memang harus diakui, tetapi bukan diakui sebagai pernyataan ilmiah, melainkan sebagai dagelan yang cukup menggelikan. Betapa tidak, karena kalau pendapat itu dibandingkan dengan pendapat para ulama fikih siyâsah dan ulama bahasa Arab, akan terbukti Ulil hanyalah orang awam. Kita harus maklum, orang awam itu kadang bicaranya ngawur dan aneh. Dalam konteks seperti inilah, tepat sekali pernyataan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, “Idza takallama al-mar’u fi ghayri fannihi atâ bi hadzihi al-‘aja’ib (Jika seseorang berbicara di luar bidang keahliannya, dia akan mengucapkan kalimat yang ajaib).” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, III/683). 

Coba, kita lihat pendapat Imam Ar-Razi mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtâr ash-Shihâh hlm. 186:

الخلافة أو الإمامة العظمى، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين

Khilafah, Imamah al-‘Uzhma, atau Imarah al-Mukminin semuanya memberikan makna yang satu (sama) dan menunjukkan tugas yang juga satu (sama), yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum Muslim. (Lihat: Muslim al-Yusuf, Dawlah al-Khilâfah ar-Râsyidah wa al-‘Alaqât ad-Dawliyah, hlm 23; Wahbah a-Zuhaili, Al-Fiqh a-Islâm wa Adillatuhu, VIII/270).

Mari kita lihat juga pendapat serupa dari Imam Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah hlm. 190:

وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام

Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini (khalifah) dan bahwa ia adalah pengganti dari Pemilik Syariah (Rasulullah saw.) dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. (Kedudukan ini) dinamakan Khilafah dan Imamah dan orang yang melaksanakannya (dinamakan) khalifah dan imam. (Lihat Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, hlm. 34).

Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu (VIII/418) menyatakan pendapat serupa:

الخلافة (أو الإمامة أو إمارة المؤمنين) أو أي نظام شوري يجمع بين مصالح الدنيا والآخرة كلها ذات مدلول واحد

Khilafah (atau Imamah atau Imarah al-Mukminin) atau yang berarti sistem berdasarkan musyawarah yang menghimpun kemaslahatan dunia dan akhirat, semuanya mempunyai pengertian yang sama. (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, VIII/418).  

Dhiyauddin ar-Rays dalam kitabnya, An-Nazhariyât as-Siyâsiyah al-Islâmiyyah hlm. 92 juga mengatakan:

يلاحظ أن الخلافة والإمامة الكبرى وإمارة المؤمنين ألفاظ مترادفة بمعنى واحد

Patut diperhatikan bahwa Khilafah, Imamah al-Kubra, dan Imarah al-Mu’minin adalah istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama. (Lihat Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, VIII/465).

Semua kutipan ulama di atas menyatakan bahwa istilah Imamah dan Khilafah (juga Imaratul Mukminin) maknanya sama, tidak berbeda.

Kutipan-kutipan yang menunjukkan kesamaan makna Khilafah dan Imamah itu masih banyak sekali. Silakan cek pendapat yang sama dari: Rasyid Ridha dalam kitabnya, Al-Khilâfah aw al-Imâmah al-‘Uzhma, hlm. 101; Prof. Dr. Ali as-Salus dalam kitabnya, ‘Aqîdah al-Imâmah ‘Inda asy-Syî‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyah (terj.) hlm. 16; Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya, Membentuk Negara Islam, hlm. 30; dan Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya, Islam dan Politik Bernegara, hlm. 42-43.

Silakan cek juga pendapat para ulama bahasa Arab (ahli kamus) yang menyamakan arti Imamah dan Khilafah, misalnya: Rawwas Qal‘ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi dalam Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’, hlm. 64, 150, dan 151; Ibrahim Anis dkk dalam Al-Mu‘jam al-Wasîth, 1/27 dan 251. 

Jika Imamah dan Khilafah pengertiannya sama, demikian juga istilah Imam dan Khalifah. Keduanya sama-sama berarti pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah, tidak berbeda. Ini sebagaimana pernyataan Ibnu Khaldun yang telah dikutip di atas. Imam Nawawi dalam Rawdhah ath-Thâlibîn  (X/49) menegaskan hal yang sama:

يجوز أن يقال للإمام :الخليفة، والإمام، وأمير المؤمنين

Boleh saja Imam itu disebut dengan Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin. (Lihat: ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ, hlm. 34).

Nah, setelah kita bentangkan pendapat para ulama yang ahli seperti di atas, lalu kita bandingkan dengan pendapat Ulil yang dangkal dan sembrono, bagaimana pendapat Anda? Bukankah pendapat Ulil itu betul-betul menggelikan dan terkesan seenaknya sendiri?


Mengapa Imamah dan Khilafah Semakna?

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, atas dasar apa para ulama menyamakan pengertian Imamah dan Khilafah? Di sinilah Imam Taqiyuddin an-Nabhani memberi penjelasan yang gamblang dalam kitabnya, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz 2. Imam An-Nabhani berkata, “Telah terdapat hadis-hadis sahih dengan dua kata ini [Khilafah dan Imamah] dengan makna yang satu. Tidak ada makna dari salah satu kedua kata itu yang menyalahi makna kata yang lain, dalam nas syariah mana pun, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah, karena hanya dua itulah yang merupakan nas-nas syariah. Tidaklah wajib berpegang dengan kata ini, yaitu Khilafah atau Imamah, tetapi yang wajib ialah berpegang dengan pengertiannya.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, II/13).

Jadi, Khilafah dan Imamah memiliki arti yang sama karena nas-nas syariah, khususnya hadis-hadis sahih, telah menggunakan dua kata itu, yaitu  kata “imam” atau “khalifah” secara bergantian namun dengan pengertian yang sama. Sebagai contoh, kadang Rasulullah saw.  menggunakan kata “khalifah” seperti sabdanya:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخِرَ مِنْهُمَا

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam Al-Awsâth. Lihat Majma’ az-Zawâ’id, V/198). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lihat: Syarh Muslim oleh Imam Nawawi, XII/242).

Namun, kadang Rasulullah saw. juga menggunakan kata “imam” seperti sabdanya:

مَنْ بَايَعَ إَمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخِرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخِرَ 

Siapa saja yang membaiat seorang imam, lalu ia memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya kepadanya, hendaklah ia menaati imam itu sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan imam itu maka penggallah leher orang lain itu. (HR Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasa’i, dan Ahmad).

Kata “khalifah” dan “imam” dalam kedua hadis di atas mempunyai pengertian yang sama, yaitu pemimpin tertinggi dalam Negara Islam. (Lihat: Rawwas Qal’ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ, hlm. 64 dan 151). Jika “khalifah” dan “imam” sama pengertiannya maka sistem pemerintahan yang dipimpinnya, yaitu “Khilafah” dan “Imamah”, juga sama maknanya; tidak berbeda.


Antara Khilafah dan Imarah

Dalam banyak hadis shahih memang ada pembahasan kepemimpinan dalam pengertian umum. Kepemimpinan dalam arti umum ini disebut dengan istilah Imârah, Qiyâdah, atau Ri’âsah. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menerangkan, “Imarah (kepemimpinan) itu lebih umum, sedangkan Khilafah itu lebih khusus, dan keduanya adalah kepemimpinan (ri’âsah). Kata Khilafah digunakan khusus untuk suatu kedudukan yang sudah dikenal, sedangkan kata Imarah digunakan secara umum untuk setiap pemimpin (amir).” (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, II/125).

Hadis tentang Imarah, misalnya, sabda Nabi saw.:

إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan, hendaklah satu orang dari mereka menjadi pemimpinnya. (HR Abu Dawud).

Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan dalam arti yang umum, memang juga diterangkan dalam Islam, namun istilahnya bukan Khilafah atau Imamah, seperti khayalan dan tipuan Ulil, melainkan Imarah. Imarah inilah yang  bersifat umum sehingga mencakup kepala suku, lurah, camat, bupati, raja, sultan, khalifah, presiden, CEO, manager, dan sebagainya. []

 

Daftar Pustaka

Ad-Dumaiji, Abdullah bin Umar bin Sulaiman, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl as-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah, (www.saaid.net), 1987.

Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, (Jakarta : Penerbit Widjaya), 1956.

Al-Yusuf, Muslim, Dawlah al-Khilâfah ar-Rasyîdah wa al-‘Alaqât ad-Dawliyah, (www.saaid.net).

An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah, Juz 2, (Beirut: Darul Ummah), 2002.

Anis,  Ibrahim dkk,  Al-Mu’jam al-Wasîth, (Kairo: Tanpa Penerbit), 1972.

As-Salus, Ali, Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i (Aqidah Al-Imamah ‘Inda Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah), Penerjemah Asmi Salihan Zamakhsyari, (Jakarta: Gema Insani Press), 1997.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), 2002

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz 8, (Maktabah Syamilah).

Qal’ah Jie, Rawwas, & Qunaibi, Hamid Shadiq, Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’ (Beirut: Dar an-Nafa’is), 1988.

2 comments

  1. Mbak Rani Ayue

    Ass,mbk rani yg cantik sory nylonong aja maklum baru belajar??smoga ini dpt brmanfaat bagi qt khususnya umat muslim.Be a good muslim!!

  2. MUHAMMAD SHOFWAN

    Bung Ulil sebenarnya ngerti khalifah itu apa. Tapi dia kan harus accountable pada majikannya para kaffir amirika itu ( kalo di plesetin amirika itu artinya ” pemimpinmu ”
    ya Lil. Amir = pemimpin, Ka = kamu). makanya dihadapan pemimpinnya Bung Ulil ini harus memperlihatkan pembangkangannya kepada Islam, maklum wong dibayar. Tapi dimata Al Qur’an, orang yang tahu kebenaran Allah tapi menyembunyikannya atau tidak mau melaksanakan, maka yang pantas gelarnya apa ya atau julukannya apa ya. Ah biar Allah saja lah yang memberi gelar dan menghukumnya. Tapi Bung Ulil “Bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sebenar – benarnya dan janganlah kamu mati keculai dalam keeadaan Islam…. tapi Islam yng kaffah lho, supayaa khusnul khotimah. Sebagai orang muda sebenarnya kesempatan Bung jadi orang terhormat dan mulya di negeri tercinta ini sangat besaar apalagi anda bukan orang bodoh lho secara ayat kauniyah, tapi secara ayat qauliyah menurut Bung, diri Bung itu seperti apa, nah coba deh muhasabah. Semoga artikel ini menjadi bahan tawsyiah untuk kita semua. Amin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*