Bagi setiap Muslim, mengikrarkan, “Nahnu du‘at qabla kulli syay’[in] (Kami adalah da’i sebelum menjadi apapun),” adalah kewajiban. Tidak kurang dari 213 kali disebutkan dalam al-Quran, dakwah adalah seruan istimewa kepada orang lain untuk melakukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Hal ini juga berarti usaha untuk mengubah keadaan yang rusak agar menjadi baik sesuai dengan ajaran Islam.
Pelaku dakwah Islam bisa siapa saja. Bagi individu, aktivitas dakwah dapat bersifat fisik dan non-fisik. Aktivitas fisik disandarkan pada sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya….” yang populer di kalangan umat Islam. Hal ini pernah terjadi pada seorang laki-laki buta yang menghujamkan kapak di perut istrinya hingga mati karena si istri terus-menerus mencaci Rasulullah saw. Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’i ini, Rasulullah mendukung tindakan si lelaki buta dengan menyatakan bahwa darah sang istri halal untuk ditumpahkan.
Kemudian bagi sebuah kelompok, dakwahnya berupa aktivitas non-fisik dengan penyebaran pemikiran (fikriyah) dan politik (siyâsiyah) Islam. Adapun aktivitas oleh negara berupa fisik dan pemikiran sekaligus, yaitu dengan dakwah dan jihad.
Ketiga pelaku dakwah tersebut bukan berjalan sendiri-sendiri. Bercermin pada sirah Rasulullah, kita akan mendapati bahwa dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah dimulai dengan mendakwahi orang satu-persatu; dimulai dari orang-orang terdekatnya, istri (Khadijah ra.), sepupu (Ali bin Abi Thalib ra.), khadimat (Ummu Aiman ra.), hingga sahabat karib (Abu Bakar ra.). Inilah yang dikenal dengan dakwah fardiyah. Dakwah dimulai dengan pendekatan personal (ta‘âruf), mengajak pada jalan menuju keimanan (tharîq al-îmân), menjadikannya seperti adik, sahabat atau anak (ri‘âyah), membina kepribadiannya (syakhsiyah), menjelaskan tentang keutuhan dan kesempurnaan Islam, lantas mengajaknya berjuang dalam kancah dakwah.
Dalam hal ini, sasaran dakwah bukan hanya mengajak dan membina orang secara individual, melainkan juga membentuk dan membina satu komunitas serta satu umat. Harus dijelaskan kewajiban untuk mengemban amanah umat dan permasalahannya. Kewajiban ini tidak mungkin dapat ditunaikan secara individual. Masing-masing orang secara terpisah tidak akan mampu menegakkannya. Karena itu, penting untuk disadarkan padanya tentang pentingnya sebuah jamaah (QS Ali Imran [3]: 104). Aktivitas ini dilaksanakan baik dalam tahapan pembinaan (tatsqîf) maupun interaksi dengan masyarakat (tafâ‘ul ma‘a al-ummah).
Dari sinilah, nyata pentingnya amal fardiyah dalam dakwah jama’i. Bahkan penerapan hukum dan aturan Islam akan tercapai tatkala umat yang telah didakwahi memberikan kepercayaan pada jamaah untuk bersama-sama menegakkan kembali Khilafah Islam.
Kematangan dalam memahami Islam, memahami latar belakang dan alur berpikir obyek dakwah, keikhlasan, kesabaran dan doa yang senantiasa dipanjatkan, adalah kunci sukses keberhasilan dakwah fardiyah kita. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Ummu Muhammad Labib; Ibu dan Pendidik; Tinggal di Krapyak Lor-Pekalongan]