Pada acara silaturahmi para habaib dan ulama dengan Habib Umar bin Hafidz di Hotel Bumikarsa, Senin, 4 Februari lalu, seorang polisi bernama Irjen Farouk Muhammad ikut menyampaikan pertanyaan tentang bagaimana penanganan masalah internal umat Islam; misalnya penyerangan di Parung, lalu di NTB, dan lain-lain.
Saya mencium bau konspiratif dalam pertanyaan tersebut. Untunglah kawan saya dari DPP-HTI menginterupsi sebelum Habib dari Yaman itu menjawab pertanyaan tersebut. Kawan saya itu menyampaikan bahwa pertanyaan Irjenpol yang mantan Kapolda NTB itu bagus sekali, hanya belum dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan persoalan internal umat Islam dan mengatasi perbedaan itu adalah persoalan Ahmadiyah yang lagi dimarakkan di negeri ini.
Alhamdulillah, Habib itu menjawab dengan standar, bahwa Ahmadiyah yang mengklaim Mirza Ghulam Ahmad sebagai rasul itu adalah suatu kelompok yang telah keluar dari Islam (murtad).
Ketika acara makan-makan, kawan saya yang lain dari DPP-HTI sempat berbincang dengan sang Irjenpol. Beliau ternyata tidak menyangka bahwa kelompok Ahmadiyah masih mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Beliau mengira bahwa dengan penjelasan 12 butir JAI 15 Januari lalu Ahmadiyah sudah mengoreksi kesalahan fatal tersebut.
Saya jadi merenung, kalau seorang Irjenpol saja bisa terkecoh, apalagi polisi tingkat bawah dan masyarakat umum yang tidak tahu-menahu duduk persoalan Ahmadiyah. Karena itu, saya lalu teringat wajah-wajah yang berperan dalam lakon 12 butir penjelasan Ahmadiyah yang oleh pakar aliran sesat, Amin Jamaludin, disebut sebagai tipuan. Ya, wajah-wajah seperti Wapres Yusuf Kalla, Menag Maftuh Basuni, Deputi Seswapres Azyumardi Azra, Kabalitbang Atho Mudzhar, Dirjen Bimas Islam Nasarudin Umar, Kabaintelkam Mabes Polri Saleh Saaf, dan “Tokoh Masyarakat” Agus Miftach.
Terutama nama terakhir itu. Sebab, nama itu justru menjadi fenomenal karena muncul terus dalam kasus aliran sesat, seperti Ahmadiyah dan Al-Qiyadah al-Islamiyah. Begitu fenomenal karena orang pasti heran bagaimana Haji Salam alias Ahmad Musaddeq bisa begitu mudah bertobat mencabut pengakuannya sebagai nabi hanya dalam hitungan minggu saja. Ternyata yang mendampinginya adalah “Kyai” Agus Miftah. Tampaknya Agus Miftah ingin mengulang kisah suksesnya dengan mendampingi pihak Ahmadiyah.
Hanya saja, untuk kasus Ahmadiyah kelihatannya ia kurang begitu mulus, karena Ahmadiyah merupakan permasalahan lama dan JAI adalah bagian dari komunitas Ahmadiyah internasional yang berpusat di London. Tokoh-tokoh umat Islam sudah banyak yang tahu tentang anatomi Ahmadiyah yang merupakan buatan imperialis Inggris untuk mematahkan perlawanan kaum Muslim India terhadap penjajah kafir itu pada Abad 19.
Karena itu, ketika 12 butir JAI yang ditandatangani oleh Abdul Basith tanggal 14 Januari dan disiarkan dalam konfrensi pers di Balitbang Depag Museum al-Quran TMII pada tanggal 15 Januari diketahui oleh publik, umat Islam langsung bereaksi. Hari itu juga Aliansi Umat Islam Jawa Barat di Bandung langsung menggelar demo menentang hal itu. Esoknya puluhan tokoh pimpinan ormas Islam dan alim-ulama yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) menemui pengurus MUI untuk menyatakan dukungannya kepada fatwa MUI. Alhamdulillah, Ketua MUI KH Makruf Amin secara tegas menyatakan bahwa Ahmadiyah masih seperti dulu; 12 butir itu belum mengubah statusnya yang masih sesat dan menyesatkan. Sebab, dalam 12 butir itu belum ada ketegasan pernyataan Ahmadiyah yang menolak kenabian Mirza. Dalam rapat dengan Bakorpakem di Kejagung pada tanggal 23 Januari 2008, MUI juga menolak 12 butir sebagai acuan pemantauan terhadap Ahmadiyah. Artinya, MUI berlepas diri dari rekayasa Pemerintah terhadap kasus Ahmadiyah ini.
Meski Agus yang mantan anak buah Ali Murtopo (gembong intelijen di era Orde Baru)—yang pernah disekolahkan ke Belgia untuk belajar intelijen kepada Mossad dan CIA—itu mengatakan bahwa keterlibatan intelijen dalam kasus 12 butir penjelasan JAI itu sulit dibuktikan, bau-bau konspirasi memang ada. Salah satu laporan hasil rapat di antara 7 kali rapat koordinasi membahas masalah Ahmadiyah menyebutkan bahwa peserta rapat adalah dari petinggi intelijen Mabes Polri dan Kejagung. Demikian juga yang menandatangani 12 butir pernyataan JAI. Apalagi rapat Pakem yang dipimpin Jaksa Agung Muda Intelijen lebih lengkap lagi dengan hadirnya petinggi BIN. Karena itu, orang tidak gampang percaya bahwa 12 butir pernyataan JAI adalah pernyataan sepihak Ahmadiyah, bukan legalisasi dari Pemerintah. Sebab, orang akan bertanya, kalau pernyataan sepihak, mengapa sejumlah pejabat Pemerintah ikut menandatangani?
Kalau kita teliti lebih dalam, mengapa masalah Ahmadiyah ini muncul kembali setelah sebelumnya geger al-Qiyadah dan berbagai aliran sesat pasca Konferensi Khilafah pada bulan Agustus 2007? Kawan lama saya yang ikut juga dalam pertemuan silaturahmi para habaib di Bidakara tersebut, sempat menyentil saya dan HTI, “Awas, Mas, segala yang berjalan ini dalam rangka menetralisir pemikiran syariah dan Khilafah yang digemakan di KKI. Oleh karena itu, HTI harus lebih sigap dalam mengungkap berbagai rekayasa poltik yang dilakukan oleh Pemerintah dan agen-agen asing di sini untuk menetralisir opini politik Islam yang sudah menggejala di masyarakat dan memalingkan umat dari hal-hal yang jauh dari kesadaran politik. Mereka mungkin berusaha keras menyibukkan HTI dengan aliran-aliran sesat dan lain-lain sehingga membatasi isu-isu yang diangkat.”
Saya pikir apa yang disampaikan kawan lama saya itu benar adanya. Kami juga memang sudah menganalisis, bahwa kasus aliran sesat ini adalah mainan baru untuk mengobok-obok Dunia Islam setelah mainan “terorisme” kelihatannya sudah tidak ampuh lagi pasca dilepasnya KH Abu Bakar Ba’asyir oleh Mahkamah Agung.
Karena itu, harus menjadi kesadaran kita bersama, para ulama dan pejuang di antara umat Islam, wabil khusus para aktivis HTI, bahwa musuh-musuh Islam terus berupaya memerangi Islam dan umat Islam dengan seluruh harta-benda mereka (Lihat: QS al-Anfal [8]: 36). Karena itu pula, mari kita singsingkan lengan baju untuk menjaga akidah umat serta menjaga kehidupan dan kekayaan umat dengan menegakkan syariah secara kâffah oleh negara. []