HTI

Ibrah (Al Waie)

Kesejahteraan Rakyat

Masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M). Hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat.

Abu Ubaid menuturkan (Al-Amwâl, hlm. 596), Muadz pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Khalifah Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Khalifah Umar mengembalikannya. Ketika Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Khalifah Umar kembali menolaknya dan berkata, “Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti. Saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.”

Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepada Anda,” kata Muadz

Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Khalifah Umar, tetapi beliau pun mengembalikannya.

Pada tahun ketiga, Muadz kembali mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan lagi oleh Khalifah Umar. Muadz berkata, “Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Tidak hanya di Yaman, di wilayah Bahrain juga demikian. Abu Hurairah pernah menyerahkan uang 500 ribu dirham kepada Khalifah Umar yang diperolehnya dari hasil kharaj Propinsi Bahrain pada tahun 20 H/641 M. Pada saat itu Khalifah bertanya kepadanya, “Apa yang engkau bawa ini?”

Abu Hurairah menjawab, “Saya membawa 500 ribu dirham.”

Karena begitu banyaknya, Khalifah Umar terperanjat, tidak percaya. Beliau kemudian bertanya, “Apakah itu harta yang sah?”

Abu Hurairah menjawab, “Saya tidak tahu kecuali memang demikian adanya.” (Karim, 2001; Muhammad, 2002).

Pada masanya, Khalifah Umar bin Khathab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). Jika 1 gr emas saat ini seharga Rp 200 ribu, berarti masa itu gaji guru mencapai sekitar Rp 12,75 juta.  

Pada masanya pula, setiap tentara berkuda pernah mendapatkan ghanîmah sebesar 6000 dirham (sekitar Rp 75 juta), dan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian sebesar 2000 dirham (sekitar Rp 25 juta). (Ash-Shinnawi, 2006).

*****

Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. (99-102 H/818-820 M). Meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat, hanya 3 tahun, umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Ibnu Abdil Hakam (Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Abu Ubaid (Al-Amwâl, hlm. 256) mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak saat itu, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, “Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.”

Khalifah Umar memerintahkan, “Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.”

Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, “Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.”

Khalifah memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.”

Abdul Hamid sekali lagi menyurati Khalifah, “Saya sudah menikahkan semua yang ingin menikah. Namun, di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang.”

Akhirnya, Khalifah Umar memberikan pengarahan, “Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Sementara itu, Gubernur Bashrah pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.”

Khalifah Umar dalam surat balasannya berkata, “Allah ‘Azza wa Jalla ridha kepada penghuni surga karena mereka berkata, ‘Segala pujian milik Allah yang telah memenuhi janji-Nya.’ (QS az-Zumar [39]: 74). Karena itu, suruhlah orang yang menjumpaimu untuk memuji Allah Swt.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Meski rakyatnya makmur, seperti halnya kakeknya (Umar bin al-Khaththab), Khalifah Umar bin Abdul Aziz tetap hidup sederhana, jujur, dan zuhud. Bahkan sejak awal menjabat khalifah, beliau menjual semua kekayaannya seharga 23.000 dinar (hampir Rp 20 miliar), lalu menyerahkan semua uang hasil penjualannya ke Kas Negara. (Al-Baghdadi, 1987).

*****

Pertanyaannya: Adakah pemimpin di dunia saat ini seperti para khalifah pada masa lalu yang mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya tanpa kecuali? Adakah pula negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis—juga sosialis—saat ini seperti sistem Khilafah pada masa lalu yang mampu meratakan kesejahteraan kepada semua warganya tanpa seorang pun yang miskin? Tidak ada!    

Jadi, masihkah kita ragu dengan sistem Khilafah dan malah tetap percaya pada sistem Kapitalisme—juga Sosialisme—yang nyata telah gagal menciptakan sekaligus meratakan kesejahteraan bagi umat manusia? Wal ‘iyâdzu billâhI [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*