HTI

Fokus (Al Waie)

Krisis Di Ladang Minyak

Krisis di ladang minyak. Mungkin itulah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia. Sebagai salah satu negara OPEC alias organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia, lonjakan harga minyak mentah dunia hingga di level 100 dolar AS/barel seharusnya menggembirakan Indonesia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya; negara kita malah dirundung kesulitan bahan bakar tersebut.

Kondisi ini sangat berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah yang juga anggota OPEC. Ketika harga minyak mencapai 100 dolar AS/barel, mereka justru kerepotan membelanjakan uangnya, meski sudah diinvestasikan untuk berbagai megaproyek di bidang infrastruktur dan ekonomi.

Hitung-hitungannya dengan volume ekspor hingga mencapai 11,890 juta barel/hari, Arab Saudi, Kuwait, Emirat, dan Qatar diperkirakan bakal mendulang devisa sebanyak 1,189 miliar dolar AS/hari. Situasi ini paradoks dengan Indonesia. Bukannya devisa yang bakal mengalir ke dalam negeri, malah persoalan krisis bahan bakar yang tengah dihadapi.

Jika melihat neraca perdagangan, kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia ternyata tidak berimbas banyak terhadap pemasukkan negara. Indonesia memang mampu mengekspor sebanyak 390.000 barel, tapi kita juga mengimpor sekitar 665.000 barel/hari. Artinya apa, Indonesia bukan lagi sebagai net eksporter dalam perdagangan minyak dunia, tetapi justru net importer.

Apa yang terjadi di negara kita kini memang sangat berbeda ketika booming harga minyak pada 1970-an. Pada 1970, ketika harga minyak 1,67 dolar AS/barrel, Indonesia mampu menghasilkan minyak sebanyak 0,89 juta barel/hari dan menjadi penyumbang devisa negara sekitar 29%. Kemudian pada 1981, produksi minyak Indonesia meningkat dua kali lipat menjadi 1,6 juta barel/hari. Dengan harga minyak dunia 35 dolar AS/barel, sumbangan minyak semakin besar hingga 70% dari penerimaan negara.

Namun, produksi minyak Indonesia semakin menyusut. Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, produksi minyak pada 1997 tercatat masih 1,64 juta barel/hari, namun pada 2007 tinggal 0,95 juta barel/hari. Akibatnya, sumbangan terhadap devisa negara pun ikut merosot hanya sekitar 30%. Pada 2007, penerimaan migas hanya mencapai Rp174 triliun atau turun Rp 32 triliun dibandingkan dengan 2006 yang mencapai Rp 207 triliun. Padahal harga minyak Indonesia naik dari 63,86 dolar AS/barel menjadi 72,3 dolar AS/barel.


Investasi Menurun

Pengamat perminyakan Kurtubi mengingatkan, melonjaknya harga minyak mentah dunia pada saat tingkat ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor semakin tinggi yang diperkirakan mencapai 60% dari jumlah kebutuhan terhadap bahan bakar minyak (BBM) akan sangat berbahaya. Pasalnya, jika di luar negeri terjadi gejolak harga minyak, maka itu akan mengganggu pasokan BBM di dalam negeri.

Ditinjau dari volume ekspor dan impor, sebenaranya sejak 2002 Indonesia telah menjadi net oil importer. Artinya, volume minyak yang diimpor telah melebihi volume ekspornya. Namun, ketika itu harga minyak bumi yang diekspor masih lebih tinggi ketimbang harga minyak bumi yang diimpor sehingga neraca perdagangan minyak bumi masih surplus.

Mengapa ketergantungan tersebut makin tinggi? Menurut Kurtubi, karena ada dua faktor. Pertama: produksi minyak kita semakin menurun, sementara permintaan terhadap BBM terus meningkat. Kedua: cadangan minyak di dalam negeri juga tidak bertambah. Bahkan karena terus dieksploitasi, kemampuan produksinya semakin berkurang.

Saat ini produksi minyak mentah di sektor hulu sekitar 910.000 barel/hari, sedangkan konsumsi sudah lebih dari 1,2 juta barel/hari sebagai dampak dari pertumbuhan penduduk dan industrialisasi. Jumlah ini jauh lebih rendah ketimbang produksi 1998 yang masih 1,6 juta barel/hari.

Begitu juga dari sisi cadangan minyak Indonesia. Kapasitas kilang minyak Indonesia yang besarnya sekitar 1.050.000 barel/hari tidak pernah naik dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Padahal kapasitas sebesar itu hanya mampu memenuhi 2/3 BBM dari kebutuhan nasional sehingga sisanya harus diimpor. “Jadi, mau tidak mau, Indonesia harus mengimpor BBM. Yang jumlahnya juga akan terus meningkat karena disebabkan konsumsi BBM dalam negeri juga terus meningkat,” kata Kurtubi.

Mandeknya produksi minyak di dalam negeri, menurut Kurtubi, karena produksi minyak Indonesia masih mengandalkan lapangan-lapangan minyak tua. Dalam delapan tahun terakhir ini, tidak ada atau nyaris tidak ditemukan lapangan-lapangan baru. “Jadi produksi hanya mengandalkan lapangan tua, yang dari hari ke hari plafon produksinya menurun,” ujarnya.

Tidak bertambahnya cadangan minyak adalah karena kegiatan atau investasi pencarian cadangan baru atau investasi eksplorasi sejak 1999 anjlok. Contoh kongkret, pada periode 1970–1980-an, rata-rata jumlah sumur eksplorasi antara 250–300 sumur/tahun, namun sejak 1999 anjlok hanya menjadi 90 sumur; tahun 2000 tinggal 70 sumur, 2001 menjadi 60 sumur, dan 2003 hanya sekitar 30 sumur.

Peneliti LP3ES Pri Agung Rakhmanto menegaskan, seharusnya harga minyak tinggi menjadi insentif bagi investor untuk mencari lapangan-lapangan migas baru. Sayangnya, Indonesia sudah tidak banyak lagi memiliki cadangan migas. Jika ada potensi lapangan-lapangan migas baru, itu hanya ada di daerah-daerah sulit, sehingga memiliki risiko lebih tinggi.

Catatan Departemen ESDM menunjukkan, cadangan minyak Indonesia 2006 hanya tertinggal 4,39 miliar barel atau sudah merosot dibandingkan dengan 1991 yang tercatat 6 miliar barel. Jika dikalkulasikan, dengan produksi minyak Indonesia sebesar 1 juta barel/hari atau 365 juta barel/tahun, maka tingkat cadangan tersebut bakal habis dalam waktu 12 tahun saja.

Publikasi BP (British Petroleum) yang berjudul, “Statistical Review of World Energy 2005,” memprediksi, cadangan minyak Indonesia yang dapat dibuktikan keberadaannya hanyalah sekitar 4.7 miliar barel. Produksi minyak tertinggi Indonesia terjadi pada 1977 dengan rata-rata sebesar 1,685 juta barel/hari. Setelah itu, produksi minyak Indonesia tidak pernah lagi mencapai angka tersebut.

Pada 2004, produksi minyak Indonesia hanya sebesar 1,126 juta barel/hari. Angka ini sudah berada di bawah konsumsi BBM Indonesia yang jumlahnya sebesar 1,150 juta barrel/hari. Dalam grafik, produksi dan konsumsi BBM di Indonesia dari 1965 sampai 2004 berdasarkan data dari BP adalah sebagai berikut:

Presiden SBY sendiri pernah mengakui, bahwa minyak Indonesia akan habis dalam 15 tahun, gas alam dalam 60 tahun dan batubara dalam 150 tahun. Kondisi pasokan minyak diprediksi akan semakin sulit karena banyak blok migas yang ditawarkan Pemerintah ternyata tidak laku karena memang sudah tidak menarik lagi. Dari 26 blok migas yang ditawarkan akhir Desember 2007, sebanyak 12 merupakan blok yang tidak laku pada penawaran.

Meski investasi sepi peminat, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Purnomo Yusgiantoro tetap optimis, pada 2008 investasi migas bisa mencapai 14,4 miliar dolar AS atau naik 42,6% dibandingkan 2007 yang 10,1 miliar dolar AS.

Sayang, dalam investasi, Pemerintah malah lebih mempercayakan pengelolaan hingga penjualan minyak bumi kepada investor asing. Akibatnya, sebagian besar keuntungan proyek eksplorasi tersebut justru jatuh ke tangan asing sebagai bagian dari kompensasi. Adapun rakyat Indonesia sendiri tinggal ‘gigit jari’ karena tidak pernah menikmati keuntungan dari kekayaan negerinya. Padahal seharusnya, negara melalui BUMN-lah yang mengelola sumberdaya alam tersebut. Bisa saja Pemerintah memberikan kontrak eksplorasi pertambangan minyak kepada swasta, namun dengan syarat, seluruh hasilnya dikembalikan kepada Pemerintah. Dengan demikian, swasta tidak bisa menjual langsung minyak hasil eksplorasi.

Kurtubi mencontohkan, buruknya pengelolaan sumberdaya energi Indonesia terlihat dari pengelolaan lapangan gas Tangguh di Provinis Papua. Pemerintah malah menyerahkan kepada pihak ketiga, yakni British Petroleum (BP), untuk menjual gas ke luar negeri. Bahkan penjualan gas dari Pemerintah kepada mereka itu dengan harga super murah. Pada tahap awal harganya hanya 2,25 dolar AS/mmbtu, dengan patokan harga minyak mentah 25 dolar AS/barel. Namun setelah di desak, patokan harga minyak mentah dinaikkan menjadi 38 dolar AS/barel, sedangkan harga jual gas tangguh menjadi 3,35 dolar AS/mmbtu. Harga itu merupakan nilai jual selama 25 tahun yang akan datang. “Padahal semua orang tahu, saat ini harga minyak sudah 100 dolar AS/barel. Indonesia dizalimi BP. Dengan sistem seperti ini, negara bukan diuntungkan, tetapi justru mempunyai potensi kerugian miliaran dolar,” tuturnya kesal.

Upaya meliberalisasi sektor hulu migas sebenarnya sudah dimulai sejak Pemerintahan Orde Baru. Sudah hampir 90% produksi minyak Indonesia dikuasai asing. Sayang, pasca Reformasi, bukan perubahan ke arah yang lebih baik. Pemerintahan sekarang justru setali tiga uang dengan pemerintahan masa lalu. Bahkan pemerintah dan DPR RI malah kebablasan dengan mengeluarkan UU Migas No 22/2001. Undang-undang yang draftnya dibuat Amerika Serikat melalui lembaga bantuannya USAID dan Bank Pembangunan Asia semakin memantapkan liberalisasi di sektor hulu dan memberikan jalan bagi swasta dan asing berinvestasi dalam bisnis SPBU dan pendristibusian BBM. Liberalisasi sektor hilir migas ini semakin mendorong Pemerintah menaikan harga BBM dengan cara mengurangi subsidi untuk menarik investor asing.


APBN dan Harga Minyak

Pengaruh kenaikkan harga minyak mentah yang mendekati 100 dolar AS/barel bukan hanya dirasakan Indonesia. Hampir semua negara di dunia juga mengalami dampak yang sama. Menghadapi persoalan itu Pemerintah Indonesia malah terlihat panik, terutama dalam menyelamatkan APBN.

Seperti kebiasaan sebelumnya, demi menyelamatkan APBN Pemerintah mengambil jalan pintas, yaitu mengurangi subsidi dengan menaikan harga BBM. Hitung-hitungan Pemerintah, setiap kenaikan harga minyak 1 dolar AS/barel, subsidi BBM bertambah Rp 3,15 triliun. Karena itu, ketika harga minyak mencapai 100 dolar AS/barrel, subsidi BBM dalam APBN 2008 diperkirakan bakal membengkak dari Rp 45,8 triliun menjadi Rp170,7 triliun. Pada APBN Perubahan 2008 Pemerintah berencana mengubah asumsi harga minyak menjadi 85 dolar AS/barel dan lifting minyak sebanyak 960 ribu barel/hari.

Untuk menyelamatkan APBN, Pemerintah menggunakan trik baru, yaitu tidak langsung menaikkan BBM. Melalui ‘tangan kanan’, yakni Pertamina, Pemerintah akan membatasi penjualan BBM jenis premium (oktan 88) dan mengalihkan ke BBM jenis pertamax (premium oktan 90). Program pembatasan premium bersubsidi rencananya direalisasi akhir Maret 2008.

Selanjutnya, Pemerintah menyiapkan rencana baru, yakni menggunakan sistem smart card. Cara itu diharapkan bisa mengontrol pembelian BBM, khususnya premium untuk kendaraan bermotor.

Apa yang dilakoni Pemerintah Indonesia sangat berbeda dengan Cina. Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu lebih memilih menaikkan subsidi untuk kelompok masyarakat yang terkena dampak paling besar dari kenaikan harga. Mereka yang mendapat subsidi antara lain adalah petani. Bahkan subsidi juga diberikan kepada China Petroleum & Chemical Corp sebagai pengolah minyak. Subsidi itu sebagai kompensasi karena BBM yang dihasilkan oleh BUMN itu dijual lebih murah daripada biaya produksinya.

Pengamat ekonomi, Hendri Saparini menegaskan, kebijakan Pemerintah dengan membatasi penjualan premium sama halnya dengan menaikkan BBM jenis itu sehingga beban yang bakal diterima masyarakat sama saja. Padahal ada sejumlah alternatif kebijakan yang dapat memberikan solusi secara lebih mendasar, baik lewat APBN maupun tataniaga BBM. Pertama, ungkap Hendri, melalui pengurangan anggaran subsidi bank rekap yang mencapai puluhan triliun rupiah. Kedua, mengoptimalkan tawaran moratorium utang untuk memperoleh kelonggaran anggaran secara signifikan. Jika Pemerintah serius mengurangi beban pembayaran utang maka potensi penghematan anggaran bisa mencapai Rp 25 triliun.

Ketiga, lanjut ekonom yang tergabung dalam Komite Indonesia Bangkit itu, Pemerintah dapat mengefisienkan Pertamina dengan menghilangkan penggunaan jasa trading companies alias broker, baik dalam ekspor maupun impor minyak. Keberadaan mereka sangat merugikan masyarakat karena meningkatkan harga beli hingga 30 sen dolar AS/barel. Jika ekspor dan impor minyak mencapai lebih dari Rp 20 miliar/hari maka kerugian masyarakat sangat besar. “Langkah lain adalah meningkatkan tingkat utilisasi kilang minyak serta sistem maintenance dan loss managemen program yang mengakibatkan banyaknya output terbuang,” tutur Hendri.

Sementara itu, mantan Menko Perekonomian dan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kabinet Gotong Royong Kwik Kian Gie menilai, ada kesalahan dalam mengartikan subsidi dalam penyusunan APBN, terutama terkait dengan patokan harga minyak mentah. Selama ini jelas sekali jalan pikiran Pemerintah, yaitu harga BBM di dalam negeri harus ekuivalen dengan harga minyak mentah di pasar dunia. Akibatnya, naik-turun harga BBM prosentasenya akan sama dengan naik-turunnya harga minyak internasional yang ditentukan New York Mercantile Exchange (NYMEX). Karena itu, menurut Kwik, niat Pemerintah untuk menghapus subsidi BBM sebenarnya bukan subsidi, tetapi perbedaan antara harga yang diterima konsumen Indonesia dengan harga yang ditentukan NYMEX. “Jika kita mau berpikir dalam arti “rugi”, ruginya itu opportunity loss, bukan real cash money loss,” ujarnya.

Hasil kalkulasi Kwik, biaya pemompaan (lifting), pengilangan dan transportasi dari minyak mentah sampai menjadi BBM atau bensin yang siap pakai di pompa-pompa bensin hanya sebesar 10 dolar AS/barel. Jika nilai tukar rupiah Rp 10.000/dolar AS maka biaya produksi menjadi Rp 630/liter. Pada 2005, sebelum harga bensin premium dinaikkan, yaitu ketika masih Rp 2.700/liter, Pemerintah sudah kelebihan uang tunai sebesar Rp 2.070/liter.

Mengapa dikatakan memberi subsidi? Ekonom senior ini mengatakan, karena doktrin mekanisme pasar mengatakan, BBM milik bangsa Indonesia harus dibayar pemiliknya sendiri dan ditentukan NYMEX. Jika NYMEX menentukan harga minyak mentahnya 60 dolar AS/barel maka dengan nilai tukar Rp 10.000/dolar AS nilainya akan sama dengan Rp 600.000/barel.

Jika satu barel sama dengan 159 liter maka harga bensin menjadi Rp 3.774/liter. Ditambah biaya-biaya lifting, pengilangan dan transportasi sebesar Rp630/liter, biaya produksi bensin menjadi Rp 4.040/liter. Selisih dengan harga yang dikenakan sebelum naik (Rp 2.700/liter) sebesar Rp 1.340 itulah yang dikatakan ‘subsidi’. Karena itu, Pemerintah kemudian berniat menghapus ‘subsidi’ dengan menaikkan harga BBM.

Jika harga jual BBM tidak ekuivalen dengan harga minyak mentah internasional, Pemerintah akan merasa rugi. Padahal ‘kerugian’ itu hanyalah karena kesalahan Pemerintah dalam menerapkan kebijakan, yakni menetapkan patokan harga BBM di APBN sesuai dengan mekanisme pasar.


Imbas kenaikan BBM

Pengalaman pada 2005 seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi Pemerintah Indonesia. Bukti mengatakan bahwa menaikkan harga BBM justru semakin memperburuk kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Saat itu Pemerintah menaikkan harga BBM sekitar 50% pada Maret dan berlanjut pada Oktober lebih dari 100%. Dampak dari kenaikan BBM itu terlihat pada tahun 2006. Jumlah masyarakat miskin semakin meningkat mencapai 39,05 juta jiwa, padahal sebelumnya hanya 35 juta jiwa.

Bagi dunia usaha kenaikan harga BBM non-subsidi sebesar 21% pada Desember 2007 telah memangkas usaha. Usaha kecil dan menengah merupakan kelompok usaha yang pertama kali mengalami pukulan. Padahal kelompok usaha ini menyumbang 98% penyerapan tenaga kerja dari 108,13 juta angkatan kerja tahun 2007.

Kalangan perusahaan berskala besar juga ikut meradang. Mau tidak mau, mereka akan menaikkan harga jual pada awal 2008 dan melakukan efisiensi usaha, dengan cara pengurangan ship kerja dan PHK.

Jika Pemerintah tidak mampu menahan gejolak kenaikan harga BBM maka imbasnya sudah dapat ditebak. Daya beli masyarakat semakin anjlok dengan turunnya pendapatan. Bukan hanya itu saja, harga-harga barang kebutuhan pokok ikut-ikutan merambat naik. Hal itu sudah terlihat saat ini. Harga beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat jenis IR64 kualitas III sudah menembus angka Rp 4.800/kg. Bahkan harga minyak goreng sudah tidak bisa dikendalikan lagi hingga mencapai Rp 12.000-16.000/kg.

Lebih buruknya jumlah pengangguran akan semakin besar dengan adanya PHK dari industri. Menurut data BPS awal 2007, pengangguran terbuka sudah mencapai 10,55 juta orang, sementara angkatan kerja baru tahun ini diperkirakan 2,1 juta.

Jadi, sangat tidak tepat anggapan bahwa menaikan harga BBM adalah untuk menghemat anggaran dan melindungi kepentingan orang-orang miskin. Masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah, justru harus diproteksi dengan harga BBM yang murah dan pasokan yang lancar.

Kebijakan Pemerintah yang berkiblat pada Kapitalisme tidak akan pernah memecahkan permasalahan yang dihadapi rakyat. Dengan kebijakan kapitalis, Pemerintah justru menjadi pelayan kepentingan asing, bukan pelayan kepentingan rakyat. [Yulianto]

3 comments

  1. faktanya memang seperti itu!!

  2. iman ti bandung

    “Kebijakan Pemerintah yang berkiblat pada Kapitalisme tidak akan pernah memecahkan permasalahan yang dihadapi rakyat. Dengan kebijakan kapitalis, Pemerintah justru menjadi pelayan kepentingan asing, bukan pelayan kepentingan rakyat”

  3. Bagaimana dengan emas di Papua ??

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*