HTI

Iqtishadiyah

Minyak Bukan Sumber Cari Duit

Pengantar:

Indonesia saat ini sedang mengalami krisis BBM. Adakah yang salah dalam kebijakan Pemerintah dalam hal ini? Untuk menjawabnya, Gus Uwik dari Redaksi mewawancarai Prof. Koesoemadinata, Mantan Guru Besar Ilmu Geologi Minyak dan Gas Bumi ITB. Berikut petikannya.

 

Indonesia saat ini mengalami krisis BBM. Menurut Profesor, apa yang salah?

Begini. Pertama: Indonesia dari dulu dianggap kaya akan minyak, barang tambang dan lain sebagainya. Namun  sebetulnya, dari segi geologi, cadangan atau produksi Indonesia tidaklah sebesar di Timur Tengah. Di sana cadangannya sangat besar; miliaran barel. Setiap lapangannya ratusan juta. Di Indonesia puluhan juta sudah besar. Dari segi produksi, di Timur Tengah itu 10.000– 20.000 barel perhari untuk satu sumur itu biasa. Adapun di Indonesia mendapatkan 500 barel perhari saja sudah sangat besar. Di Indonesia yang besar hanya Caltex. Itu memang miliaran barel. Katanya 10 miliar barel, tetapi lama-lama juga disedot habis. Bahkan sekarang juga, produksi Caltex 600 ribu barel perhari. Itu kan sudah lapangan tua. Bahkan kalau dipompa, airnya saja sudah 95%. Sisanya baru minyak.

Kedua: lapangan-lapangan minyak setelah dipakai terus, ya turunlah cadangannya. Untuk mempertahankan itu, kita kan harus terus melakukan eksplorasi. Nah, di sinilah, apakah kesalahan kebijakan Pemerintah atau yang lain sehingga tidak bisa ditemukan cadangan atau lapangan baru, kalaupun dapat juga kecil.

Di lain pihak, penduduk Indonesia semakin bertambah. Kebutuhan BBM juga meningkat terus. Jika produksi BBM menurun, namun jumlah kebutuhan penduduk terus meningkat, maka suatu saat akan terjadi krisis BBM. Itu sudah terjadi sejak tahun 2002. Sebab, minyak yang kita hasilkan sudah tidak mencukupi lagi sehingga kita terpaksa impor.

Nah, di sini juga problem. Dari dulu kita ekspor. Namun, kita juga impor. Sebab, bisnis minyak itu bisa dikatakan agak rumit. Kadang-kadang minyak kita yang baik sehingga banyak digandrungi orang. Itu yang diekspor. Kemudian kita impor dari Saudi yang lebih murah dengan kualitas lebih jelek.

Kemudian belakangan ini kita juga berharap pada gas. Sebab, gas juga bisa dijual dalam bentuk LNG, juga bisa untuk kebutuhan dalam negeri. Namun, insfrastrukturnya belum siap penuh. Sebagai misal, gas tangguh. Kalau kita mau mengirim ke Jawa, kan fasilitasnya belum siap; karena LNG tidak seperti minyak, dimasukan ke tangker, dibawa ke Jawa, terus dikeluarkan ke dalam tangki. Tidak bisa begitu. Kapalnya harus khusus, pakai pendingin, dll. Ketika sampai ke Jawa juga harus disiapkan tangki-tangki khusus. Fasilitas itu tidak pernah di pikirkan sebelumnya oleh Pemerintah karena Indonesia pikirannya ekspor terus.

 

Mengapa cadangan minyak baru tidak di temukan lagi?

Sejak zaman reformasi, keadaan politik tidak menentu. UU Migas juga demikian, memecah Pertamina sehingga ada BP Migas. Penegakan hukum juga tidak jelas sehingga eksplorasi menurun. Ini berakibat pada penemuan minyak baru tidak ada.

Pertanyaannya, mengapa kita senantiasa mengandalkan eksplorasi perusahaan minyak asing? Itu juga satu hal yang perlu kita pertanyakan. Eksplorasi sebenarnya ada sedikit ‘gambling-’nya. Kadang berhasil, kadang tidak. Daripada dipakai yang tidak tentu berhasil, Pemerintah mengambil kebijakan, lebih baik dipakai untuk membangun proyek-proyek pembangunan yang jelas risikonya sangat rendah. Kondisi di atas menyebabkan kita mengalami kondisi kekurangan minyak bumi sehingga kita harus impor.

 

Menurut Profesor, secara sistem, adakah hal yang perlu diubah dalam pengelolaan energi Indonesia?

Ya, kita harus kembali lagi pada falsafah negeri ini. Gas dan minyak bumi itu sumber energi bukan? Betul, itu adalah sumber energi. Namun, ekonom kapitalis tidak melihat itu sebagai sumber energi, tetapi sebagai komoditi atau sumber uang. Sebabnya begini, kalau kita hitung ongkos produksi dari minyak bumi, dari mulai dari tanah menjadi bensin, sebetulnya masih sekitar $10–$12 perbarel. Itu masih sangat jauh dari harga BBM, terutama premium. Masih di bawah itu. Namun, karena negara kita ini adalah kapitalis maka yang dihitung itu duitnya. Minyak tidak lagi dianggap sebagai sumber energi, namun sebagai bahan untuk mendapatkan uang. Kalau rakyat perlu minyak bumi, ya beli di pasar internasional. Jadi, begitu cara  berpikirnya.

Seharusnya negara menganggap minyak bumi sebagai sumber energi yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat seperti penerangan, angkutan massal, dll; bukan untuk mencari duit. Kalau disebut subsidi itu lain. Itu tidak betul. Sebabnya, harga produksi tidak sama dengan ongkos premium. Yang dijadikan alasan subsidi itu kalau dijual ke pasar internasional. Itu yang dianggap subsidi. Sebab, kembali lagi, minyak itu adalah sumber energi untuk rakyat, bukan untuk mendapatkan keuntungan/uang. Cara berpikir seperti ini memang tidak sesuai dengan cara berpikir para ekonom kapitalis.

Di lain pihak, sejak zaman reformasi, kita mau menjalankan survey saja banyak mengalami kendala. Banyak pihak yang ‘meminta’ ini dan itu. Belum juga apa-apa, bahkan kemungkinan juga gagal, sudah dimintai uang; oleh penduduk yang tanahnya tidak mau dilewati, belum para bupati minta, ini minta, semuanya minta. Aneh. Kan belum pasti keluar. Jadi, ini juga menjadi kendala, mengapa eksplorasi menurun. Jadinya, orang malas untuk eksplorasi. Sekarang yang terjadi adalah jual-beli konsesi saja.

 

Apakah sistem perundang-undangan BBM yang ada sekarang sudah menjamin ketersediaan BBM Nasional?

Saya kira, kalau menjamin, ya sulit; bergantung pada banyak faktor. Begini, kalau kita menggantungkan pada investor asing untuk melakukan eksplorasi, kita harus membuat asing itu ‘senang’ berinvestasi di sini. Kalau situasi politik, ekonomi dan birokrasi sulit, belum lagi harus setor sana-sini dan lain sebagainya maka mereka pasti berpikir lebih baik saya berinvestasi di Libya, Sudan atau entah kemana. Di sana yang jelas, kalau diketemukan cadangannya itu pada umumnya besar. Karena itu, Pemerintah harus memberikan banyak insentif kepada investor asing. Itu kalau berpikirnya cara kapitalis. Selanjutnya, mereka diberi reward yang lebih baik. Sekarang itu kan yang disebut bagi hasil adalah 15 (bagian operator): 85 (bagian Pemerintah). Kelihatannya memang menguntungkan Pemerintah. Padahal sebenarnya di sana rawan praktik korupsi dan kolusi yang pada akhirnya sangat merugikan Pemerintah. Sebab, ketika perusahaan operator menemukan minyak, semua ongkos-ongkos ditanggung Pemerintah. Ini yang disebut dengan cost recovery. Jadi, kalau perusahaan asing mencari ladang minyak baru sudah mengeluarkan $10 juta, bahkan $20 juta, namun gagal, baru ketika eksplorasi ketiga dengan biaya $50 juta berhasil, maka yang $50 juta ini bisa diminta kembali, termasuk biaya-biaya dalam pengembangan lapangan baru tersebut. Sebab, ketika sudah ketemu, ia harus dikembangkan; seperti harus buat pipanisasi, pompa-pompa, tangki-tangki, dsb. Itu semua membutuhkan biaya. Itu semua ditanggung Pemerintah. Jadi, walaupun dikatakan 85:15 sharing-nya, semua biaya ditanggung oleh Pemerintah dari 85% itu. Pemerintah itu harus tahu, apakah yang disebut biaya-biaya itu memang betul-betul biaya yang diperiksa di BPKP.

Di pihak lain cost recovery itu juga menjadi ajang korupsi yang sangat besar. Karena apa? Karena biasanya banyak biaya-biaya yang ‘aneh-aneh’; seperti pembelian mobil, mereka lebih baik sewa mobil daripada beli, sebab dengan demikian dia dapat cost recovery. Demikian juga dengan sewa gedung. Dengan sewa ini, berpeluang lagi untuk ‘main-main’. Yang dapat tender penyewaan, ya para anak pejabat-pejabat juga. Itu baru berbicara mengenai mobil, belum berbicara tentang tangki, alat pemborannya, dll. Itu semua masuk cost recovery. Ini sudah diatur secara tegas dalam UU. Saya pikir akan susah dihapus UU ini, karena DPR juga tidak mau menghilangkannya karena akan takut kehilangan.

Anehnya lagi, seperti di Caltex, anak mahasiswa datang meminta sumbangan untuk seminar. Caltex bilang, boleh-boleh saja, asal saya izin dulu sama BP Migas. Mengapa? Dia sumbang, tetapi nanti dimasukkan sebagai cost recovery. Jadi, mahasiswa tahunya disumbang Caltex, tetapi sebenarnya yang bayar Pemerintah juga. Di lain pihak, ketika ditolak BP Migas maka Caltex bilang, bukannya tidak mau nyumbang, namun karena BP Migas menolak. Jadi, investor itu menang terus. Juga, para perusahaan ini ketika sudah beroperasi akan melakukan sosialisasi, maka mereka pun akan membuat lapangan terbang, lapangan tenis, dll. Biaya dari siapa? Dari Pemerintah juga melalui cost recovery. Yang dapat siapa? Para perusahaan asing tadi.

Jadi, Exxonmobil di Cepu hanya dengan bagi hasil 5% dari hasil produksi mau saja. Sebab, itu bersih di tambah keuntungan dari cost recovery. Selain itu, dia juga bisa menancapkan citranya. Dia akan mengklaim, dia yang membangun lapangan terbang, lapangan golf, sekolah, unit kesehatan, dll. Bahkan sumbangannya saja masuk cost recovery.

 

Tegasnya cost recovery sebenarnya sangat merugikan Pemerintah?

Iya. Itu harus diawasi, kan? Itulah tugas BP Migas. Dia harus mengawasi setiap pengajuan dan menetapkan semua usulan, apakah disetujui atau tidak dari ratusan operator. Faktanya, BP Migas tidak mempunyai cukup SDM dan perlengkapan untuk itu. Setiap kontraktor harus diurus, seperti izin eksplorasi, pengeboran, survey dll. Semua biaya harus disetujui oleh BP Migas. Oleh karenanya, sharing-nya harus diubah. Intinya, jangan ada cost recovery yang di tanggung Pemerintah dan tidak merugikan Pemerintah.

Jadi, setiap blok yang akan di tenderkan, Pemerintah bertanya kepada para operator, you berani berapa sharing-nya…? Sebab, setiap blok mempunyai potensi yang berbeda-beda. Jika risikonya sangat besar, wajar jika operator dapat 60% dan Pemerintah 40%. Namun, semua biaya-biaya menjadi tanggungan operator. Pemerintah dapat hasil bersih senilai 40%. Tidak ada lagi cost recovery yang berpotensi merugikan.

 

Menurut pengamatan Profesor, apakah betul peran Pertamina semakin lama semakin dikerdilkan?

Ya, betul. Alasan yang dikedepankan kan begini. Kalau Pertamina ingin seperti Petronas maka Pertamina harus efisien, agar bisa bersaing. Akhirnya, Pertamina yang diatur oleh BP Migas, disamakan dengan perusahaan-perusahaan asing lainnya. Ini adalah pandangan kapitalis liberal.

Seharusnya seluruh kekayaan negara dikuasai oleh negara. Seharusnya Pertamina yang menguasai dan mewakili negara dalam hal minyak dan gas bumi. Perusahaan-perusahaan asing boleh masuk, tetapi hanya menjadi kontraktor. Mekanismenya bagaimana? Kamu (para kontraktor asing, red.) mencari minyak, setelah dapat nanti kamu dibayar. Di bayarnya pakai apa? Ya, bagi hasil minyak tadi. Bukan seperti saat ini. Ini semua karena kita minta bantuan sama IMF. Karena ada banyak syarat: harus ada privatisasi, fungsi Pertamina dikurangi, dll.

 

Lalu adanya krisis BBM sekarang, yang ‘mengambil keuntungan’ siapa?

Menurut data yang saya ambil dari Dr. Ong (ahli geologi ITB), menurut hitung-hitungan beliau, yang banyak menerima keuntungan dari krisis BBM sekarang adalah perusahaan-perusahaan minyak asing, bukan Pemerintah. Perusahaan-perusahaan asing itu paling diuntungkan dibandingkan dengan di negara-negara lain.

 

Mengapa demikian? Padahal cadangan minyak Indonesia kan tidak sebanyak di negar-negara lain?

Ya, karena ada cost recovery tadi.

 

Benarkah SDM dan finansial Pertamina tidak mampu mengelola ladang-ladang yang ada sehingga banyak yang dikasihkan kepada pihak asing?

Saya pikir tidak 100% betul. Buktinya apa? Banyak SDM-SDM dari Pertamina yang lari ke Malaysia dan bercokol di sana. Bahkan ada juga yang di Amerika. Adapun secara finansial, bisa pinjam, kok. Keuangan Pertamina kan dipegang Pemerintah. Jadi, intinya (Pertamina/Pemerintah, red.) tidak bisa mengelola keuangannya sendiri. Perusahaan apa kalau tidak bisa mengelola keuangannya sendiri. Ya, serba susah jadinya. Jadi, kalau sekarang Pertamina kelihatan tidak mampu, itu karena adanya mis-manajemen, bukan karena faktor SDM atau finansialnya. [Prof. Koesoemadinata]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*