Pengantar
Sejak berdirinya tahun 1953 Hizbut Tahrir (HT) telah mengadopsi sebuah Rancangan UUD Khilafah (Masyrû‘ ad-Dustûr) yang terdiri dari 182 pasal. Isinya adalah hukum-hukum syariah yang diformulasikan dalam bentuk pasal-pasal perundang-undangan dalam berbagai bidang kehidupan seperti sistem pemerintahan, sistem pergaulan, sistem ekonomi, strategi pendidikan, dan politik luar negeri. Rancangan yang terdapat dalam kitab Nizhâm al-Islâm (1953) ini, terus mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1963, HT menerbitkan kitab Muqaddimah ad-Dustûr sebagai penjelasan atas 182 pasal dalam Masyrû‘ ad-Dustûr tersebut. Dalam edisi paling mutakhir, HT menambah jumlah pasalnya sehingga menjadi 190 pasal.
Sebagaimana umumnya konstitusi negara, Rancangan UUD Khilafah itu bersifat global. Maka dari itu, diperlukan upaya lanjutan untuk merinci pasal-pasalnya dalam berbagai RUU (masyrû‘ al-qânûn) supaya penerapan Islam dalam Negara Khilafah nanti lebih aplikatif dan operasional, dengan standar-standar yang lebih rinci dan terukur.
Bertolak dari sini, bangkitlah para mujtahid dari aktivis HT untuk menggagas perundang-undangan islami yang diperlukan Khilafah nantinya. Syaikh Ziyad Ghazal adalah salah satunya. Beliau telah menelorkan karya-karya fikih yang kreatif berupa beberapa RUU Syariah, antara lain Masyrû‘ Qânûn al-Ahzâb fî Dawlah al-Khilâfah (RUU Partai Politik dalam Negara Khilafah) dan kitab Masyrû‘ Qânûn Wasâ’il al-I‘lâm fî Dawlah al-Khilâfah (RUU Pers dalam Negara Khilafah). Telaah kali ini akan mengupas kitab yang disebut pertama.
Latar Belakang Kitab
Kitab Masyrû‘ Qânûn al-Ahzâb fî Dawlah al-Khilâfah oleh penulisnya dimaksudkan untuk merinci Rancangan UUD Khilafah (Masyrû‘ ad-Dustûr) yang diadopsi HT, khususnya pasal 20 (mengenai kritik terhadap pemerintah), dan pasal 21 (mengenai hak warga negara mendirikan parpol).
Dalam pasal 20 RUUD Khilafah, HT menggariskan: Mengkritik pemerintah adalah salah satu hak kaum Muslim dan hukumnya fardhu kifayah. Adapun warga negara non-Muslim diberi hak untuk mengadukan kesewenang-wenangan atau penyimpangan pemerintah dalam penerapan hukum-hukum Islam atas mereka. (An-Nabhani, 1963). Pasal ini tentu masih global, belum merinci hal-hal yang terkait dengan aktivitas mengkritik pemerintah; misal definisi parpol, hukum mendirikan parpol, termasuk standar, sarana, dan kriteria untuk aktivitas mengkritik pemerintah; juga belum merinci bagaimana warga negara non-Muslim menjalankan hak-hak politiknya itu.
Dalam Pasal 21 RUUD Khilafah, HT juga menegaskan: Kaum Muslim berhak mendirikan partai politik untuk mengkritik pemerintah, atau sebagai jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui umat, dengan syarat, asasnya adalah akidah Islam dan hukum-hukum yang diadopsi adalah hukum-hukum syariah. Pendirian partai tidak memerlukan izin negara. Negara melarang setiap perkumpulan yang tidak berasaskan Islam. (An-Nabhani, 1963). Pasal ini juga belum merinci beberapa hal terkait parpol, misalnya syarat keanggotaan, syarat pimpinan, keuangan, dan pembubaran parpol.
Belum adanya rincian-rincian seperti itulah yang mendorong Syaikh Ziyad Ghazal untuk menulis kitabnya. (Lihat Ziyad Ghazal, Masyrû‘ Qânûn al-Ahzâb, hlm. 9 dan 33).
Gambaran Isi Kitab
Kitab ini terdiri dari 4 (empat) bagian. Pertama: Kata Pengantar oleh Syaikh Fathi Salim, seorang ulama senior Hizbut Tahrir (hal. 5-8). Beliau antara lain menyatakan bahwa Khilafah sesungguhnya adalah negara manusiawi (dawlah basyariyah), bukan negara ketuhanan (dawlah ilâhiyah) atau sistem teokrasi. Artinya, Khilafah dilaksanakan oleh manusia biasa yang tidak ma‘shûm. Karena itu, penguasa dapat menyimpang dalam menjalankan roda pemerintahan Khilafah. Di sinilah perlunya aktivitas mengkritik penguasa (muhâsabah al-hukkâm).
Kedua: Pendahuluan oleh penulis, yang menjelaskan seputar muhâsabah al-hukkâm (hlm. 9-38). Penulis antara lain menjelaskan definisi, hukum, tujuan dan standar muhâsabah (yaitu nash-nash syariah). Cukup panjang pula penulis mencontohkan praktik muhâsabah pada masa Rasul saw. dan Khulafaur ar-Rasyidin. Dijelaskan pula sarana-sarana muhâsabah dalam negara Khilafah, yaitu: (1) Majelis Umat; (2) Parpol; (3) Media Massa; (4) Mahkamah Mazhalim. Kemudian dijelaskan pula kriteria-kriteria (dhawabith) muhâsabah, yaitu: (1) tetap wajib mendengar dan menaati Khalifah; (2) tidak boleh menggunakan cara-cara fisik (kekerasan). Penulis juga menjelaskan kebolehan adanya banyak parpol (multipartai) dalam Negara Khilafah yang didasarkan pada dalil as-Sunnah, baik qawliyah maupun fi‘liyah.
Ketiga: Deskripsi 13 Pasal RUU Parpol beserta dalil-dalilnya (hlm. 39-53). Beberapa contoh pasal dan analisisnya akan diuraikan nanti.
Keempat: Kritik dan Diskusi atas RUU Parpol ini (hlm. 54-61).
Pasal-Pasal RUU Parpol
RUU Parpol ini terdiri dari 13 pasal. Pasal 1-9 mengatur identitas dan karakter parpol, yakni: definisi parpol (pasal 1); kewajiban berasas Islam (pasal 2); tujuan, program, dan strategi tidak boleh menyalahi hukum Islam (pasal 3); keharusan menempuh cara damai, bukan cara fisik (pasal 4); kewajiban bergerak terang-terangan, bukan secara rahasia (pasal 5).
Pasal 6-8 berbicara tentang syarat dan kepengurusan parpol, yaitu: syarat keanggotaan (pasal 6); tanggung jawab ketua (pasal 7); dan syarat ketua (pasal 8).
Pasal 9 secara khusus mengatur masalah keuangan, yang ditetapkan sebagai harta pribadi, bukan harta wakaf, sehingga tetap wajib dizakati.
Pasal 10-13 mengatur hubungan parpol dengan penguasa, yaitu mengatur: pembubaran (pasal 10); otoritas peradilan yang berhak membubarkan (pasal 11); pemberitahuan—bukan ijin—pendirian kepada penguasa (pasal 12); otoritas Mahkamah Mazhalim yang berhak mengadili dakwaan parpol jika pembubarannya oleh peradilan dianggap tidak sesuai fakta (pasal 13).
Dalam mendeskripsikan 13 pasal tersebut, yang dilakukan Syaikh Ziyad Ghazal pada garis besarnya ada 3 (tiga) hal. Pertama, menjelaskan definisi tertentu. Kedua, menjelaskan maksud suatu pasal. Ketiga, menjelaskan dalil suatu pasal.
Penjelasan berupa definisi, contohnya adalah pasal 1 yang menerangkan definisi partai politik. Bunyi pasal 1 adalah: Partai politik adalah sebuah organisasi permanen dari kalangan kaum Muslim yang bertujuan untuk melakukan aktivitas politik dengan izin dari Asy-Syâri‘ (Allah Swt.). (hlm. 39).
Penjelasan mengenai maksud pasal tertentu. Contohnya adalah penjelasan maksud pasal 2 yang berbunyi: Berbagai tujuan, program, dan strategi parpol wajib berasaskan Islam.
Penulis lalu menjelaskan apa yang dimaksud dengan kalimat “wajib berasaskan Islam”. Kalimat ini mengandung 2 (dua) kriteria yang harus ada secara bersamaan, yaitu: (1) menjadikan ukhuwah Islam sebagai ikatan asasi antar anggota; (2) tidak adanya pertentangan dengan Islam dalam hal tujuan, program, dan strategi. Poin (2) lebih jauh maksudnya adalah: (a) parpol tidak boleh menyalahi nas yang qath‘i dalâlah (pasti pengertiannya); (b) parpol tidak boleh mengingkari apa yang termasuk ma‘lûm[un] min ad-dîn bi adh-dharûrah, yaitu suatu ketentuan/hukum yang tidak diragukan lagi, termasuk sesuatu yang jelas dan mutawâtir diyakini sebagai bagian dari agama Islam (hlm. 40-42).
Karena itu, parpol yang berasaskan demokrasi, sekularisme dan nasionalisme akan dilarang dalam negara Khilafah; karena tidak memenuhi dua kriteria tersebut. Parpol berasas nasionalisme dilarang karena tidak menjadikan ukhuwah Islam sebagai ikatan antar anggota. Parpol berasas demokrasi dan sekularisme dilarang karena keduanya bertentangan dengan Islam.
Penjelasan dalil-dalil suatu pasal. Contohnya pasal 4 bahwa parpol wajib mengambil strategi yang bersifat damai, bukan yang bersifat fisik (kekerasan bersenjata) (hlm. 44-45). Penulis menjelaskan dalilnya, yaitu sabda Nabi saw.:
مَنْ حَمِلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا
Siapa saja yang membawa senjata untuk menentang kami maka dia bukan golongan kami. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, segera ditambahkan, bahwa sebagai perkecualian, boleh memerangi penguasa dalam satu keadaan, yaitu ketika penguasa menampakkan kekufuran yang nyata. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw.:
وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ
Agar hendaknya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya, kecuali (kata Nabi saw.) kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang di dalamnya kalian mempunyai bukti yang nyata dari sisi Allah. (HR Muslim).
Kritik dan Diskusi
Yang menarik, penulis menampilkan kritikan seseorang (tidak disebutkan namanya) terhadap RUU yang digagasnya. Antara lain, RUU ini dikritik karena membolehkan wanita menjadi ketua parpol. Semua butir kritikan yang ada lalu dibantah balik oleh penulis kitab lewat diskusi (munâqasyah) dalil secara mendalam. (hlm. 54-56).
Keunggulan Kitab
Kitab Masyrû‘ Qânun al-Ahzâb fî Dawlah al-Khilâfah ini mempunyai beberapa keunggulan. Di antaranya:
1. Penyajiannya ringkas dan padat.
Kitab ini ringkas dan padat. Dengan tebal hanya 65 halaman, kitab ini bisa selesai dibaca hanya dalam waktu satu setengah jam atau bahkan kurang. Barangkali dari segi detail pembahasan dan catatan kaki rujukan, kitab ini masih di bawah kualitas karya ilmiah seperti tesis atau disertasi. Namun, dari segi orientasi praktis, yaitu kebutuhan para penyelenggara Negara Khilafah terhadap sebuah RUU yang operasional, kitab ini cukup memadai tanpa mengurangi kedalaman pemikirannya.
2. Bentuk penyajiannya unik.
Kitab Ziyad Ghazal ini penyajiannya unik, yaitu dalam bentuk pasal-pasal RUU. Memang, ini bukan kitab pertama yang membahas tema muhâsabah al-hukkâm dan parpol Islam. Banyak kitab sejenis itu, misalkan saja kitab karya Mufti dan al-Wakil berjudul, Huqûq al-Insân fî al-Fikr as-Siyâsi al-Gharbi wa asy-Syar‘i al-Islâmi; atau karya al-Baghdadi berjudul, Al-Hizb aw al-Jamâ‘ah al-Islâmiyah; atau kitab karya al-Ja’bah berjudul, Al-Ahzâb fî al-Islâm; atau karya al-Mas’ari berjudul, Muhâsabah al-Hukkâm Lajnah ad-Difâ‘ ‘an al-Huqûq asy-Syar‘iyyah.
Namun, bentuk penyajian yang unik dalam redaksi pasal-pasal perundang-undangan hanya kita jumpai pada karya kitab Ziyad Ghazal. Ia dapat menginspirasi munculnya karya-karya sejenis untuk memperinci pasal-pasal Rancangan UUD Khilafah yang jumlahnya 190 pasal itu.
3. Menunjukkan kemampuan ijtihad penulisnya.
Penyajian dalam bentuk pasal-pasal perundang-undangan menunjukkan fenomena lain yang spesial. Selain menunjukkan kreativitas, bentuk tersebut juga menunjukkan kemampuan ijtihad dari penulisnya, walaupun hanya ijtihad dalam satu masalah, yaitu masalah parpol Islam.
Dengan demikian, sungguh tidak beralasan kritikan sementara pihak bahwa adanya konsep tabanni (adopsi) dalam HT akan melumpuhkan potensi ijtihad di kalangan anggotanya. Kritikan yang dilontarkan dalam kitab Qirâ’ât fî Fikr Hizb at-Tahrîr al-Islâmi oleh Jawab Bahr an-Natsyah (2007) ini terbukti meleset jauh. Yang terjadi justru sebaliknya, berkat pemikirannya yang cemerlang (mustanîr), HT justru berhasil menjadi kawah candaradimuka untuk menggembleng dan melahirkan para mujtahid handal harapan umat. Wallâhu a‘lam. [KH M. Shiddiq al-Jawiy]
Daftar Pustaka
Al-Baghdadi, Muhammad, Al-Hizb aw al-Jamâ’ah al-Islâmiyah, tt, tp, 2003.
Al-Ja’bah, Abdul Hamid, Al-Ahzab fi Al-Islam, tt, tp.
Al-Mas’ari, Muhammad bin Abdullah, Muhâsabah al-Hukkam Lajnah ad-Difâ‘ ‘an al-Huqûq asy-Syar‘iyyah,
An-Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr. Mansyurat Hizbut Tahrir, 1963.
An-Natsyah, Jawab Bahr, “Qirâ‘ât fî Fikr Hizb at-Tahrîr al-Islâmi,” www.saaid.net, 2007.
Ghazal, Ziyad, Masyru’ Qanun al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, (Tanpa Tempat : Dar Al-Wadhah li an-Nasyr), tanpa tahun
—————, Masyru’ Qanun Wasa‘il Al-I’lam fi Daulah Al-Khilafah, (Tanpa Tempat : Dar Al-Wadhah li an-Nasyr), tanpa tahun
Mufti, Muhammad Ahmad & al-Wakil, Sami Shalih, Huququl Insan fi Al-Fikr As-Siyasi Al-Gharbi wa Asy-Syar’i Al-Islami (Beirut : Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah), 1992